Waktu aku masih remaja

Sabtu, 30 Mei 2009

ANEKA CERITA MUSIK LAMA


skip to main | skip to sidebar
blog orang kampung

31 March 2007
Wiwik Tsubasa di Jepang

Saya baru saja diundang Wiwik Setyorini, pemilik Tsubasa, lembaga kursus bahasa Jepang di Jalan Trunojoyo 5 Sidoarjo. Kebetulan selama enam bulan Wiwik dan Amri, dosen Universitas Negeri Surabaya, ikut pelatihan guru-guru bahasa Jepang di Urawa, Provinsi Saitama, Jepang.

“Ini ada sedikit oleh-oleh," kata Wiwik sambil memperlihatkan suvenir kecil khas Nipon. Ada juga pembatas buku. "Wartawan kan suka baca buku," ujar Wiwik, lalu tertawa kecil. Aha, belum tentu!

Menurut Wiwik, pengalaman selama enam bulan di Jepang sungguh luar biasa. Selain belajar di asrama, mendalami bahasa dan budaya Jepang, mereka juga jalan-jalan ke beberapa objek wisata utama di negara sakura itu.

"Puji Tuhan, saya sangat bersyukur karena terpilih mengikuti program ini,” ujar Wiwik Setyorini.

Program yang diadakan Japan Foundation ini diikuti 63 guru bahasa Jepang dari berbagai negara. Indonesia mengirim paling banyak peserta, diikuti Vietnam. Japan Foundation, kata Wiwik, memang memberikan perhatian khusus kepada Indonesia mengingat bahasa Jepang sangat diminati anak-anak muda kita.

Di tengah-tengah cuaca dingin, sekitar enam derajat Celcius, Wiwik dan kawan-kawan wajib mengikuti proses belajar-mengajar. Semua peserta tinggal di asrama. Kuliah mulai pukul 09.30 hingga 15.30, diselingi makan siang dan istirahat 75 menit. Selama enam bulan, para guru bahasa Jepang itu digembleng habis-habisan oleh dosen-dosen asli Jepang.

"Saya akui, program ini sangat berat. Malam kami harus belajar, mengerjakan pekerjaan rumah, bikin laporan, mempersiapkan ujian. Tapi asyik sekali karena semua biaya ditanggung Japan Foundation,” papar Wiwik yang tengah mengerjakan tesisnya di Universitas Negeri Surabaya itu. “Syukurlah, saya lulus dengan nilai A.”

Selain belajar intensif, peserta diajak menjajaki arung jeram, berkunjung ke kuil-kuil tua, menonton atraksi sumo dan ninja, hingga jalan-jalan ke kota Tokyo dan Nikko. Meski sebagian guru pernah melawat ke Jepang, study tour kali ini jauh lebih mendalam, katanya. Beda dengan berwisata biasa.

“Sebab, kami kan tinggal cukup lama di Jepang. Jadi, bisa mengalami sendiri bagaimana hidup bersama penduduk setempat. Saya punya bapak asuh, namanya Tsumekawa,” tutur Wiwik.

Yang bikin kaget Wiwik Setyorini serta peserta Indonesia, ternyata televisi Jepang seperti NHK sangat getol mewartakan berbagai bencana di Indonesia. Lumpur panas di Porong mendapat porsi besar.

Tahu kalau rumah Wiwik dekat kawasan lumpur panas, para dosen Jepang pun prihatin. Mereka menanyakan nasib warga, pengungsi, serta dampak ekologis lumpur panas yang menyembur sejak 29 Mei 2006 itu.

“Yah, saya bilang lumpur masih jauh dari rumah saya,” cerita Wiwik.

Ironisnya, kabar tentang Indonesia di NHK semuanya jelek-jelek. Rentetan bencana tak henti-hentinya dibahas. Yang paling menonjol, kata Wiwik, tenggelamnya KM Senopati Nusantara (30 Desember 2006), kemudian Adam Air KI 574 hilang pada 1 Januari 2007 dan menewaskan 102 penumpang dan awaknya.

Warga Jepang pun tertawa kecut ketika mendengar kabar bahwa ‘penemuan’ pesawat Adam Air di Sulawesi Barat pada 5 Januari ternyata bohong.

“Kok bisa-bisanya pemerintah Anda tertipu?” ujar Wiwik menirukan ucapan orang-orang Jepang.

"Kami mau bilang apa? Sebagai orang Indonesia, saya dan teman-teman malu banget deh," kenang Wiwik Setyorini.

Belum tuntas kasus Adam Air, muncul lagi banjir dahsyat di Jakarta (awal Februari), longsor di Flores, gempa bumi di Sumatera Barat, dan terakhir pesawat Garuda terbakar di Jogja pada 7 Maret 2007. Semua malapetaka ini mendapat tempat di televisi Jepang. Jadi, boleh dikata, citra Indonesia di mata orang Jepang adalah sebuah negara yang tak putus dirundung malang.

“Makanya, tanggal 9 Maret, waktu kami akan pulang ke Indonesia, teman-teman di Jepang berpesan supaya kami hati-hati di dalam pesawat,” tutur Wiwik Setyorini.

Alhamdulillah, Wiwik dan kawan-kawan tiba di tanah air dengan selamat.
Sayonara! Haiiik!
Posted by Lambertus L. Hurek at 12:08 AM 4 comments Links to this post
Labels: sosial politik etc
30 March 2007
Perginya si Lilin-Lilin Kecil


Notasi Lilin-Lilin Kecil ini saya tulis hanya beberapa menit setelah mendengar berita wafatnya Mas Chrisye. Lagu ini cukup sulit, tapi menarik. Maaf bila notasinya kurang pas. Maklum, saya bukan pemusik..

Oleh BUDI SETIAWANTO
Wartawan LKBN Antara

"Walau kini kita berpisah
Suatu hari nanti
kita kan bersama lagi
Bersama lagi
Kita berdua..."

Akhir lirik lagu SELAMAT JALAN KEKASIH itu terasa menggelayut di hati tatkala sang legendaris pop Indonesia, Chrisye (57 tahun), meninggal dunia, menjelang fajar pada Jumat, 30 Maret 2007.

Lagu itu seolah merupakan jawaban dari Chrisye atas kerinduan jutaan penggemar, kerabat, sahabat, dan musisi Tanah Air yang ingin selalu bersama Chrisye, meskipun beberapa waktu terakhir dia didera kanker paru-paru.

Ketika divonis dokter mengidap kanker paru-paru stadium empat dan harus menjalani perawatan dan pengobatan di Singapura selama berbulan-bulan sejak September 2005 (selama berbulan sebelumnya dirawat di rumah sakit di Jakarta), publik mendoakan kesembuhannya, bahkan turut menggalang dana untuk meringankan biaya penyembuhan dan penyakitnya.

Sehari setelah kembali ke Tanah Air, setelah menjalani kemoterapi yang keenam, Chrisye meraih penghargaan "Lifetime Achievement", menjadi sang legenda, pada Penghargaan Anugerah Musik Indonesia (AMI Awards) ke-9, yang digelar pada 18 November 2005.

Publik bersyukur karena kesehatan Chrisye terlihat membaik dan berharap Chrisye kembali meramaikan blantika musik pop, namun Chrisye belum bisa segera memenuhinya.

Barulah pada 25 Januari 2006, Chrisye bersedia menerima wawancara untuk radio. Radio Female, Delta dan Prambors, masing-masing mendapat waktu selama 30 menit untuk mewawancarai Chrisye. Empat bulan kemudian, bertepatan pada 28 Mei 2006, di stasiun TV Indosiar, Chrisye memulai debut menyanyinya kembali di depan umum ketika tampil dalam acara "Satu Jam Bersama UNGU".

Sebelumnya, pada April 2006, Chrisye berada di lokasi syuting album "Senyawa" bersama personel kelompok musik UNGU dan Peterpan. Sejak itu, jadwal Chrisye padat lagi. 24 Juni 2006 Chrisye tampil memeriahkan Pekan Raya Jakarta (Jakarta Fair) 2006, bersama Tohpati dan Tofu. Sedangkan di layar kaca, pada malam yang sama rekaman Chrisye bernyanyi untuk acara Extravaganza di Trans TV, ditayangkan. Publik terhibur kembali.

Penampilannya di Jakarta Fair itu ditayangkan TV 7 (sekarang Trans 7) pada 28 Juni 2006). Pada 3 Juli 2006, Chrisye tampil live bersama band pendatang baru, Nidji, di sebuah stasiun televisi. Pada 23 Juli 2006, di kota Banjarmasin, Chrisye tampil duet dengan UNGU untuk turut memeriahkan acara Soundrenaline 2006.

Pada 30 Juli 2006, Chrisye tampil pada reuni dengan GIPSY, di Bug`s Cafe Pondok Indah. GIPSY merupakan band yang dibentuk Chrisye (bass) bersama Gauri Nasution (gitar), Onan (kibor), Tammy (trumpet/sax), Keenan Nasution (drum), dan Atut Harahap (vokalis) pada 1969 dan merupakan metamorfosis dari band terdahulu, Band Sabda Nada bentukan 1968.

Chrisye, pada 6 Agustus 2006, tampil pada acara Konser Akbar Islami di Senayan, Jakarta. Sehari kemudian tampil di SCTV untuk meluncurkan album DUET BY REQUEST.
Pada 20 Agustus 2006, Chrisye tampil meramaikan pergelaran Rock United 2006 di Jakarta. Pada 29 September 2006, Chrisye tampil di Hotel Kemang, Jakarta.

Pada 11 Oktober 2006, Chrisye melakukan wawancara radio untuk promosi album. Wawancara tersebut akan disiarkan secara langsung di Radio DBS di Banjarmasin, Radio GAJAHMADA di Semarang, Radio PILAR di Cirebon, dan Radio MGT di Bandung.
Tiga hari kemudian, Chrisye memeriahkan acara Gebyar BCA, sebuah acara di Indosiar, pada 14 Oktober 2006.

Begitulah paling tidak catatan kegiatan publik Chrisye yang diolah dari Graha Maya Chrisye.

MEMOAR OF CHRISYE

Publik kembali diliputi tanda tanya ketika Chrisye tidak tampil pada peluncuran buku "Chrisye Sebuah Memoar Musikal" (Memoar of Chrisye) di Dharmawangsa Square, Jakarta, 17 Februari 2007. "Kondisi fisik Chrisye dalam dua minggu terakhir memburuk sehingga tidak bisa hadir dalam peluncuran buku ini," kata Damayanti Noor, istrinya.

Buku yang ditulis oleh Chrisye bersama Alberthiene Endah dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama itu, mengulas tentang perjalanan hidup dan karir Chrisye.
Buku itu disusun berdasarkan wawancara Endah dengan Chrisye pada periode Mei - November 2006.

"Buku itu adalah sesuatu yang ajaib, karena Chrisye adalah sosok yang introvert dan "moody" apalagi saat ini ia sedang sakit, tetapi semangatnya yang luar biasa membuat buku ini terwujud," kata Endah dalam peluncuran buku itu.

Endah sebelumnya juga menulis buku biografi Krisdayanti, Raam Punjabi, dan Dwi Ria Latifa. Dalam buku itu disebutkan, Chrisye adalah satu dari sangat sedikit penyanyi yang menguasai berbagai zaman. Kebertahanannya di kancah musik negeri ini karena ia memiliki kelebihan yang sulit ditandingi.

Chrisye adalah penyanyi dengan daya tarik suara yang luarbiasa. Alunan suaranya yang begitu lembut dan empuk menjadi ciri khas Chrisye. Buku itu berisi kisah-kisah inspiratif sejak Chrisye memulai karier menyanyinya sampai sukses menjadi penyanyi yang digemari semua generasi. Ada banyak pengalaman dan tips dari kisah-kisah ini, bukan hanya bagaimana menghadapi dunia musik dan hiburan, namun juga bagaimana menyikapi kehidupan.

Dalam situs Graha Maya Chrisye, banyak pertanyaan yang disampaikan penggemar kepada Chrisye. Antara lain: "Sampai kapan mas Chrisye akan menelurkan album?" Pertanyaan itu dijawab Chrisye, "Selama Allah SWT mengizinkan."

Kini izin dari Sang Pencipta telah dicabut.

Chrisye pun tak mungkin menelurkan album lagi, tetapi setidaknya bagi musisi Erwin Gutawa hal itu menjadi sebuah "penyesalan". Ketika memberikan sambutan pada acara pemakaman jenazah Chrisye di Tempat Pemakaman Umum Jeruk Purut, Cilandak, Jakarta, Jumat siang (30/3), Erwin menceritakan bahwa Chrisye pernah minta dibantu untuk pembuatan album "Salawat Nabi", tetapi Erwin belum sempat memenuhi permintaan itu.
Begitu pula bagi Guruh Sukarnoputra, sahabat lama Chrisye.

"Sekitar satu bulan yang lalu saya kunjungi mas Chrisye, saat itu dia katakan ingin bekerja sama lagi dengan saya, lalu saya bilang kalau saya telah memiliki beberapa lagu untuk dinyanyikannya," kata Guruh saat melayat di rumah duka almarhum Chrisye.

Namun, keinginan dua sahabat karib ini untuk bekerjasama tidak dapat terwujud karena Chrisye telah dipanggil menghadap Sang Pencipta. Semua itu membuktikan bahwa Chrisye pergi ketika masih amat dirindukan.

Lagu LILIN-LILIN KECIL pun teringat kembali:

“Sanggupkah kau mengganti
Sanggupkah kau memberi seberkas cahaya...."

SUMBER:

http://www.antara.co.id/arc/2007/3/30/chrisye-pergi-ketika-masih-dirindukan/
Posted by Lambertus L. Hurek at 7:05 PM 2 comments Links to this post
Labels: musik
Ambruknya TVRI Surabaya [Jatim]


Oleh Ning HETI

Berikan tanah untuk TVRI
Di mana?
Di sana
Berapa hektar?
Dua atau berapa hektar, jangan diutik-utik. Itu untuk membangun TVRI.
Darimana uangnya?
Saya akan cari.

Kalau saja tak ada dialog itu, TVRI Jatim [sebelumnya TVRI Surabaya] mungkin tak pernah berdiri. Jikapun kemudian berdiri karena dialog itu, mestinya TVRI juga tak perlu tertimpa masalah seperti sekarang.

Iskandar Achmad, Kepala Stasiun TVRI Surabaya, mengungkapkan, dialog bersejarah itu diperkirakan terjadi sekitar 1967 hingga 1968. "Pembicaraan berlangsung antara Pak Muhammad Noer, Gubernur Jatim yang menjadi penggagasnya dengan Pak R Soekotjo, Wali Kota Surabaya kala itu," kata Iskandar saat ditemui usai memimpin rapat di Surabaya, Selasa (27/3/2007).

Dari omong-omong kecil itu, sekitar tiga atau empat tahun kemudian, proses awal pendirian TVRI mulai terwujud. Dipilihlah tanah di daerah Surabaya Selatan seluas 37.127 meter persegi.

"Saat itu, wilayah sekitar Jalan Mayjend Sungkono belum sepadat dan ramai seperti sekarang. Bahkan masih berupa sawah garapan dan rawa-rawa," kata Sumianto, sekretaris kepala stasiun yang menjadi karyawan TVRI sejak 1980.

Dari pengamatannya, pagar untuk mengelilingi seluruh tanah untuk TVRI langsung didirikan. Bahkan, kondisinya tak pernah berubah hingga sekarang. Karena itu, Sumianto heran jika ada tudingan bahwa TVRI menyerobot tanah. "Memindahkan pagar saja tak pernah, pondasinya dari dulu juga seperti itu," akunya.

TVRI memang tak langsung membangun gedung seperti sekarang. Dimulai dari pendirian tower pada 1971. Tower pemancar itu berada di bagian paling timur TVRI. Saat peresmian, kedua tokoh yang terlibat dalam dialog di atas turut menyaksikan.

Meski hanya sebuah pemancar, proses awal itu dianggap Gubernur HM Noer, bisa menjawab keprihatinannya. Sebab sampai 1970-an, Surabaya belum punya stasiun televisi.

"Itu mungkin menjadi alasan Pak Noer untuk bela-belain mendirikan TVRI. Padahal, jika dilihat dari dialog yang kami buat lagi notulensinya dengan menghadap Pak Noer lagi, tanah dan dana saja tak ada untuk mendirikan TVRI," kata Iskandar yang menjadi kepala stasiun sejak 2003.

Sejak pendirian tower, tanah negara yang disediakan untuk TVRI berhak ditempati, dikuasai dan dimanfaatkan terus-menerus tanpa harus membayar sewa. Tekad mendirikan TVRI itu makin kuat. HM Noer membuktikan janji dengan memimpin penggalangan dana dari berbagai pihak. Tujuh tahun kemudian, rencana itu terwujud. Gedung TVRI diresmikan pada 3 Maret 1978.

Selanjutnya, perkembangannya kian pesat. Terbukti, 18 pemancar di seluruh wilayah Jatim berdiri. Namun hak menempati, menguasai, dan memanfaatkan tanah negara tanpa uang sewa itu berubah, setahun setelah berdiri. Pada 1979, keluar surat keputusan Wali Kota Surabaya mewajibkan sewa tanah yang ditempati TVRI karena dianggap sebagai tanah negara yang hak pengelolaannya diserahkan pada Pemkot Surabaya.

"Tapi TVRI setia bayar sewa sampai 2000, dan kemudian soal tanah diungkit lagi pada 2001," terang Iskandar.

Selain soal tanah, status TVRI mengalami empat kali perubahan. Sejak berdiri statusnya adalah unit pelaksana teknis Departemen Penerangan. Saat Departemen Penerbangan dibubarkan di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, TVRI menjadi Perusahaan Jawatan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 336 Tahun 2000. Tiga tahun kemudian dikelola di bawah Perseroan.

"Terakhir kali hingga saat ini, dengan PP Nomor 13 tahun 2005 status TVRI di bawah Lembaga Penyiaran Publik," beber Iskandar.

Sejarah TVRI sangat berbeda dengan televisi swasta yang mulai muncul sejak 1989. Karena itu, Iskandar merasa bahwa TVRI punya nilai tersendiri di masyarakat. "Ada benang merah yang tak bisa dilepaskan begitu saja. Jadi, kalau ada persoalan TVRI, sebenarnya juga persoalan semua rakyat Jatim," katanya.

Tahun 2007, beberapa acara favorit pemirsa TVRI Jawa Timur tak bisa menyapa pemirsanya. Sebut saja LINTAS ARENA, LIPUTAN BERITA PEMBANGUNAN JATIM, OTODA, INTERAKTIF, AJANG WADUL, JER BASUKI MAWA BEYA, KABAR DARI DESA. Yah, program itu tak hanya terasa khas TVRI, sangat kental dengan informasi birokrasi.

"Tak salah, karena sebagai televisi pemerintah satu-satunya, TVRI penyebar informasi kebijakan pemerintah. Fungsinya juga sangat jelas, yaitu menyebarkan infomasi pendidikan dan hiburan serta melakukan kontrol dan perekat sosial sekaligus pelestari budaya bangsa," kata Iskandar Achmad, Kepala Stasiun TVRI Jatim.

Soal hilangnya acara-acara itu, Yoyok Setyambodo, kepala seksi current affair dan siaran olah raga mengungkap kendalanya. "Salah satu penyebabnya, acara-acara itu dibiayai oleh Pemprov Jatim. Sedangkan tahun 2007 sudah distop," katanya.

Memang, ada beberapa yang tak sepenuhnya dihilangkan. Agar pemirsa tetap memperoleh informasi, TVRI juga menyiasatinya dengan menayangkan ulang program-program yang kadung disukai masyarakat. Seperti KABAR DARI DESA yang menjadi favorit para pemirsa di pedesaan.

"Kami tayangkan lagi setelah beberapa bagian yang diedit karena informasinya masih relevan," terangnya.

Buat TVRI, menjalin kerja sama dengan penyandang dana untuk membiayai program-program siaran yang diproduksi, memang diandalkan. Seperti Pemprov Jatim, sampai pada 2006 lalu masih mengucurkan dana sebesar Rp 750 juta. Dari anggaran itu, berbagai program dibuat untuk mendukung penyebaran informasi dari pihak penyandang dana.

Tanpa kerja sama itu, TVRI memang tak mungkin memproduksi program dengan hanya mengelola dana dari pemerintah. "Bukan tak mungkin lagi, mustahil jika boleh dibilang," kata Iskandar.

Sebagai gambaran, pria berkacamata itu membeberkan alokasi dana yang didapatkan TVRI. Sebagai perusahaan milik negara, sumber pembiayaan TVRI didapatkan dari pemerintah, salah satunya dari APBN dan APBD dan siaran iklan.

Pada 2006 misalnya, kucuran dana dari pemerintah untuk TVRI secara nasional dianggarkan sebesar Rp 260 miliar. Perinciannya Rp 60 miliar untuk pemindahan pemancar TVRI dari Gunung Tela, Jawa Barat, ke TVRI Senayan Jakarta. Sejumlah Rp 145 miliar untuk gaji karyawan, Rp 55 miliar untuk operasional 23 stasiun TVRI di seluruh Indonesia.

"Yang pasti, TVRI Jatim menerima 13,2 miliar. Dan kita akan tahu berapa biaya untuk setiap program kita setiap jamnya, setelah dikurangi pembiayaan-pembiayaan lain," kata Iskandar yang mengeluarkan kalkulator untuk merinci semua itu.

Dari Rp 13,2 miliar, Rp 10,6 miliar untuk gaji 412 karyawan yang 30 di antaranya honorer. Operasional dianggarkan sebesar Rp 2,6 miliar. Dari Rp 2,6 miliar itu, Rp 1,4 miliarnya habis untuk beli solar, bea makan karyawan Rp 788 juta, sementara program yang merupakan produk utama hanya kebagian sebesar Rp 133 juta.

"Jadi, bayangkan saja berapa biaya program untuk setiap jamnya. Jika dibagi untuk 365 hari dan seharinya sekitar 3-4 jam, kami harus siaran karena selebihnya adalah program relay, maka hanya ketemu Rp 91.095. Jumlah yang sangat kecil untuk menjangkau semua tuntutan masyarakat. Karena itu, mencari sumber pembiayan lain adalah keharusan dengan cara apa pun, agar kami bisa tetap menarik minat pemirsa," kata Iskandar.

Untuk menyiasatinya, TVRI melakukan efisiensi, memproduksi paket murah dan getol mengajak pihak lain kerja sama membuat program. Memang ada pendapatan iklan, namun tak besar. Jika televisi biasa meraup 20 persen, TVRI hanya boleh beriklan 15 persen, itu pun iklan layanan masyarakat.

Soal dana, Iskandar tak menampik jika dana juga lah yang membuat TVRI belum juga bisa meremajakan peralatan tuanya. "Maklum, beberapa alat dibeli saat berdiri pada 1978 dan masih dipakai. Meski program analaog telah kami geser menjadi digital, tapi untuk memenuhi perkembangan teknologi yang makin canggih, kami masih kewalahan," katanya.

Meski terganjal pendanaan, Iskandar menyatakan jika TVRI tak harus menjadi televisi yang mengorbankan kualitas dan selera masyarakat. Saat ini CAMPURSARI, satu dari sekitar 16 program buatan TVRI Jatim, masih tetap setia mengudara. Acara favorit pemirsa yang mengangkat kesenian tradisional itu, adalah salah satu yang paling lama bertahan di TVRI Jatim.

"Meski punya rating tinggi, jangan heran kalau sewaktu-waktu hilang, karena sponsornya tak ada lagi," katanya.
Posted by Lambertus L. Hurek at 11:39 AM 0 comments Links to this post
Labels: jurnalisme
29 March 2007
Kita Diperbudak Televisi
Oleh LAMBERTUS L. HUREK

Saya lahir di pelosok Flores Timur. Televisi tidak ada, listrik belum masuk. Suasana alam benar-benar asli. Suara jangkrik menjadi selalu terdengar. Malam tiba, gelap gulita. Lampu minyak dinyalakan. Hmmm... magis nian suasana malam.

Di kala bulan purnama, anak-anak bermain petak umpet, bernyanyi. Juga ada latihan paduan suara. Belajar bersama berkelompok.

Pengaruh televisi nol koma nol. Asal tahu saja, waktu itu, menjelang 1980-an,
televisi hanya satu, TVRI, jangkauannya hanya sampai di Larantuka, ibukota kabupaten Flores Timur. Kampung-kampung di pelosok, ya, tidak bisa menangkap siaran televisi.

Kini, 2007, saya tinggal di Jawa Timur. Televisi sangat banyak, mulai televisi nasional hingga lokal. Siaran 24 jam. Acaranya bervariasi, dikemas dengan konsep bisnis hiburan internasional. Manusia Indonesia didesain sedemikian rupa agar menjadi konsumen televisi. Bila perlu, sepanjang hari kau duduk di muka televisi, pegang remote control, memilih acara mana saja yang menarik.

Gosip artis, sepak bola, KDI, Indonesia Idol, AFI, berita (berbagai versi), diskusi, sinetron, film lama, masak-memasak, ceramah agama, kuis, meramal nasib, balapan, ludruk, wayang, ketoprak. Ratusan acara benar-benar menggoda kita.

Terus terang saja, waktu untuk membaca buku turun drastis. Ironis, bangsa yang belum punya budaya baca langsung dijejali dengan budaya baru: budaya televisi. Budaya mencerna wacana, refleksi, hening, meditasi... hilang. Kita menjadi budak-budak televisi yang semakin mendikte agenda hidup kita sehari-hari.

"Ayo, Tukul, Tukul... sudah mulai nih Empat Mata," teriak teman-teman saya pada pukul 21.30 WIB. Apa boleh buat, sebagian besar teman terpaku di depan televisi untuk menyaksikan bincang-bincang jenaka ala Tukul Arwana di Trans7. Hehehehe....

"Jangan lupa lihat KDI. Malam ini Widhi tampil. Mudah-mudahan menang," kata Ipunk Permana yang menelepon saya dari Jakarta. Ipunk tim sukses Widhi, peserta Kontes Dangdut TPI yang tinggal besama tantenya di Perumahan Tanggulangin Sejahtera I, Sidoarjo. Perum TAS I menjadi korban lumpur panas Lapindo.

"Nanti dinihari Barcelona main lho. Aku pegang Barca, sampeyan pegang apa?" kata Bambang, teman saya asal Sidoarjo.

"Chelsea makin bagus lho. Michael Ballack dan Drogba makin maut di depan gawang. Jangan lupa nonton bareng di Sidoarjo," ajak Gatot, teman yang tinggal di Pondok Mutiara Sidoarjo. "Tapi tetap saja MU tidak bisa dilawan. Juara kali ini MU," tambah Rahman, wartawan olahraga.

"American Idol bagus banget. Jurinya hebat, penyanyinya bagus-bagus. Sekarang lagi seru-serunya lho," kata Sugeng. Secara tersirat, dia meminta saya menyaksikan American Idol yang disiarkan di RCTI setiap Ahad dini hari.

"Eh, lihat Liputan Enam, ada kejadian bagus. Tolong wartawan Anda meliput," bunyi SMS teman saya, wartawan situs berita.

"Aku ntar lagi keluar di Trans TV lho. Jangan lewatkan kesempatan ini," SMS dari Yulius, pembuat gitar asal Porong. Dialah yang bikin gitar unik untuk Balawan, Dewa Bujana, Tohpati, serta pemusik jazz papan atas di negara ini.

Begitulah. Televisi setiap hari menyerang saya dan kita semua lah. Agenda hidup kita, katakanlah sebagian besar masyarakat Indonesia, sudah dikendalikan oleh televisi.

Saya pernah mengajak teman untuk jalan-jalan ke Madura, malam Minggu. "Jangan, Bang, acara TV bagus-bagus. Lain kali aja lah. Rugi kalau nggak lihat," ujar sang teman. "Jangan, sebentar lagi Ronaldo (Manchester United) main. Saya lihat TV dulu," kata teman lain.

Televisi membuat pergaulan kita dengan tetangga menjadi hambar. Orang tak merasa perlu bergaul, toh sudah ada teman di kamar: televisi. Kalau dulu di kampung, setelah dapat bantuan dari Menteri Harmoko, semua warga nonton bareng sebuah televisi hitam-putih, kini di satu rumah ada 5,6,7... 10 televisi. Dulu, kami di kos-kosan mahasiswa di Jember menonton bersama satu televisi di aula. Ramai, banyak komentar, saling berbagi, diskusi.

Sekarang? Tiap kamar punya televisi. Anak punya TV sendiri, papa punya sendiri, mama punya sendiri. Sebab, selera masing-masing berbeda. Anak remaja suka MTV, mama suka acara dangdut, papa mungkin lihat diskusi politik di Metro TV. Di kantor saya ada lima televisi. Itu pun ada yang bilang belum cukup. Di kantor redaksi Jawa Pos tersedia puluhan channel televisi.

Kalau dulu, saya dan orang-orang kampung pusing mencari televisi agar bisa nonton Elyas Pical atau Mike Tyson, sekarang saya sakit kepala karena televisi terlalu banyak. Televisi mengatur hidup saya, sampai-sampai saya sulit menyusun agenda sendiri. Bahkan, acara ibadah pun harus mengalah, menyesuaikan diri dengan program televisi. Pilih liturgi atau lihat siaran langsung tinju? Kadang-kadang saya memilih yang kedua.

Saat berdiskusi dengan Slamet Abdul Sjukur, komponis dan pianis terkenal asal Surabaya, saya mengajukan kasus televisi ini. Saya lihat di rumah Pak Slamet tidak ada televisi atau perangkat multimedia. Rasanya tenang, damai, ala rumah orang-orang kampung tempo dulu.

"Pak Slamet masih sempat melihat televisi?" pancing saya.

"Tidak pernah. Jangankan televisi, surat kabar saja saya tidak baca. Sudah 13 tahun ini saya tidak baca koran. Baca koran, lihat televisi, hanya bikin pusing. Hehehe," jawab Slamet dengan enteng.

Pria yang pernah tinggal di Prancis selama 14 tahun ini menambahkan:
"Saya memang ada televisi warisan dari orang tua. Tapi saya simpan saja di gudang. Mau dijual kok nggak enak."

Saya pernah mencoba membebaskan diri dari belitan televisi. Dua televisi saya di kamar, 14 dan 21 inci, saya kirim ke kampung halaman di Lembata, Flores Timur. Selama dua tahun saya tidak punya televisi di kamar. Karena itu, saya hanya baca buku, baca majalah, koran, mengurus kembang, main musik, menyanyi sendiri. Tapi lama-lama saya tidak kuat.

Kenapa? Demam Piala Dunia. Di mana-mana orang Surabaya dan Sidoarjo membahas hebatnya pemain-pemain bola dunia. Koran-koran menghabiskan sebagian besar halaman untuk berita Piala Dunia. Maka, tiap malam saya 'menumpang' nonton televisi di pinggir jalan, kafe, hotel, kantor, atau di rumah teman.

Lama-lama virus Piala Dunia merasuk ke tubuh saya. Lalu, pertahanan saya jebol. Saya ke kawasan Pasar Kembang, Surabaya, membeli televisi baru. Saya bermimpi, suatu saat saya bisa terbebas dari jeratan virus televisi. Saya tidak mau dikendalikan oleh Tukul Arwana serta program-program televisi yang kian heboh meskipun tidak mencerdaskan.
Posted by Lambertus L. Hurek at 6:23 PM 3 comments Links to this post
Labels: jurnalisme
28 March 2007
Aku Dilantik Jadi Pembina Bahasa

Makin lama gaya berbahasa orang Indonesia makin kacau. Bahasa Amerika [American English] merasuk ke alam bawah sadar kita. Saya sering coba-coba masuk ke ruang cakap, chat room, untuk berbincang dan diskusi ringan. Amboi, bahasa anak-anak muda sekarang bercampur-campur dengan bahasa Amerika, Melayu Betawi, dan sedikit bahasa Jawa.

Saya secara halus minta teman cakap untuk berbahasa Indonesia saja, atau sekalian berbahasa Inggris. Ternyata, teman baru itu tidak mau melayani. Yah, umumnya orang kita berbahasa gado-gado demi gaya hidup. Status sosial. Agar tidak dibilang wong ndeso, orang kampung.

Jadi, sama sekali bukan karena kemampuan berbahasa Amerika kita sangat bagus. Biasanya, poliglot [orang yang fasih banyak bahasa] justru paling cermat dalam berbahasa. Sebagai orang kampung yang lahir di Flores Timur, sejak kecil saya mengenal banyak pastor asing. Mereka umumnya berasal dari Belanda [paling banyak], Jerman, dan sedikit dari negra-negara Eropa lain. Saya bisa sebut Pater Geurtz, Pater van de Leur, Pater Schejneider, Pater Schmidtz, Pater Lorentz, Pater Trumer. Semuanya sudah meninggal dunia.

Mereka rata-rata menguasai lebih dari empat bahasa asing secara aktif: Latin [wajib], Inggris, Belanda, Jerman, Indonesia [Melayu]. Belum lagi bahasa-bahasa daerah yang cukup banyak di Nusatenggara Timur. Belum bahasa Melayu dialek Larantuka, dialek Kupang, dialek Lewoleba, dialek Maumere, Ende, dan berbagai kota di Nusatenggara Timur.

Saya menilai para pastor Barat ini luar biasa. Kenapa? Saat harus berbahasa Indonesia, ya, dia pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Berbahasa Inggris juga begitu. Lucu kalau berbahasa Inggris dicampur kata-kata Melayu atau Belanda. Cara berpikir mereka, kebetulan semuanya bule, sangat sistematis, tertib, sarat logika. Jadi, mereka sama sekali tidak sok 'hebat' meskipun para pater ini benar-benar orang hebat, menurut saya.

Bagaimana dengan orang kita sekarang? Simaklah televisi, internet, media cetak, bahkan surat kabar yang seharusnya mengutamakan ragam bahasa resmi. Bahasa Indonesia sekarang kacau bukan kepalang. Nama acara di Metro TV, misalnya, pakai bahasa Inggris. Tapi isinya, ya, penyiar dan tamunya bicara bahasa Indonesia.

Bahasa di MTV lebih gila lagi. Ada kesan sok, pamer ungkapan bahasa Inggris, agar dibilang anak nongkrong, keren, gaul. Pokoknya, jangan ada kesan orang kampung macam saya. Hehehe...

Padahal, kalau mau jujur, kemampuan bahasa Amerika orang kita, termasuk penyiar dan pembawa acara di televisi Indonesia, ya, belum masuk kategori hebat. Sekali lagi, orang hebat lazimnya tidak suka pamer. Mana ada pendekar silat yang mengumbar jurus-jurus mautnya?

Orang Malaysia menyebut gaya bahasa [sebagian besar] anak muda Indonesia sebagai BAHASA ROJAK, maksudnya bahasa rujak. Bahasa dicampur-campur tak karuan mengikuti gaya Amerika. Inilah potret bangsa kita, Indonesia. Bangsa bekas jajahan yang belum hilang penyakit rendah diri. Minderwaardigheids complex!

Kompleks ini juga dialami oleh orang-orang kampung di Flores. Kalau sudah menetap lama di kota, meski kota-kota di Indonesia, ya, sejatinya kampung biasa yang padat penduduk, dia pura-pura lupa bahasa ibunya. Sebab, berbahasa ibu [daerah] identik dengan orang kampung. Saya malas menghadapi manusia-manusia sok macam ini.

Kenapa saya perlu membuat catatan seputar bahasa? Aha, asal tahu saja, saya masih tercatat sebagai pengurus Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI) Cabang Sidoarjo periode 2005-2008. Saya dan 41 pengurus lain dilantik oleh Dr Sugiyono, ketua HPBI pusat, berdasar Surat Keputusan Nomor 02/IA/ HPBI/2005.

Namanya juga pengurus, ya, saya punya kewajiban 'membina bahasa Indonesia' melalui tulisan-tulisan di koran atau internet. "Kita tidak melarang orang untuk berbahasa Inggris atau bahasa asing apa pun. Silakan! Hanya saja, penggunaan bahasa itu harus melihat situasi dan kondisi," begitu pesan Djoko Supriadi, ketua HPBI Sidoarjo, kepada saya.

HPBI merupakan organisasi masyarakat yang berperan dalam pembinaan bahasa Indonesia di masyarakat. Pada 20 Mei 1995 lalu Presiden Soeharto mencanangkan penggunaan bahasa Indonesia yang BAIK dan BENAR di masyarakat. Kemudian ada lagi instruksi Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan Nasional tentang pemasyarakatan bahasa Indonesia.

Karena itu, "HPBI ini dimaksudkan untuk mengajak semua komponen masyarakat Indonesia untuk menghargai bahasa Indonesia sebagai sarana persatuan dan kesatuan bangsa," papar Djoko Supriyadi.

Saya paham betul bahwa tugas saya sebagai pembina Bahasa Indonesia di Kabupaten Sidoarjo tidak ringan. Ini globalisasi, Bung! Banjir informasi, Bung! Pola pikir Amerika, bahasa yang ke-Amerika-Amerika-an sudah menjadi gaya hidup.

Bahasa Indonesia, apalagi bahasa ibu, katakanlah Bahasa Jawa, apalagi krama madya, krama inggil... makin tidak dikuasai oleh anak-anak muda, bahkan yang sudah berusia di atas 40 tahun.

Tiap kali ke luar kota, saya selalu menyimak cara berbahasa anak-anak muda setempat. Juga mendengarkan radio lokal, baca koran setempat, lihat televisi. Amboi! Anak-anak muda Surabaya, Sidoarjo, Malang, Jember, Gresik, Lamongan, Mojokerto, Pasuruan, Trawas, Tretes, Kediri, Tulungagung... kini berbahasa Indonesia gaya Jakarta [Melayu Betawi] dibumbui Bahasa Amerika. Bumbu-bumbunya kadang terlalu banyak sehingga perut saya mual.

"Nggilani," kata orang Surabaya.

Acara Empat Mata, yang diasuh Tukul Arwana di Trans7, secara tidak langsung mencerminkan wajah sebagian [besar] orang Indonesia kita. Aslinya orang kampung, wong ndeso, buruk rupa, sedikit-sedikit Bahasa Amerika, tapi gaya bahasanya, masya Allah!!!

Sok hebat, pamer cas-cis-cus, tapi kalau diajak berbahasa Amerika beneran, orang kita hanya bisa tergagap-gagap.

Huah..huaaah...huaaaahhh!
Posted by Lambertus L. Hurek at 6:18 PM 2 comments Links to this post
Labels: bahasa
27 March 2007
Pance Pondaag Hits Maker 1980-an
Juru Tulis: Lambertus L. Hurek



Pance pada Maret 2008. Stroke membuat kondisi hits maker 1980-an ini sangat memprihatinkan.


Gregorius, 40-an tahun, asal Flores Timur, pelatih kor, ternyata sangat suka lagu-lagu Pance F. Pondaag. Koleksinya banyak. Ada yang dinyanyikan sendiri oleh Pance, banyak lagi yang dibawakan penyanyi-penyanyi era 1980-an.

"Lagu-lagu Pance itu enaknya diputar malam hari. Sambil duduk di teras rumah, lihat halaman, minum kopi, diiringi lagu-lagu Pance. Hmmm.. nikmat sekali," ujar Goris, sapaan akrabnya, kepada saya. Lalu, dengan suara baritonnya, Goris mendendangkan lirik sebuah lagu Pance:

"Sepanjang kita masih terus begini.
Tak kan pernah ada damai bersenandung.
Kemesraan antara kita berdua,
sesungguhnya keterpaksaan saja...."

"Wah, kayaknya liriknya pas dengan pengalaman hidup banyak suami-istri di kota nih," pancing saya.

"Hehehe... begitulah. Makanya, lagu ini paling hit di kafe-kafe. Bapak-bapak, om-om, tante-tante... suka nyanyi ini. Beberapa lagu Pance lain juga bagus," ujar Goris.

Saya lalu pura-pura menggugat. Bukankah Pance itu salah satu raja 'lagu cengeng'? Musiknya kelewat sederhana? Komposisi tiga jurus, istilah Remy Silado? [Sebab, lagu-lagu Pance dan sejenisnya kebanyakan hanya pakai tiga akor. Misal C, F, G atau G, C, D.] Lagu-lagu tidak bermutu?

"Justru karena simpel itulah orang-orang kampung di Flores suka. Di tempat anda kan orang-orang suka Pance juga. Hehehe...."

Begitulah, bincang-bincang kecil dengan Pak Goris di Jember sambil minum kopi, dengar lagu-lagu Pance lewat suara Dian Piesesha. Saya pun teringat kebiasaan orang-orang kampung di Flores [Timur] yang suka main gitar, malam hari, sambil bernyanyi. Lagu-lagunya, ya, kebanyakan Pance Pondaag dan sejenisnya.

"Malam-malam begini, termenung kusendiri.
Menunggu kau di sini kehadiran dirimu...."

Apa pun kritik, kecaman, hinaan orang, harus diakui Pance F Pondaag pernah berkibar di belantika musik tanah air.

Pada awal 1980-an hingga akhir 1990-an lagu-lagu Pance mewarnai Aneka Ria Safari, Selekta Pop, Kamera Ria, Wajah Baru, serta sejumlah acara musik di Televisi Republik Indonesia [TVRI]. Dulu televisi hanya satu, sehingga semua manusia Indonesia mau tak mau nonton TVRI. Suka tak suka, ya, mendengarkan lagu-lagu pop manis khas Pance. Terciptalah memori bersama yang sangat kuat. Lain dengan sekarang, memori bersama sebagai bangsa itu nyaris tidak ada lagi karena beragamnya pilihan dan kemudahan.

Selain Pance, ada dua nama pencipta lagu-lagu pop manis lain [hits maker]: Rinto Harahap dan Obbie Messakh. Penulis lagu lain, A Riyanto [almarhum], gaya musik dan liriknya berbeda dengan trio Pance-Rinto-Obbie. Gaya Pance dan dua kawannya itu jauh lebih sederhana, manis, melankolis, bernada pasrah, bahkan frustrasi.

Mungkin, itulah alasan Menteri Penerangan Harmoko melarang lagu 'Hati yang Luka', karya Obbie Messakh, serta lagu-lagu sejenis di TVRI. Pelarangan ini sekaligus mengakhiri era kejayaan Pance dkk di industri musik pop. Lalu, muncullah antitesis berupa 'pop kreatif' yang akornya lebih kaya dan berbobot.

Pance tak bisa dipisahkan dari JK Records, Jakarta. Saya kutip sedikit catatan dari Pusat Data dan Analisa TEMPO:

"Suatu hari pada 1983, Judhi Kristiantho bertemu dengan Chintami Atmanegara, calon model bagi kalender yang hendak dibuatnya. Tetapi, dalam perkembangan lebih lanjut, keduanya sepakat bekerja sama untuk membikin rekaman kaset lagu-lagu pop. Akhirnya, lahirlah dua pendatang baru: Chintami sebagai penyanyi, dan Judhi Kristiantho selaku produser rekaman.

"Memakai nama JK Record [JK dari Judhi Kristiantho] ia berhasil mengorbitkan sejumlah artis penyanyi laris. Di antaranya Dian Piesesha, Ria Angelina, Obbie Messakh, Meriam Bellina, dan, tentu, Chintami Atmanegara. Pada 1985, aset JK Record mencapai Rp 500 juta, tetapi oleh sebuah sumber diperkirakan sekitar Rp 10 miliar."

Nah, Pance F Pondaag [plus Obbie Messakh] punya kontribusi besar dalam sukses JK Records itu. Sebab, Pance lah yang banyak menulis lagu-lagu manis untuk artis-artis JK. Sekitar 95 persen lagu-lagu Dian Piesesha ditulis Pance. Begitu juga Ria Angelina, Meriam Bellina, Meta Armis dan segepuk penyanyi manis orbitan JK.



Album Pance produksi 1980-an dibuat sebagai "jawaban" atas lagu-lagunya yang sukses. Dulu setiap lagu sukses selalu dibuat "jawaban". Akal-akalan pedagang kaset di Jakarta. Hehehehe....


Karena karya-karyanya sukses, Pance F Pondaag [juga Obbie Messakh] kemudian 'dipaksa' si produsen untuk bikin album juga. Padahal, suara Pance dan Obbie sangat jelek. Pance yang berbadan subur, suaranya melengking tinggi macam orang tercekik. Sementara suara Obbie sengau dan sumbang.

Tapi, asal tahu saja, rekaman musik pop itu bisnis murni yang tak banyak ditentukan oleh bagus tidaknya suara. Kalau memang pasar terima [contohnya Ariel Peterpan menyanyi dengan suara sengau, sangat jelek], kaset/CD pun laris. Maka, di masanya, Pance Pondaag dikenal sebagai penyanyi, selain pencipta lagu atawa hits maker.

Pada 1980-an, di Larantuka, Flores Timur, orang-orang kampung banyak membawakan lagu-lagu Pance seperti [awal liriknya]:

"Simfoni yang kau dengar sendu.
Di antara gerimis malam.
Mengalun pilu senada rinduku.
Begitu sunyi di saat ini...."

Atau jawaban 'Tak Ingin Sendiri', hit Dian Piesesha, karya Pance:

"Di sini aku pun sendiri,
dan masih seperti yang dulu.
Kesetiaan yang kumiliki
hanya untuk dirimu,
sampai akhir hidup ini."

Saya hafal benar karena anak-anak kampung di Flores biasanya belajar akor gitar berdasar lagu-lagu Pance. Cukup hafal tiga akor, kita bisa jreng-jreng-jreng sambil melihat gadis-gadis manis melintas. Kanisius, teman SMP saya di Larantuka, saking mabuknya sama lagu-lagu Pance, hampir sepanjang malam menyanyikan lagu itu. Suaranya bagus:

"Mimpi-mimpi tinggal mimpi,
tak satu pun yang menjadi nyata.
Janji sehidup semati
kini tinggal janji di bibirmu.
Kau pergi tinggalkan diriku,
kau tinggal, tinggal aku sendiri.
Manis madu pahit kurasa,
sepahit-pahit empedu."

Teman-teman di Asrama SMPK San Pankratio, Larantuka, sering bertengkar dengan Kanis karena terus saja menyanyi di saat orang lain tidur. Hehehehe....

Begitulah. Lagu cengeng dibredel Harmoko, era pop manis berlalu. JK Records berikut penulis-penulis lagunya macam Pance, Obbie, Deddy Dores, Wahyu OS... pun surut. Om Pance memang masih sempat bikin lagu, tapi intensitasnya sangat jauh dibandingkan ketika masih berjaya. Dia pun tak lagi fokus di JK Records, tapi 'menyebar' lagu-lagunya di beberapa label rekaman.

Broery Marantika [almarhum] pernah mengangkat kembali nama Pance lewat hitnya: 'Kucari Jalan Terbaik'. Pance juga bikin rekaman lagu-lagu kristiani. Gayanya sama dengan pop biasa, hanya beda syair. Tapi lagu seperti 'Bunda Maria' sangat disukai orang-orang Flores macam Gregorius.

"Sampai sekarang JK Records tetap eksis kok. Siapa bilang tutup," ujar Imelda, staf JK Records, yang saya hubungi via telepon. Dia mengakui kaset-kaset [CD] produksi JK memang turun, tapi tetap ada. "Kalau tutup kan nggak mungkin saya di kantor. Hehehe," ujar Imelda, ramah.

Saya cek di sejumlah toko kaset di Surabaya dan Sidoarjo, lagu-lagu Pance F Pondaag memang tetap dijual, namun dikemas dalam 'the best', 'album seleksi', 'album emas'. Ada yang dinyanyikan sendiri, ada yang dibawakan penyanyi-penyanyi lain.

Omong-omong, bagaimana sebetulnya kabar Pance Pondaag sekarang? Saya tanyakan kepada Bartje van Houten, pemusik grup The Lloyd, usai manggung di Surabaya beberapa waktu lalu.

"Pance sekarang sakit berat. Stroke. Ini tidak lepas dari pembajakan kaset yang gila-gilaan di Indonesia. Karena hak cipta tidak dihargai, pembajakan merajalela, pencipta lagu seperti Pance tidak bisa menikmati hasilnya di saat tidak produktif lagi," ujar Bartje van Houten.

Menurut Bartje, yang terus bertahan di berbagai era musik Indonesia, termasuk bikin karya-karya manis di era Pance dan Obbie Messakh, pembajakan yang gila-gilaan membuat pencipta-pencipta lagu lama stres dan sulit berkarya. Kalau tak tahan, ya, bisa stroke kayak Pance. "Tapi secara umum Pance masih eksis di Jakarta," kata Bartje.

Yah, apa pun kata orang, Pance F Pondaag pernah mewarnai persada musik pop Indonesia. Soal mutu, bagus-jelek, manfaat-mudarat, terserah penilaian masing-masing orang. Yang jelas, di kafe-kafe lagu karya Pance ini masih sering dibawakan orang:


SEPANJANG KITA MASIH TERUS BEGINI
TAK KAN PERNAH ADA DAMAI BERSENANDUNG
KEMESRAAN ANTARA KITA BERDUA
SESUNGGUHNYA KETERPAKSAAN SAJA

SENYUM DAN TAWA HANYA SEKADAR SAJA
S'BAGAI PELENGKAP SEMPURNANYA SANDIWARA
BERAWAL DARI MANISNYA KASIH SAYANG
TELANJUR KITA HANYUT DAN TERBUAI

KUCOBA BERTAHAN MENDAMPINGI DIRIMU
WALAU KADANG KALA TAK SEIRING JALAN
KUCARI DAN SELALU KUCARI JALAN TERBAIK
AGAR TIADA PENYESALAN DAN AIR MATA

=======
Judul : KUCARI JALAN TERBAIK
Melodi : Pance F Pondaag
Lirik : Pance F Pondaag
Vokal : Broery Marantika

Mau dengar lagu Kucari Jalan Terbaik? Klik di sini.
Posted by Lambertus L. Hurek at 11:13 AM 12 comments Links to this post
Labels: musik
26 March 2007
Batutara dan Pulau Komba yang Misterius

Oleh LAMBERTUS L. HUREK
*Gunung 'Hantu' Itu Meletus Lagi setelah 155 Tahun

Pekan lalu, saya menerima kabar buruk. Yus, adik saya di Kupang, kirim pesan pendek bahwa Gunung Betar di depan kampung saya, Desa Mawa, Ile Ape, Lembata, meletus. Adik saya yang lain, Erni, di Lewoleba, pun kasih kabar serupa.

"Ribuan warga terpaksa mengungsi karena khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," begitu bunyi SMS Yus Hurek, kini guru di Kupang. "Sekarang situasinya genting. Semburan dari Betar masih terus keluar."

Saya langsung cek informasi di internet, dan ternyata betul. Kantor berita Antara, AFP, UPI, kantor berita asing lain, juga beberapa media internasional, memberitakan erupsi Batutara. Informasinya pendek saja, tapi jelas. Gunung BATUTARA [orang-orang kampung di Lembata umumnya menyebut BETAR] meletus.

Bupati Lembata, Andreas Duli Manuk, menyebutkan 15.700 orang mengungsi. Umumnya dari Pulau Lembata bagian utara, menghadap Laut Flores, mulai Kecamatan Omesuri, Buyasuri, dan Ile Ape. Puji Tuhan, tidak ada korban jiwa.

Batutara alias Betar. Gunung ini sangat lengket di benak saya. Sebab, waktu kecil saya tinggal di kampung Mawa, persis berhadapan dengan Batutara, yang berada di Pulau Komba. Data resmi menyebutkan, Gunung Batutara tingginya 748 meter dari muka laut. Jaraknya dari Pulau Lembata sekitar 50 kilometer. Ada vegetasi yang menutupi Batutara, namun Pulau Komba tak berpenghuni. Paling-paling hanya dijadikan tempat singgah para nelayan.

Jawatan kegunungapian di Bandung pun mengaku kesulitan menempatkan peralatan di Pulau Komba karena tak ada satu pun manusia di sana. Pemantauan hanya bisa dilakukan di Lewotolok, tak jauh dari tempat lahir saya. Bupati Andreas Duli Manuk meminta jawatan vulkanologi untuk memberi perhatian khusus pada Batutara. "Situasinya sudah membahayakan penduduk di Lembata," ujar Pak Bupati.

[Kebetulan Bupati Andreas Duli Manuk ini masih kerabat dekat kami. Istri Pak Ande, Ibu Margaretha Hurek, jelas keturunan langsung fam Hurek. Satu garis dengan fam saya, HUREK. Lagi pula, almarhumah ibu saya, Maria Yuliana Manuk, satu fam dengan Pak Bupati Lembata: sama-sama MANUK.]

Nah, saya terus mencari data tentang Gunung Batutara. Dalam sebuah situs berbahasa Inggris disebutkan, Batutara terakhir meletus pada tahun 1852. Kalau letusan terkini, mulai 19 Maret 2007, berarti rentang waktunya 155 tahun. Satu setengah abad lebih. Kurun waktu yang jelas tidak pendek.

Saya sendiri, yang waktu sekolah dasar hampir tiap petang menyaksikan matahari tenggelam di samping Gunung Batutara, bersama teman-teman sekampung, awalnya tak percaya dengan berita Batutara meletus. "Kok bisa Betar [Batutara] meletus? Batutara kan nggak pernah terlihat aktif?" batin saya.

Kalau Ile Ape [Gunung Api] atau Ile Boleng atau Lebatukan atau Ile Mandiri--semuanya di Flores Timur--meletus wajar lah. Sebab, ile-ile itu [ile = gunung] setiap hari memang melepaskan asap, belerang, dan material-material lain. Tapi Batutara? Tak pernah saya bayangkan. Jangankan saya, yang sudah merantau ke Jawa, orang-orang kampung pun tak pernah menduga kalau Batutara itu [bisa] meletus.

Dari namanya saja, BATUTARA alias BETAR, dan bukan ILE, orang-orang di kampung saya, yang berhadapan langsung dengan Batutara, tak pernah menganggapnya sebagai gunung api aktif. Namanya saja BATU.

Maklum, sekali lagi, Batutara meletus terakhir pada 1852. Niscaya tak ada lagi saksi mata hidup yang pernah meriwayatkannya. Alih-alih saksi mata, catatan resmi di Lembata pun, saya kira, tidak ada.

Tapi, mau bilang apa, setelah istirahat panjang selama 1,5 abad lebih, Batutara akhirnya merasa perlu memuntahkan isi perutnya. Siklus yang sangat panjang dibandingkan Gunung Merapi di Jogja yang siklusnya demikian pendek. Bagaimanapun juga ini peristiwa alam. Kekuatan endogen tak bisa dicegah oleh siapa pun. Saya dan warga kampung di Flores Timur dikasih pelajaran untuk berwaspada. Jangan sekali-kali meremehkan gunung kecil di tengah laut yang selama ini hanya dianggap BATU.

Boleh jadi, Batutara hendak menarik perhatian penduduk melalui erupsinya yang kabarnya mencapai ketinggian 1.500 meter. Luar biasa!

Gunung Batutara alias Betar berada di Pulau Komba. Saya yang di masa kecil menatap Gunung Batutara setiap hari, karena rumah saya berada di tepi pantai, pesisir Laut Flores, jarang menyebut nama Pulau Komba. Warga Lembata pun asing dengan pulau ini. Tahunya, ya, Batutara atau Betar.

Kenapa begitu? Pulau yang berjarak 30-50 kilometer dari tempat kelahiran saya, Kampung Mawa, Ile Ape, itu tidak punya penghuni. Tak ada seorang pun manusia yang berani tinggal di Komba. Ia lebih mirip pulau gunung. Topografinya, dari laut langsung miring, menanjak, membentuk gunung setinggi 748 meter.

Karena yang diindra warga hanya gunungnya saja, maka kami di kampung hanya tahu Batutara alias Betar. Pulau Komba itu sekadar 'nama resmi' untuk catatan ilmiah. Anak-anak sekolah pun tidak pernah mendapat pelajaran soal Pulau Komba. Warga yang iseng sering menyebut Pulau Komba dengan julukan 'pulau hantu', 'pulau suanggi', 'pulau setan', dan sejenisnya. Menyeramkan, memang!

Citra Pulau Komba, dengan Gunung Batutara-nya, memang sangat menyeramkan. Waktu masih di kampung, bulu kuduk saya berdiri saat mendengar cerita-cerita seram dari Pulau Komba. Begitu banyak kejadian misterius dan sulit dipahami. Paling banyak, orang kampung yang mencari ikan atau kerang dengan perahu bercadik hilang di kawasan Batutara. Kalau sudah hilang di sana, hampir pasti tim search and rescue (SAR) paling hebat atau TNI Angkatan Laut sekalipun sulit menemukannya. Hilang tanpa bekas apa pun.

Kasus hilangnya warga secara misterius di kawasan Pulau Komba [Batutara] rupanya sudah terjadi sejak beratusan tahun sehingga kemudian muncul 'kepercayaan' bahwa Pulau Komba itu sangat angker. Maklum, kata warga, begitu banyak orang yang meninggal secara tidak wajar di Batutara. "Matay beloloken," begitu istilah dalam bahasa daerah. Karena mati tidak wajar, warga percaya bahwa arwah orang-orang itu gentayangan tak karuan di Pulau Komba.

Sebagai informasi, di daerah Flores Timur, khususnya Lembata, makam orang-orang yang mati tidak wajar [bunuh diri, jatuh dari pohon, disambar petir...] terpisah dari makam biasa.

"Jangan coba-coba ke sana. Kasus orang hilang sudah sering terjadi," begitu pesan yang saya dengar dari orang tua-tua di Kampung Mawa.

Saat saya kecil tuturan orang tua-tua ini beroleh bukti. Celakanya, kasus ini menimpa Demong Ire Hurek [almarhum], masih tergolong kakek saya. Kakek Demong yang punya perahu dan senang melaut, suatu ketika, berlayar mencari ikan. Karena suka tantangan, dan ingin hasil banyak, Kakek Demong berlayar jauh ke tengah laut, mendekati Komba [Batutara].

Tunggu punya tunggu, hingga beberapa bulan kemudian, Kakek Demong Ire tidak kembali. Tidak ada berita apa pun. Perangkat desa, pemuka adat, ya, kami semua di kampung akhirnya sadar bahwa Kakek Demong Ire Hurek telah 'diambil' di Batutara. Bagaimana caranya hilang--dibawa arus, perahu tenggelam, hilang di daratan Pulau Komba, nyasar...--tidak ada yang bisa menjawab. Hilang tanpa bekas. Misterius!

Kejadian-kejadian macam ini senantiasa berulang dan sulit ditebak. Orang tahu kalau Pulau Komba itu misterius, punya potensi bahaya, sudah ada banyak orang hilang di sana, tapi biasanya satu ketika ada saja warga kami yang melaut, dan entah kenapa, nyasar ke sana. Beberapa waktu kemudian muncul kabar: si Fulan hilang di kawasan Batutara. Apa boleh buat, warga hanya bisa berdoa, mengurus upacara adat semacam 'tolak bala' di masyarakat tradisional Jawa.

Namun, di lain waktu, saya mendengar cerita dari sejumlah nelayan yang mengaku pernah mendarat di Pulau Komba. Disebutkan, daratan di sana pun ditumbuhi tetanaman seperti di Lembata, Solor, Adonara, Flores. Ubi-ubian pun tumbuh liar. Hanya saja, kondisinya serba liar karena memang tak ada satu pun penduduk di sana.

"Kalau begitu, kenapa kok tidak ada satu pun manusia yang berani tinggal di Betar?" tanya saya waktu masih duduk di Sekolah Dasar Mawa kepada Paulus Lopi Blawa [kini almarhum].

Guru yang suka melaut ini tak bisa menjawab. Guru-guru lain pun, ketika saya ajukan pertanyaan ini, tak bisa apa-apa, karena memang belum ada literatur ilmiahnya.
Maka, kalau jawatan vulkanologi mengatakan tidak bisa memasang alat deteksi di kawasan Gunung Batutara, ya, jelas sangat masuk akal. Saya pastikan, petugas pemantau gunung api di Lewotolok tidak akan berani ke Pulau Komba. Sebab, misteri Gunung Batutara ini sudah berlangsung dari generasi ke generasi.

"Iiiih, siapa yang mau mati di sana? Kalau kamu orang berani ke Betar, silakan, tapi jangan saya," begitu kata-kata khas orang Ile Ape, kecamatan di pantau utara Kabupaten Lembata.

SAYA pernah menulis kasus Pulau Bidadari di harian Radar Surabaya ketika isu penjualan pulau di kawasan Flores Barat ini mengemuka awal 2006 silam. Kasusnya mirip Pulau Komba, hanya Bidadari tak punya gunung. Warga setempat membiarkan pulau itu kosong, tanpa penghuni, dan akhirnya dikelola Ernest Lewandowsky, investor asal Inggris.

Setelah Ernest masuk, dapat izin dari Badan Koordinasi Penanaman Modal Nusatenggara Timur, baru orang ribut-ribut di media massa. Seakan-akan si bule itu hendak mendirikan 'negara di dalam negara'. Pasukan TNI AL pun sempat dikerahkan ke sana untuk 'mengamankan' Pulau Bidadari dan memasang bendera merah-putih.

Saya berharap, Pemerintah Kabupaten Lembata setelah erupsi Gunung Batutara perlahan-lahan memperhatikan pulau-pulau kecil tak berpenghuni [setahu saya cukup banyak] di wilayahnya. Saya yakin, pulau-pulau itu punya potensi untuk dikembangkan bagi kemakmuran rakyat.

Membuka isolasi pulau-pulau kosong itu secara tidak langsung membuka selubung 'misteri' yang selama beratus tahun diyakini orang-orang kampung. Jangan sampai kita baru terperanjat setelah investor dan petualang asing sejenis Ernest Lewandowsky datang menggarap pulau-pulau itu.

Sumber foto: National Library of Australia
Posted by Lambertus L. Hurek at 10:32 AM 2 comments Links to this post
Labels: Flores
25 March 2007
Cak Sidik Empu Ludruk Surabaya
Oleh KARDONO SETYORAKHMADI
Sumber: www.jawapos.co.id [25 Maret 2007]

APA ARTI LUDRUK BAGI ANDA?
Ohh, ludruk merupakan segala-galanya bagi saya. Ludruk membuat saya tetap merasa hidup. Bagi saya, ludruk tidak tergantikan oleh apa pun.

APA YANG MEMBUAT LUDRUK BEGITU BERMAKNA MENDALAM BAGI ANDA?

Yang pertama, ludruk yang memberi makan saya selama ini. (Sidik lantas tertawa terbahak) Ha.. ha.. ha... Singkatnya seperti ini, ada dua jenis orang yang bekerja. Yang pertama adalah dia bekerja, namun tidak enjoy dengan pekerjaannya. Yang kedua adalah orang yang bekerja dan enjoy dengan pekerjaannya.

Saya termasuk golongan terakhir karena ludruk bagi saya sangat asyik. Hal ini tidak bisa dijelaskan dengan gamblang lewat kata-kata. Selain itu, saya bisa punya istri dari ludruk, ha ha ha... (almarhumah Ning Surya Dewi adalah istri sekaligus kawan main ludruk bagi Sidik).

BAGIAN LUDRUK APA YANG PALING ANDA NIKMATI?

Bagian kidungan atau parikan. Di ludruk, ada tiga jenis parikan saat bedayan (bagian awal permainan ludruk). Yaitu, lamba (parikan panjang yang berisi pesan), kecrehan (parikan pendek yang kadang-kadang berfungsi menggojlok orang) dan dangdutan (pantun yang bisa berisi kisah-kisah kocak). Dalam ludruk yang benar-benar murni, seorang seniman ludruk paling tidak harus bisa parikan selama dua jam tanpa putus. Selain itu, parikan tersebut harus dituntut kontemporer.

APA YANG DIMAKSUD PARIKAN KONTEMPORER?

Artinya, parikan tersebut harus sesuai kondisi-situasi sosial yang ada. Jadi, parikan tidak boleh yang itu-itu saja. Bagi saya, di situlah asyiknya parikan. Saat melantunkan parikan, saya seperti trance. Saya merasa seperti di awang-awang dan tiba-tiba saya tidak peduli lagi dengan apa-apa. Apalagi ketika para penonton terpesona dan bertepuk tangan meriah atas parikan saya. Saat itu, saya benar-benar merasakan eksistensi saya. Saya benar-benar merasa hidup saat itu.

APAKAH ANDA LEBIH MENGUTAMAKAN SPONTANITAS ATAU MENGHAFALKAN KIDUNGAN DULU?

Kedua-duanya. Tapi, spontanitas tetap menempati porsi terbesar. Prosesnya selalu dimulai dengan parikan yang sudah dihafalkan. Baru setelah tiga hingga empat parikan, spontanitas muncul.

APA RESEP PARIKAN ATAU KIDUNGAN SPONTAN TANPA BERHENTI SELAMA SATU JAM?

Ya, itulah seninya. Seorang pemain ludruk yang mau parikan harus mengamati kondisi masyarakat sekitar tempat manggung. Sebelum manggung, saya biasanya duduk dan berjalan berkeliling ke penonton. Kepada panitianya, saya minta ditunjukkan siapa saja tokoh masyarakat yang hadir.

Kemudian, saya amati satu per satu, mulai cara dia bicara, cara dia duduk, dan ciri-ciri khusus lainnya. Selanjutnya, saya akan melakukan parikan dengan menyebut tokoh tersebut. Trik ini biasanya berhasil menggaet hati para penonton karena biasanya yang hadir rata-rata mengenali tokoh masyarakat tersebut. Kalau tawa penonton sudah terdengar dan tepuk tangan membahana,

Wah rasanya saya benar-benar menikmati dan mensyukuri hidup ini.
“Saya bahkan tidak punya pekerjaan sampingan, atau bisnis sampingan. Pendapatan utama saya ya dari ludruk," ungkap kakek 11 cucu tersebut.

DALAM BANYAK KESEMPATAN, ANDA SERING MENGATAKAN BAHWA YANG MENJADI INSPIRATOR UTAMA KARYA ANDA ADALAH ALMARHUMAH SURYA DEWI. NAH, SEPENINGGAL BELIAU (Surya Dewi meninggal akibat tumor kandungan awal 2006), APA YANG MENJADI INSPIRATOR ANDA?

Saat istri saya meninggal, itu benar-benar sebuah kehilangan besar bagi saya. Beberapa hari sesudah kematian istri saya merupakan hari-hari yang paling berat bagi saya karena dia telah menemani saya hampir 40 tahun. Apalagi dia memang merupakan sumber inspirasi bagi saya.

BAGAIMANA NING SURYA DEWI MENGINSPIRASI ANDA?

Setiap bahan perbincangan kami, cerita-cerita dia mengenai teman-temannya merupakan bahan utama ludrukan saya. Misalnya, dia pernah bercerita mengenai masalah rumah tangga yang dialami temannya. Bagaimana proses si pria kecantol wanita lain, riak-riak tersebut berawal, itulah yang menjadi sumber cerita. Namun, biasanya ada modifikasi sedikit.

Bila di dunia nyata, pasangan tersebut berpisah, namun dalam lakon yang saya buat selalu happy ending. Maklum saja, sebagai sebuah tontonan, ludruk yang saya mainkan juga harus menjadi tuntunan. Ini merupakan tanggung jawab sosial selaku seniman.

APAKAH KEHILANGAN ITU MEMENGARUHI KEMAMPUAN MELUDRUK ANDA?

Jelas sangat berpengaruh. Selama sebulan lebih, saya malas bermain ludruk. Namun, karena hidup terus berjalan, saya bisa mencari inspirasi dari hal-hal lain. Selain itu, seniman tidak seharusnya terpancang pada satu sumber inspirasi. Banyak fenomena sosial yang bisa menjadi sumber inspirasi.

Saat ini, kepergian istri saya tetap merupakan satu kehilangan, namun kini tidak memengaruhi pencarian inspirasi lagi. Hidup terus berjalan dan saya juga harus melanjutkan hidup.

(Hingga kini, Cak Sidik masih aktif dalam dunia ludruk. Saat ini, dia menjadi pembina Paguyuban Pencinta Kidungan Rek (PPKR), sebuah organisasi yang berisi penggemar Kidungan Rek, acara milik JTV. Namun, dia juga mengeluhkan animo masyarakat yang sangat kurang dibandingkan zamannya dulu).

"Sekarang sangat sedikit masyarakat yang benar-benar berniat menonton ludruk sejak dari rumah. Paling saat lewat, orang berhenti karena tertarik ada keramaian, ’Oh ada ludruk’, kemudian mampir sebentar untuk nonton," ujar Sidik.

BAGAIMANA PERASAAN ANDA MELIHAT EKSISTENSI LUDRUK SAAT INI?

Sedih juga, ya, apalagi dunia inilah yang membesarkan saya. Tapi, ini memang merupakan tuntutan perkembangan zaman. Yang paling bisa dilakukan adalah tetap berusaha mempertahankan eksistensi ludruk pada umumnya dan parikan pada khususnya.

CARANYA?

Terus terang, media massa memegang peran sangat penting dalam hal ini. Misalnya, kalau tidak ada acara Kidungan Rek yang ditayangkan JTV, saya yakin bahwa tak lama lagi kidungan bakal menjadi sekadar kenangan alias punah.

APA SAJA HAMBATAN PELESTARIAN ITU, TERUTAMA DARI FAKTOR INTERNAL SENIMAN?

Paling utama adalah regenerasi yang kurang berjalan maksimal. Setelah Kartolo, hampir belum ada bibit yang sangat menonjol dan begitu terkenal. Saya menilai bahwa generasi muda seniman ludruk kadang sudah merasa "wah" terlebih dulu, padahal belum menghasilkan karya fenomenal. Selain itu, banyak yang terlihat kurang total dalam berkesenian ludruk.

BUKANKAH ITU TAK BISA DISALAHKAN MENGINGAT LUDRUK KINI TIDAK BISA MENJANJIKAN MASA DEPAN "CERAH"?

Memang kurang prospektif, namun saya yakin kalau betul-betul ditekuni, pasti juga akan ada jalan. Buktinya saya. Dulu ketika awal-awal aktif di ludruk, saya merupakan seorang pegawai percetakan dengan gaji lumayan. Namun, karena saya ingin total, pekerjaan di percetakan itu saya lepas dan terjun total di dunia ludruk. Buktinya, saya punya rumah cukup nyaman dan tidak kekurangan satu hal apa pun.

APA OBSESI ANDA YANG BELUM TERCAPAI?

Saya rasa semuanya sudah tercapai. Apa sih yang dicari dalam hidup? Saya punya rumah, punya anak, dan istri. Anak-anak saya sudah jadi semua. Saya juga tidak kekurangan makanan dan terus menggeluti dunia yang saya cintai. Apalagi yang kurang?



SIDIK, ANAK BAND YANG TERSESAT KE LUDRUK

TAK ada yang pernah menyangka bahwa seorang Sidik Wibisono akhirnya kondang sebagai seniman ludruk yang cukup punya nama. Dulu sama sekali tak tebersit dalam cita-cita Cak Sidik untuk menjadi tukang ngeludruk. Menurut pengakuannya, dia sebenarnya orang yang tersesat dalam dunia ludruk.

Titik balik karir Sidik terjadi pada 1969. Ketika itu, kakek 11 cucu tersebut masih berprofesi sebagai pemusik. Dia adalah personel Band DAMRI dan BAT. Posisinya adalah vokalis merangkap rhythm guitar.

"Saya cukup dikenal saat itu. Biasane sing nanggap yo instansi-instansi," kenang pria 63 tahun itu. Lagu-lagu yang biasa dia bawakan adalah milik Koes Plus dan oldies pop semacam Oh Carol. Setelah dua tahun tidak ada perkembangan berarti di bandnya, Sidik muda ingin mengembangkan karir.

Namun tetap, menjadi seniman ludruk tidak ada dalam pikirannya saat itu. "Awalnya saya justru melamar sebagai penyanyi di Srimulat," ucapnya. Saat itu, Srimulat sedang jaya. Namun, nasib berkata lain. "Lamaranku ditolak. Alasane, wis kakehan penyanyi (lamaran saya ditolak. Katanya, sudah terlalu banyak penyanyinya, Red)," urai ayah lima anak itu.

Sempat putus asa, Sidik muda kemudian disarankan ayahnya untuk melamar di Ludruk Tri Sakti di THR. Ludruk itu termasuk grup papan atas. Personelnya adalah pentolan-pentolan ludruk. Misalnya, Cak Meler, Cak Rukun, dan Cak Parmo. Sidik kemudian menuruti saran ayahnya.

Tesnya sungguh di luar dugaan Sidik. Dia langsung disuruh mengisi bedayan (sesi awal ludruk yang berisi kidung-kidungan selama satu jam). Penuh percaya diri, Sidik menerima tantangan itu. Hasilnya luar biasa, Sidik berhasil melantunkan kidungan-kidungan milik Cak Meler dan memukau penonton selama hampir satu jam.

Rupanya, Sidik muda ternyata juga sering melihat ludruk. Cak Meler adalah salah satu favoritnya. "Tiap lihat parikan Cak Meler, saya menghafalnya," kata penghobi bulu tangkis itu.

Ada cerita unik mengenai hal tersebut. Saat Sidik ngidung, Cak Meler dan Cak Rukun sedang nongkrong di warung sebelah. Tiba-tiba Cak Rukun bertanya ke Cak Meler, "Ler, sopo sing ngidung iku (siapa yang bernyanyi itu)?"

Cak Meler menjawab penuh percaya diri, "Alah, iku paling kasetku sing disetel (paling itu kaset saya yang disetel)."

Dua seniman kawakan itu lantas taruhan. Jika ternyata suara kidungan merdu itu dari kaset, Cak Meler menang. Jika ternyata bukan kaset, Cak Rukun menang. Yang kalah harus mentraktir makan.

Dan, ternyata yang tampil adalah Sidik. Rupanya, saking mirip dengan kidungan Cak Meler, si pemilik asli sampai pangling. "Karena saya belum punya parikan sendiri, saya membawakan semua parikan Cak Meler yang saya hafal. Mulai cengkok, syair, hingga intonasinya, semua saya tiru persis," urainya, kemudian tersenyum mengingat peristiwa tersebut.

Yang tak kalah girang adalah para pentolan ludruk tersebut. Setelah pentas, Sidik langsung disalami para dedengkot ludruk tersebut.

"Saya kemudian diajari langsung oleh Cak Rukun dan Cak Meler. Merekalah yang meletakkan dasar-dasar ludruk ke saya," tuturnya. Ketika itu, Cak Meler dan Cak Rukun mengarahkan Sidik ke kidungan dan lawakan.

Itulah titik balik Sidik dalam dunia ludruk. Setelah setengah tahun bersama di Ludruk Tri Sakti, Sidik bergabung dengan Ludruk RRI. Di tempat itulah, Sidik mendapatkan masa keemasan.

"Dulu, kalau sampai pentas di daerah, misalnya jarak 10 km sebelum masuk kota saja, sudah dielu-elukan. Para senimannya bahkan sampai perlu diarak dengan jip terbuka supaya semua masyarakat tahu. Jan koyok Agnes Monica lek arep pentas (Seperti Agnes Monica kalau akan pentas)," kelakarnya.

Selain itu, dunia ludruk pula yang mempertemukan Sidik dengan jodohnya. Surya Dewi yang kelak menemani Sidik hampir 40 tahun tak lain adalah salah seorang anggota Ludruk RRI. "Aku kenek cinlok (cinta lokasi, Red)," kenangnya, sedikit bergurau. Sejak itu, nama Sidik tak bisa dilepaskan dari dunia ludruk Surabaya. Bahkan, hingga kini.

TENTANG H.M. SIDIK WIBISONO

Nama Tenar: Cak Sidik
Tempat/Tgl Lahir : 6 November 1944
Istri : (Alm) Hj Surya Dewi
Anak :
1. Eka Suryanto Wibisono
2. Dwi Agus Sugiono
3. Mery Triana Dewi
4. Fifi Rosiana Dewi
5. Yeni Erawati Dewi
Posted by Lambertus L. Hurek at 11:56 PM 0 comments Links to this post
Labels: seni tradisi
Umat Hindu dan Air Jolotundo

Oleh Lambertus L. Hurek

Tak banyak yang tahu, sebagian besar umat Hindu di Kabupaten Sidoarjo mengandalkan air Jolotundo untuk konsumsi sehari-hari. Sumber air yang keluar dari perut Gunung Penanggungan itu sarat nilai spiritual. Secara ilmiah, berdasar uji laboratorium, kualitas air Jolotundo lebih bagus ketimbang air kemasan.

"Saya dan keluarga sudah empat tahun ini menggunakan air Jolotundo untuk berbagai keperluan. Untuk konsumsi sehari-hari di rumah jelas pakai air ini," ujar IDA AYU, warga Pondok Jati, Sidoarjo, kepada saya. Ida bersama sekitar 20 umat Hindu saat itu melakukan prosesi pengambilan air suci di kawasan Jolotundo, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto.

Mereka membawa sebuah truk besar (milik TNI Angkatan Darat) berisi belasan jeriken kosong. Jerikan itu kemudian diisi air Jolotundo, satu tempat suci umat Hindu di Jawa Timur. "Kami ke sini kalau jeriken-jerikan di rumah sudah kosong," ujar Ida.

Mengambil air di Jolotundo, bagi pemeluk Hindu taat seperti Ida Ayu dan rombongan, jelas tidak sama dengan mengambil air di Prigen, Pacet, Trawas, dan kawasan sumber air pegunungan lain. Di sini proses ritual harus diikuti secara cermat. Busana yang dikenakan anggota rombongan pun khas Hindu Bali, serba putih, persis ketika mengikuti acara sembahyangan Hindu.

Karena itu, tidak mungkin mereka, misalnya, mengirim anak buah ke Jolotundo untuk mengisi jeriken-jeriken kosong tadi. Jika itu yang terjadi, kata beberapa umat Hindu, maka nilai sakralitasnya hilang. Tak ada bedanya dengan air pegunungan biasa yang dikonsumsi masyarakat umum. "Ini tempat suci, jadi harus ada ritualnya," tutur Ida Ayu lalu tersenyum.

Mula-mula rombongan asal Sidoarjo, Wonoayu, Jabon, dan Porong ini singgah di PETILASAN NAROTAMA, mahapatih terkenal pada masa RAJA AIRLANGGA. Di kompleks yang baru saja direnovasi itu umat Hindu melakukan doa bersama. Setelah itu, mereka berjalan kaki sekitar 200 meter ke Candi Jolotundo. Jaraknya sekitar 150 meter, tapi sangat menanjak.

"Sekalian olahraga karena medannya sangat berat. Kalau setiap hari kita jalan mendaki seperti ini, badan pasti lebih sehat," ujar Letkol ANAK AGUNG.

Bagi rombongan Sidoarjo ini, tanjakan tajam ini bukan perkara besar karena sudah menjadi menu rutin mereka. Istirahat sejenak di pelataran Candi Jolotundo, prosesi dilanjutkan dengan acara mandi bersama. Mandi di petirtaan sekaliber Jolotundo diyakini membawa kesegaran dan kesucian. Orang diingatkan untuk membersihkan kotoran dari tubuh dan jiwanya.

Tempat mandi untuk laki-laki dan perempuan dipisahkan cukup jauh. "Wanita yang sedang datang bulan dilarang masuk ke kolam Jolotundo. Anda juga diharapkan tidak kencing di dalam air," begitu pesan tertulis (dan lisan) yang wajib ditaati semua pengunjung Candi Jolotundo, tak hanya umat Hindu tentu saja.

Rupanya, acara mandi bersama ini begitu penting. Lihat saja, beberapa orang tua sempat 'marah-marah' lantaran anaknya enggan menceburkan diri ke dalam kolam Jolotundo. Asal tahu saja, lokasi Jolotundo yang mencapai 525 meter dari permukaan laut membuat kawasan ini sangat sejuk, apalagi pada petang hari. "Kalau nggak mau mandi, ya, raup saja," imbau salah satu orang tua.

Si Bagus, pelajar SMPN 4 Sidoarjo, masih terlihat ogah-ogahan. "Dingin, malas ah!" kata Bagus bersungut-sungut. Namun, setelah dilobi terus-menerus, Bagus akhirnya menyerah dan mandi di kolam Jolotundo. "Rasanya segar sekali. Saya juga minum air langsung dari pancuran," kata Bagus, kali ini berseri-seri.

MANDI bersama di Candi Jolotundo--yang airnya memancur nonstop itu--tidak boleh pakai sabun. Pengunjung, tak hanya umat Hindu, juga dianjurkan 'pipis' dulu di toilet, sekitar 50 meter dari kolam Jolotundo. Kebiasaan pengguna kolam renang biasa, yang suka kencing di dalam, tidak boleh dilakukan di kolam alami Jolotundo.

Wanita yang tengah menstruasi pun dilarang masuk ke kolam. Tapi dia bisa menikmati air bening dan sehat Jolotundo di kamar mandi Jolotundo sepuas-puasnya. Ini semua untuk menjaga kebersihan, kesehatan, serta kesucian air di Jolotundo. Bayangkan saja kalau warga mandi memakai sabun, keramas, atau (maaf) kencing sembarangan di dalam kolam.

"Umat Hindu jelas sudah sangat paham karena ini jadi tempat suci mereka. Tapi
untuk orang lain pasti selalu kita ingatkan agar menjaga kesucian tempat ini," ujar KAYUN, salah satu dari 14 penjaga (juru kunci) Candi Jolotundo, kepada saya.

Kembali ke acara mandi bersama. Namanya juga orang kota yang jarang menikmati air pegunungan, umat Hindu asal Sidoarjo ini cukup lama berada di dalam kolam. Sekitar 30 menit hingga satu jam mereka berendam di air, sembari sekali-sekali membuka mulut lebar-lebar, menengguk air minum asli pegunungan itu.

"Segar bukan main. Kami sudah pernah ngetes di laboratorium, hasilnya ternyata sangat bagus. Lebih bagus dari air minum dalam kemasan, apalagi air isi ulang," ujar IDA BAGUS OKA, warga Pondok Jati, yang menjadi pemimpin acara ritual di Candi Jolotundo.

Setelah mandi, umat Hindu mengenakan kembali busana putihnya (tak perlu handuk segala) dan siap melanjutkan ritual. Kali ini, mereka duduk bersila di pelataran candi, persis di atas kolam ikan, dan meditasi. Mula-mula dilantunkan puja-puji kepada Sang Hyang Widhi dipimpin Ida Bagus Oka. Diterangi cahaya bulan purnama, prosesi ini menambah mistis suasana Candi Jolotundo malam Minggu.

Sementara itu, pengunjung biasa yang bukan Hindu, termasuk mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya yang tengah camping di kawasan Jolotundo, duduk di ruang tunggu. Mereka memberi kesempatan kepada rombongan dari Sidoarjo untuk menggelar ritual sampai tuntas. Sebuah praktik toleransi antarumat beragama yang layak dilestarikan di muka bumi.

"Ini pengalaman baru bagi saya. Saya akhirnya tahu kalau di Jolotundo ini suasananya sangat religius. Makanya, saya penasaran ke sini dan ingin menikmati mandi di Jolotundo," aku Ahmad, mahasiswa asal Surabaya.

Ritual mandi bersama dan meditasi akhirnya tuntas sekitar pukul 18:30 WIB. Hampir bersamaan, 20-an jerikan besar (50-an liter) berwarna putih telah diisi air dari pancuran Jolotundo. Jeriken-jerikan penuh air tadi kemudian dibawa ke truk militer yang parkir di pintu gerbang Jolotundo. Rombongan pun pulang ke Sidoarjo membawa beban ratusan liter air dari perut Gunung Penanggungan yang muncrat dari Candi Jolotundo.

"Biasanya kami konsumsi sampai satu bulan. Kalau habis, ya, kami datang lagi ke sini untuk mengambil air. Acaranya, ya, seperti ini juga," ujar Ida Ayu.

Sejak tinggal di Sidoarjo, awal 2000, Ida Ayu dan rombongan senantiasa datang kompleks Candi Jolotundo untuk mengambil air. Adapun air PDAM Sidoarjo tidak dipakai untuk minum sehari-hari, tapi mencuci, menyiram, dan sebagainya. Air minum dalam kemasan seperti Aqua, Total, Ades, dll sekadar pelengkap. Konsumsi utama, ya, air Jolotundo.

"Minum air Jolotundo dengan air biasa itu rasanya lain. Itu yang saya rasakan selama ini," begitu kesaksian Ida Ayu. Mau coba?
Posted by Lambertus L. Hurek at 12:20 PM 2 comments Links to this post
Labels: cagar budaya
Dewi Sekardadu dan Nyadran Sidoarjo



Upacara tradisional nyadran yang dilakukan masyarakat nelayan di Sidoarjo, setiap tahun, dipusatkan di makam GUSTI AYU DEWI SEKARDADU, Dusun Kepetingan, Desa Sawohan, Kecamatan Buduran. ABDUL ROHIM alias Pak DUROHIM menceritakan legenda GustiAyu Dewi Sekardadu kepada saya.

Pria yang ramah ini tidak bisa berbahasa Indonesia dan tak bisa baca-tulis, tapi ingatannya luar biasa. Ceritanya runut dan detail.

“Saya sudah hafal di luar kepala," ujar Durohim kepada saya di kompleks Makam Dewi Sekardadu, Kepetingan, Sidoarjo.

Durohim ibarat pemandu wisata di pantai wisata utama Kabupaten Sidoarjo itu. Begitu tahu akan ditanya legenda singkat Dewi Sekardadu, Durohim sangat antusias. Ceritanya detail, khas ahli dongeng atau penutur cerita rakyat tempo doeloe.

"Dewi Sekardadu itu bukan orang sembarangan. Beliau ibundanya Raden Paku, salah satu wali penyebar agama Islam," tuturnya, ramah.

Cerita bermula dari Tanah Blambangan, Banyuwangi, pada masa Prabu MINAK SEMBUYU. Dewi Sekardadu, putri Minak Sembuyu yang cantik jelita, diserang penyakit sangat berat. Segala macam upaya sudah dicoba, tabib-tabib terkenal sudah bekerja, tapi sia-sia. Pada tahun 1362 (versi Pak Durohim), kebetulan Syech MAULANA ISKAK (asal Yaman) tengah menyebarkan Islam di Pulau Jawa.

Waktu itu, ujung rezim Majapahit, penduduk tanah Jawa memang belum banyak memeluk Islam. Kebetulan Maulana berada di Blambangan. Raja yang putus asa akhirnya bikin sayembara. Siapa yang bisa menyebuhkan Dewi Sekardadu akan dijadikan mantu kalau masih muda. Kalau sudah tua, jadi kerabat kerajaan. Maulana, sang ustad, ikut sayembara, dan akhirnya sukses menyembuhkan Dewi Sekardadu.

Syech dari Timur Tengah itu pun menikah dengan DEWI SEKARDADU BINTI MINAK SEMBUYU. "Tapi Raja nggak suka Maulana karena nggak mau jadi Islam. Itu membuat permusuhan di antara mereka. Tegang terus," tutur Pak Durohman.

Diserang terus oleh Minak Sembuyu membuat Maulana pamit mundur kepada istrinya. Saat itu Dewi sudah hamil tujuh bulan. Kalau lahir laki-laki, pesan Maulana, namakan dia RADEN PAKU. Syech Maulana kemudian meninggalkan Blambangan, pergi berdakwah di tempat lain. "Tahun 1365 Sunan Giri alias Raden Paku lahir," kata Durohim.

Raja Blambangan murka. Ia khawatir Raden Paku bakal merusak wibawanya. Karena itu, ia memutuskan untuk membuang cucunya ini ke laut. Para prajurit memasukkan si bayi ke dalam peti dan mengapungkannya. Mengetahui anak tercintanya dibuang ke laut, Dewi Sekardadu menceburkan diri ke laut mengejar-ngejar anaknya. Sia-sia. Gelombang terlalu besar, dan apalah kemampuan berenang manusia.

Singkat cerita, kata Durohman, jasad Dewi Sekardadu dan peti pembawa Raden Paku harus berpisah. Dewi Sekardadu dibawa ke arah Sidoarjo, sementara peti berisi bayi Raden Paku nyasar ke Gresik.

Kebetulan, pada 1365 itu, ada nelayan Balongdowo [Sidoarjo] tengah mencari kerang di perairan Selat Madura. Kaget sekali mereka melihat jasad perempuan cantik yang digotong ramai-ramai oleh ikan keting. Jasad itu terdampar di pantai, dan dikebumikan secara terhormat oleh warga. Tempat itu akhirnya dinamakan KETINGAN alias KEPETINGAN.

"Jadi, Ibu Dewi Sekardadu itu, ya, dikubur di sini. Di tempat kita duduk sekarang," ujar Durohman kepada saya.

SEPERTI babat atau cerita rakyat lainnya, urusan makam DEWI SEKARDADU memang ada beberapa versi. Konon, makam ibunda Sunan Giri ini ada di tiga, bahkan tujuh tempat. Abdul Rohim alias Pak Durohim, penjaga makam Dewi Sekardadu di Kepetingan, tenang-tenang saja.

"Nggak apa-apa, yang penting makam Dewi Sekardadu yang benar itu, ya, di sini," tegasnya ketika saya minta penegasannya.

Berdasarkan kisah turun-temurun, yang sangat ia kuasai, Durohim hakul yakin putri Raja Blambangan, Prabu Minak Sembuyu, ini hanyut di laut dan digotong oleh ikan keting [asal mula nama Dusun Ketingan atau Kepetingan] dan dimakamkan di sana.

Kenapa makam Dewi Sekardadu ada di Kepetingan dan Gresik? Durohim punya pendapat. Suatu ketika, tahunnya tidak jelas, kerabat dan para santri Raden Paku alias Sunan Giri mengetahui bahwa jenazah Dewi Sekardadu, ibunda Sunan Giri, dimakamkan di Kepetingan. Mereka pun datang untuk mengambil jasad itu.

"Tapi tidak diambil fisiknya. Mereka pakai cara gaib. Jadi, yang dibawa ke Gresik itu sukmanya. Jasadnya tetap di Ketingan. Kalau mereka bilang makam Dewi Sekardadu di Gresik, ya, bisa benar. Di sini juga benar. Saya ini kan keturunan orang Gresik juga, jadi tahu persis ceritanya," ujar Durohim dalam bahasa Jawa halus, yang diterjemahkan Haji Waras, ketua komunitas nelayan Bluru Kidul, Sidoarjo.

Bagi nelayan Ketingan, Balongdowo, dan Bluru Kidul, kontroversi seputar lokasi makam Dewi Sekardadu tidak begitu penting. Yang paling penting, Dewi Sekardadu bukan orang sembarangan karena ia ibunda Sunan Giri, salah satu wali penyebar Islam di Jawa.

Karena itu, ritual nyekar atau ziarah di makam Dewi Sekardadu menjadi tradisi turun-temurun para nelayan di Sidoarjo. Upacara nyadran senantiasa menjadi momen untuk mengucap syukur kepada Tuhan atas hasil laut yang telah mereka nikmati. Mereka juga berdoa, menggelar pengajian di kompleks makam Dewi Sekardadu, agar rezeki dari laut selalu dilimpahkan kepada para nelayan. "Tempatnya bagus untuk berdoa, sekaligus syukuran," kata Haji Waras.

Saya beberapa kali ikut upacara nyadran yang sangat kental dengan nuansa tradisi Jawa dan Islam. Sebuah kombinasi atau inkulturasi yang sangat harmonis. Para nelayan, khususnya ibu-ibu, menyiapkan tumpeng--semakin banyak semakin baik--untuk dilarung di beberapa tempat penting di sepanjang sungai.

Sebagian tumpeng dibawa ke kompleks makam Dewi Sekardadu. Setelah pengajian, mendengar khotbah cukup panjang, makanan rakyat itu pun dinikmati bersama. Warga Ketingan, sebagai tuan rumah dan 'penjaga' makam Dewi Sekardadu menerima para tamunya dari Balongdowo atau Bluru Kidul dengan ramah. Mereka memang sama-sama orang laut.

Dari kompleks makam, proses perahu dilanjutkan ke tengah laut, dekat Selat Madura. Diyakini, zaman dulu jasad Dewi Sekardadu ditemukan oleh para nelayan Sidoarjo, yang tak lain nenek-moyang para nelayan di Sidoarjo sekarang. Mereka melakukan napak tilas itu dengan mempersembahkan tumpeng utama di situ. Lalu, pulanglah rombongan perahu nyadran untuk melanjutkan acara di kampungnya.

Begitulah. NYADRAN alias TASYAKURAN LAUT alias PETIK LAUT selalu menjadi hajatan meriah bagi keluarga besar nelayan Sidoarjo. Sebuah tradisi orang kampung untuk bersyukur kepada Allah yang Mahabesar.
Posted by Lambertus L. Hurek at 11:38 AM 3 comments Links to this post
Labels: cagar budaya
Kasus Playboy Cermin Hegemoni USA

[Pemimpin Redaksi Playboy yang jadi korban hegemoni budaya Amerika Serikat. FOTO: Reuters.]

Oleh Lambertus L. Hurek

Majalah Playboy Indonesia [selanjutnya Playboy] sulit ditemukan di Surabaya. Bahkan, boleh dikata, sejak edisi perdana majalah ini tidak dijual di pasar. Agen, loper, pengecer takut. “Mending nggak jual ketimbang dirazia, Mas,” ujar Syamsul Hidayat (24 tahun), penjaga kios koran dan majalah di kawasan Aloha, kepada saya.

Karena itu, bisa saya pastikan, sejak terbit pada awal Januari 2006 sangat sedikit warga Jawa Timur yang pernah membaca Playboy. Termasuk wartawan. Banyak teman wartawan, pengamat, akademisi, mahasiswa, yang banyak bicara soal Playboy, kecam sana-sini, tapi belum pernah lihat majalahnya. Sampai sekarang.

Saya sedikit beruntung. Secara tak sengaja saya menemukan Playboy di sebuah kios di Sidoarjo. Edisi Februari 2007, harga Rp 50 ribu. Saya langsung beli untuk mengaji isinya. Apa benar Playboy [Indonesia] majalah porno? Isinya merangsang birahi? Saat libur akhir pekan, saya manfaatkan waktu untuk membaca media waralaba dengan pemimpin redaksi ERWIN ARNADA ini.

Ada foto-foto model DERIELL JAQUELINE bertajuk ‘Sleeping Beauty’. Deriell pakai busana meski minim. Tidak telanjang bulat macam Playboy di Amerika Serikat atau negara-negara Barat. Juga model Lucky Angela berpose di pantai.

Posenya tak jauh berbeda dengan model-model di majalah hiburan lain. Bahkan, masih kalah panas dengan model-model di tabloid syur sejenis media-media di lingkungan Grup Top, pimpinan SINGGIH SUTOYO. Playboy [Indonesia] ini, ya, macam majalah Popular atau Matra yang bukan waralaba.

Dicetak di atas kertas luks, Playboy juga menampilkan wawancara panjang (sembilan halaman) dengan Tukul Arwana, pelawak yang jadi pemandu acara Empat Mata di Trans7. Sangat menarik percakapan antara dua wartawan Playboy [Soleh Solihun dan Alfred Ginting]. Kemudian bahasan tentang ‘Panji 666’ atawa pemujaan setan. Artikel panjang menampilkan beberapa sumber, termasuk Fabie Sebastian Heatubun, pastor serta dosen Universitas Parahyangan Bandung.

Tataan halaman, gambar ilustrasi, bagus sekali. Lalu, liputan panjang Linda Christanty [diperkaya fot-foto Hotli Simanjuntak] berjudul Orang-Orang Ditiro. Ini reportase yang ditulis dengan gaya sastrawi, seperti artikel-aetikel di majalah Pantau [almarhum]. Laporan 10 halaman ini sangat berwarna, manusiawi, menampilkan sisi-sisi menarik yang tidak ditemukan di media lain.

Hanya penulis-penulis sekaliber Linda Christianty yang mampu bikin tulisan bagus macam ini. Terus terang, selama menjadi wartawan di Surabaya, saya belum pernah membaca feature sebagus ini. Playboy beruntung mendapat kontribusi liputan-liputan bernas.

Lha, lalu kenapa Playboy begitu kontroversial? Pemimpin redaksinya, Erwin Arnada, dituntut hukuman dua tahun penjara? Kantornya di Jakarta dirusak? [Sekarang Playboy bermarkas di Jalan Tukad Citarum 999 XL Panjer, Denpasar. Telepon: 0361-758671, 763981.] Kenapa setiap kali sidang, ratusan anggota Front Pembela Islam unjuk rasa besar-besaran?

Saya rasa, persoalannya bukan lagi di isi, melainkan citra.

Playboy sejak dulu identik dengan media porno. Foto-foto telanjang. Model-model berbusana minim. Merayakan hedonisme tubuh. Maka, kalaupun Erwin dan pengelola Playboy [Indonesia] menyesuaikan isi majalah dengan nilai-nilai Indonesia, tidak ada gambar telanjang, ya, tetap saja citra mesum ini tidak hilang. Apa pun penjelasan Erwin dan Ponti, saya yakin, tak akan memuaskan FPI.

Andai saja majalah bulanan itu diganti, tidak pakai nama Playboy, saya yakin Erwin Arnada tidak perlu berlelah-lelah menghadapi proses hukum. Kasus Playboy ini, kalau mau jujur, bukan lagi perkara isi majalah, melainkan semata-mata pengadilan citra majalah yang didirikan oleh Hugh M Hefner ini. Tidak lebih.

Orang Indonesia, kalau mau jujur, sebetulnya sudah lama hancur secara budaya. Penjajahan budaya oleh Amerika sudah berlangsung sejak awal Orde Baru, sistematis, menembus ke bawah sadar orang Indonesia. Mau bukti?

Anak-anak muda kita sangat tergila-gila dengan berhala-berhala pop Amerika. Hiburan ala Amerika. Cara berbahasa pun gado-gado: bahasa Indonesia dicampur melayu betawi, bahasa Inggris-Amerika, secara serampangan. Kacau! Rambut dan matanya disesuaikan dengan bule Amerika. Semua yang berasal dari Amerika, termasuk sampah-sampah budaya, ditelan mentah-mentah.

Nah, Erwin Arnada serta Ponti Corolus sejatinya tak lebih dari korban hegemoni budaya Amerika di tanah air. Daripada capek-capek bikin majalah baru, yang belum tentu laku, kenapa pinjam saja merek Amerika yang sudah mendunia?

Ini murni logika pedagang. Erwin dan Ponti tahu benar selera orang Indonesia, yang suka intip gambar bugil, kemudian menerbitkan Playboy. Para agen kapitalis Amerika niscaya bergeming meski muncul penentangan, unjuk rasa, sehebat apa pun.

Saya melihat orang-orang FPI hanyalah segelintir orang yang berani terang-terangan melawan hegemoni nilai-nilai Amerika [American minded] yang sudah begitu merasuk ke hati bangsa kita sejak 1966. Ketika jutaan remaja kita tergila-gila dengan semua yang berbau Amerika, merayakan hegemoni Amerika di sini, maka protes FPI serta ulama konservatif [meminjam istilah Tukul Arwana]: tidak relevan dan signifikan.

Di sini, Playboy beroleh begitu banyak pendukung meski tidak berani terbuka seperti FPI.

Ah, malang nian bangsaku!

Sepanjang hidupnya Indonesia tak pernah lepas dari belenggu penjajahan. Selepas penjajahan Belanda dan Jepang, kita dijajah secara budaya oleh Amerika dan antek-anteknya. Begitu halusnya hegemoni budaya Amerika, kita sudah tak sadar telah mengadopsi american minded, american language, american style, american culture... dalam kehidupan sehari-hari. Penjajahan budaya jauh lebih parah dampaknya.

Mau bukti? Gampang saja. Berapa banyak anak muda di Pulau Jawa yang senang wayang kulit, ludruk, ketoprak? Berapa banyak grup kesenian tradisional yang bertahan? Bagaimana dengan kemampuan berbahasa daerah anak-anak muda sekarang?

Saya membaca kasus Playboy ini dalam konteks penjajahan budaya Amerika.
Posted by Lambertus L. Hurek at 11:06 AM 1 comments Links to this post
Labels: jurnalisme
24 March 2007
Suwarni Perempuan Perkasa

Oleh Lambertus L. Hurek

Kami, rombongan Grup JAWA POS Biro Sidoarjo secara tak terduga bertemu dengan Suwarni di Dusun Mergosari, Kecamatan Tarik. Di perkebunan tebu, kampung pelosok, jalan mulus, tiba-tiba salah satu sepeda motor bocor bannya. Mana ada tukang tambal ban?

Menuntut motor sambil bercanda, sekitar tiga kilometer, kami bertemu SUWARNI. "Bocor ya? Mau ditambal?" ujar Warni. Tentu saja. Dalam sekejap, dia keluarkan perkakas tambal ban... dan mulai bekerja. Sangat lincah!

"Saya memang tukang tambal ban. Saya sudah menekuni pekerjaan ini sejak 1993. Kerja apa saja, pokoke halal," ujar wanita asli Tarik, Sidoarjo, lahir tahun 1963 ini. Tak sampai 30 menit, pekerjaan Warni rampung.

"Untung ada Ning Warni, kalau tidak kita harus tuntun ke Mojokerto," komentar Agus, loper koran.

Suwarni ternyata bukan hanya jago tambal ban, yang kondang di kawasan Tarik hingga Mojokerto. Ibu tiga anak ini juga sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek. Sehari-hari Warni melintas di jalan-jalan kampung mulai Tarik, Mojokerto, Prambon, Tulangan, Tanggulangin, hingga Sidoarjo. "Tergantung konsumenlah. Kita sih senang saja. Namanya juga cari makan," tuturnya, lembut.

Menjadi tukang ojek, kemudian tambal ban, dilakoninya saat ia berusia 30 tahun. Berbekal kepiawaian mengemudikan motor, Warni mencoba menekuni ojek, dunia laki-laki. (Sampai sekarang Warni merupakan satu-satunya tukang ojek wanita.) Tentu saja, muncul banyak suara sumbang, atau sekadar heran, kok wanita jadi tukang ojek rangkap tambal ban? Bukankah itu pekerjaan laki-laki?

Namun, Warni tenang saja. "Biarkan aja mereka bicara. Saya kan bekerja untuk kebutuhan keluarga. Kalau saya nggak kerja, apa mereka bantu keluarga saya?"
Memang, di awal-awal menekuni ojek plus tambal ban Warni dianggap aneh, nyeleneh, nggak umum. Tapi, lama kelamaan, warga Krian dan sekitarnya terbiasa juga melihat Warni berkiprah di jalan raya. Menurut dia, yang heran melihatnya sebagai tukang ojek dan tambal justru orang-orang 'luar'.

Secara tak langsung, meminjam ungkapan kalangan feminis, Warni diam-diam berhasil melakukan dekonstruksi budaya patriarkhi yang sangat kuat di masyarakat Indonesia. Ning Warni membuktikan bahwa pembagian pekerjaan atas dasar jenis kelamin (wanita urusan domestik, laki-laki urusan publik) sebetulnya tidak relevan di zaman globalisasi ini.

Ada keuntungan tersendiri buat Ning Warni. Sebagai wanita, ia justru lebih disukai kaum hawa yang ingin menggunakan jasa ojek. Wanita membonceng wanita jelas lebih diterima di kawasan pedusunan. Wanita bagaimanapun juga punya kendala psikologis kalau dibonceng ojek pria kendati sudah kenal.

"Lebih sreg kalau dibonceng Ning Warni. Kita kan sama-sama wanita, jadi enak kalau di jalan," ujar seorang Siti Fatimah, wanita berjilbab.

Bagi penganut Islam taat ini, laki-laki membonceng wanita yang bukan 'muhrim' secara teologis tidak bisa diterima. Jika wanita ojek seperti Ning Warni diperbanyak, justru lebih bagus.

Warni mengaku beberapa kali membuat penumpangnya terkecoh. Memakai kaos oblong, celana panjang, helm standar, si penumpang (baru) itu tidak sadar kalau si tukang ojek yang ditumpanginya perempuan. Di tengah jalan, ketika berdialog, si penumpang terkejut karena suara tukang ojek ternyata perempuan.

"Maaf, sampayen ini laki-laki apa perempuan?" tanya si penumpang. Lantas, Warni buka helemnya, memperlihatkan wajah serta rambut panjangnya. Ger-geran pun terjadi. Si ojek ini ternyata wanita tulen, bukan waria, bukan pria.

Swarni mengaku kaget karena keberaniannya menekuni 'profesi laki-laki' ternyata mendapat perhatian orang lain. Tiba-tiba saja ada panitia KARTINI AWARD (Hotel Surabaya Plaza, dulu Hotel Radisson) datang menghubunginya di Dusun Dusun Mergosari, Kecamatan Tarik.

Waktu itu Ning Warni, sapaan akrabnya, tengah menggeluti profesinya, tambal ban.
Sembari menunggu penumpang (ojek). Warni dianggap memenuhi kriteria Kartini Award, sehingga layak mendapat penghargaan. Acara digelar di Surabaya, di tengah-tengah hotel berbintang. "Saya kaget sekali, kok dapat penghargaan. Prestasi saya apa? Beneran apa main-main," kenangnya.

Sang panitia ternyata bisa meyakinkan Warni. Akhirnya, ibu tiga anak itu (SRI IRAWATI, JOKO BASUKI, RIA AGUSTINA) datang ke Surabaya pada Hari Kartin. Benar. Ning Warni, yang sejak 1993 hanya beredar di pelosok Tarik, tiba-tiba menjadi bintang acara. Dielu-elukan, dipuji sebagai wanita yang bisa mewujudkan cita-cita Raden Ajeng Kartini.

"Lumayan, hadiahnya macam-macam. Uang tunai, piagam, serta bingkisan lain," tutur istri Cak Otheng, dedengkot ludruk di kawasan Tarik.

Acara Kartini Award itu diliput banyak wartawan dari berbagai media lokal maupun nasional, termasuk televisi. Maka, wajah Warni pun masuk koran, majalah, tabloid, televisi. Warga Dusun Mergosari pun terkaget-kaget menyaksikan sosok Warni di media massa. Kok bisa tukang ojek dan tambal ban diliput kayak selebriti saja? Warni sendiri hanya tersenyum.

Ia tetap sederhana, melayani konsumen (ojek dan tambal ban) dengan ramah, apa adanya. Tak ada yang berubahpada diri seorang Ning Warni kendati sempat diliput luas media massa. Warni menganggap Kartini Award, liputan media massa, apresiasi warga Surabaya, sebagai dukungan moral baginya untuk terus menekuni profesi 'laki-laki' ini.

Syukur-syukur, makin banyak wanita yang jadi tukang ojek, tambal ban, tentara, polisi, wartawan, seniman... profesi apa pun. Profesi apa pun, katanya, bisa dilakoni kaum perempuan dengan hasil yang tak kalah dengan kerja laki-laki. Dus, tak perlu ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. "Yang penting, kita tekuni pekerjaan kita."

Oh, ya, ada satu lagi profesi yang ditekuni Warni. Ia pemain Ludruk GEMA TRIBRATA, grup seni tradisi yang dibina Polda Jawa Timur. Cak Otheng, suaminya, merupakan pemimpin ludruk yang bermarkas di Dusun Mergosari, Kecamatan Tarik.

"Sampai sekarang saya masih main meskipun akhir-akhir ini tanggapan agak kurang. Ludruk kan main malam, sehingga nggak mengganggu pekerjaan tambal ban dan ojek," ujar Warni seraya tersenyum. [Karena main ludruk itulah, Suwarni lebih dikenal sebagai Ning Warni. Semua pemain ludruk memang menggunakan sapaan akrab 'Cak' untuk pria dan 'Ning' untuk wanita.]

Ketika Gema Tribrata sepi tanggapan, Ning Warni dan Cak Otheng tak kehabisan akal. Mereka membentuk grup campursari daam jumlah kecil. Ini penting untuk menyiasati pasar yang sulit menanggap grup besar seperti Gema Tribrata yang 50-60 orang. "Saya dipasang sebagai pelawak. Main campursari, mengisi wayang kulit, juga bisa," tuturnya, bangga.

Menurut Ning Warni, wanita yang menekuni beberapa pekerjaan bernuansa laki-laki (kecuali ludruk dan campursari) butuh niat, kemauan, sangat keras. Sebab, ia pertama-tama akan menghadapi tantangan dari lingkungan terdekat, keluarga, tetangga, masyarakat. Harus berani menghadapi realitas sosial itu, tidak terpengaruh oleh suara-suara miring hingga cemoohan. Kalau sudah terbiasa, maka suara-suara sumbang itu akan hilang dengan sendirinya.

Hanya 'wanita perkasa' seperti Ning Warni yang bisa begitu.
Posted by Lambertus L. Hurek at 9:44 AM 0 comments Links to this post
Labels: seni tradisi
23 March 2007
Si Doel di Lumpur Lapindo



MENGGUNAKAN mobil Land Cruiser warna hitam, Jumat (23/3), sekitar pukul 14.15 WIB, Rano Karno (47) bertandang ke kawasan lumpur panas, Kelurahan Jatirejo, Kecamatan Porong. Pria berkumis tebal ini didampingi Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jawa Timur, Salamul Hadi Nurmawan. Kontan saja, warga menyambut hangat kedatangan aktor papan atas itu.

"Lho, itu kan si Doel," teriak Sri yang menggandeng anaknya di atas tanggul penahan lumpur Jatirejo.

"Iya benar, itu Bang Doel! Mana Mandra? Kok tidak kelihatan?" sambung Syamsul, warga lain yang kebetulan siang kemarin ikut 'menikmati' lumpur panas.

Tidak berselang lama, puluhan pengunjung, tukang ojek, penjual VCD lumpur, sopir dump truk, yang sedang istirahat berebut mengerumuni anak almarhum aktor kawakan Soekarno M Noer tersebut. Pria yang lahir di Jakarta, 8 Oktober 1960, itu pun senyam-senyum.

"Apa kabar Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu semua?" sapa Rano Karno.

Adik kandung Tino Karno itu lalu menyalami puluhan warga yang mengerumuninya.

"Bang Doel, boleh saya foto bareng?" kata Jono, salah satu tukang ojek, warga Desa Jatirejo, lalu merangsek mendekati Rano Karno.

Tentu saja, pemeran si Doel di sinetron 'Si Doel Anak Sekolahan' itu menyambut dengan senang hati. Warga dan pengunjung lain yang kebetulan berada di atas tanggul Jatirejo pun berebut foto bareng dengan Si Doel.

"Ayo, ayo foto bersama, mumpung saya ke sini," ajak Rano Karno dengan ramah.

Setelah acara foto bersama, Rano Karno yang kini tengah mempersiapkan diri sebagai calon wakil gubernur DKI Jakarta ini memberikan pendapat seputar bencana lumpur panas. Menurut dia, semburan lumpur panas di kawasan Porong yang berlangsung sejak 29 Mei 2006 itu tidak lepas dari kesalahan manusia (human error).

Manusia tidak memerhatikan lingkungannya. Manusia mengeksploitasi alam secara berlebihan.

Karena itu, aktor yang mulai terjun film pada 1972--lewat Si Doel Anak Betawi--ini meminta semua pihak untuk intropeksi. Mengapa lumpur terus meluap? Mengapa belum ada tanda-tanda berhenti?

"Ini kesalahan semua pihak. Kita semua harus intropeksi diri dan jangan saling menyalahkan," ujarnya.

Menurut Rano Karno, yang terpenting saat ini, warga korban lumpur panas tidak boleh berdiam diri. "Kehidupan harus tetap berjalan. Jangan karena lumpur akhirnya orang tidak bekerja dan hanya berpangku tangan," begitu petuah si Doel.

Rano Karno mengaku datang ke kawasan bencana lumpur panas di Porong dalam kapasitas sebagai koordinator Global Rescue. Organisasi nirlaba yang berdiri pada April 2003 ini bergerak di bidang penanganan korban bencana alam.

"Saya akan bicara dengan Kementrian Lingkungan Hidup. Kita ambil hikmah peristiwa ini, dan ke depan jangan sampai terjadi hal seperti ini lagi," tandas Rano Karno.

Ihwal nasib ribuan korban lumpur yang hingga kini masih belum mendapat kejelasan ganti rugi rumah dan lahannya yang tenggelam, aktor yang terkenal lewat film 'Gita Cinta dari SMA' itu tak bisa memberikan solusi konkret. Dia hanya meminta pemerintah agar memerhatikan nasib warga korban.

"Segera buat keputusan. Jangan dibiarkan berlarut-larut," papar Rano Karno. (*)
Posted by Lambertus L. Hurek at 9:31 PM 0 comments Links to this post
Labels: lumpur lapindo
Peter A Rohi Wartawan Pejuang

Di balik kegersangannya, tanah Nusatenggara Timur melahirkan cukup banyak wartawan hebat. Salah satunya PETER APOLLONIUS ROHI, lebih dikenal dengan PETER A ROHI. Pria kelahiran Pulau Sabu 14 November 1942 ini [nama Sabu-nya KORE ROHI) dikenal sebagai salah satu guru wartawan-wartawan muda di Indonesia.

Bagaimana meliput peristiwa secara mendalam. Bikin investigasi. Menulis feature yang hidup. Menggali sisi lain dari seorang tokoh meskipun orang biasa, wong cilik. Berani menghadapi risiko. Vivere pericoloso. Mengelola surat kabar dengan pendekatan idealisme.

Peter A. Rohi selalu berpesan:

“Ingat, wartawan itu bukan buruh, tapi intelektual. Pakailah otakmu. Banyak baca. Analisis. Bergaul sebanyak mungkin. Cari sumber sebanyak-banyaknya. Jangan lekas percaya pada informasi apa pun. Cek dan ricek.”

Peter A. Rohi tak asal bicara. Selama berkarier sebagai wartawan sejak 1970, dia menghasilkan banyak liputan panjang dan mendalam. Istilah sekarang: investigative reporting. Berkat kejeliannya, mengungkap banyak kasus yang justru tidak dirasakan warga dan pejabat setempat. Tumpukan harta karun di Riau. Air Danau Toba menyusut. Sisa tentara Jepang di hutan Morotai. Kelaparan di Sumba Timur. Fakta di balik penembakan misterius.

"Saya wartawan pertama yang menyusup ke Timor Portugis dan wartawan terakhir yang meninggalkan Timor Timur setelah kerusuhan jajak pendapat 1999,” ujar Peter A Rohi kepada saya.

Tulisan-tulisannya tentang Timor Timur [sekarang Republik Timor Leste] dimuat di sejumlah media tempatnya bekerja. Paling banyak di SINAR HARAPAN [yang diberedel rezim Soeharto] serta MUTIARA, tabloid milik Grup SINAR HARAPAN.

Peter yang keturunan raja lokal di Timor Barat memang sangat intensif mengikuti isu Timor Timur pada 1976-1999 menjadi provinsi ke-27 Indonesia. Saya melihat sendiri betapa dia sangat emosional saat bicara dalam sebuah diskusi tentang pro dan anti-integrasi di kampus Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.

Peter menguraikan pandangannya tentang apa sebetulnya yang terjadi di Timor Timur. Begitu kompleksnya persoalan Timor Timur, sehingga Peter mengingatkan anak-anak muda Timtim, yang waktu itu hampir semuanya berjuang untuk ‘memerdekakan’ daerahnya dari Indonesia, tentang untung ruginya Timtim menjadi negara sendiri.

Menurut Peter A. Rohi, wilayah Nusatenggara Timur, Timor Leste, dan Sumbawa [sekarang] dulunya masuk Karesidenan Timor. Raja-raja, para intelektual, tokoh masyarakat dulunya ingin mendirikan negara sendiri, KERAJAAN TIMOR RAYA. “Mereka sudah punya wadah bernama TIMOR VERBOND. Ini langkah menuju kemerdekaan Kerajaan Timor Raya sebagaimana sebelum kedatangan Portugal dan Belanda,” tulis Peter A. Rohi dalam bukunya KAKO LAMI ANGALAI.

Rencana kemerdekaan ini buyar setelah Bung Karno dibuang ke Flores pada 1934-1938. Bung Karno, kata Peter, berhasil memengaruhi Timor Verbond sehingga pada 1935 partai nasionalis Timor itu berfusi dengan Partai Indonesia Raya. “Jadi, kita, orang Nusatenggara Timur, sebenarnya punya sumbangan besar dalam perjuangan mencapai Indonesia merdeka,” kata Peter A Rohi dalam berbagai kesempatan.

Peter Apollonius Rohi sejatinya tentara. Dia sempat menjadi staf message center di Pasukan Induk Korps Komando [Marinir] pada masa Trikomando Rakyat [Trikora]. Ini istilah Bung Karno dalam kaitan dengan operasi pembebasan Irian Barat, 1962-63.

Peter juga pernah terlibat di Detasemen Amfibi yang dipimpin Kolonel Muhammad Jusuf dan Letkol Solichin GP di Sulawesi. Kemudian menjadi komandan peleton Panser Intai Amphibi pada masa Dwikomando Rakyat [Dwikora], operasi di Kalimantan Utara, 1964.
Ternyata, karier bagus di TNI Angkatan Laut tak membuat Peter puas.

Pada 1970, suami WELMINTJE GIRI ini bikin kejutan. Dia mengembalikan mobil dan pistol inventaris kepada kesatuannya, Batalyon Tank Amfibi KKO. “Besoknya, saya berada di jalan-jalan melakukan peliputan untuk majalah sketsmassa [Surabaya]. Saya berada di tengah-tengah rakyat yang tertindas,” paparnya.

Latar belakang ini bisa menjelaskan mengapa Peter A. Rohi senantiasa menjadi orang lapangan selama karier jurnalistiknya. Kalaupun menjadi redaktur, redaktur pelaksana, hingga pemimpin redaksi, Peter A. Rohi tetap saja turun ke lapangan. Peter itu benar-benar wartawan kaki, orang lapangan, bukan orang kantoran. Dia mengandalkan bahan-bahan, data, yang digali dari lapangan, bukan meminta berita, fotokopi, atau kloning dari wartawan lain.

[BANYAK WARTAWAN SEKARANG SUKA MENG-COPY BERITA DARI TEMAN, INTERNET, RADIO, TELEVISI, DAN MALAS WAWANCARA LANGSUNG DENGAN SUMBER. BUDAYA COPY-PASTE INI MEMBUAT WARTAWAN-WARTAWAN KITA MENJADI SANGAT MANJA. MUTU JURNALISME AKHIRNYA MELOROT KE TITIK NADIR. SUDAH MENJADI RAHASIA UMUM, BANYAK WARTAWAN KITA TERNYATA TIDAK BISA MELIPUT DAN MENULIS BERITA DENGAN BAIK.]

Nah, setelah SKETSMASSA [Surabaya], Peter A Rohi diminta menjadi wartawan SINAR HARAPAN [Jakarta], PIKIRAN RAKYAT [Bandung], SUARA INDONESIA [Malang], JAYAKARTA [Jakarta], SURYA [Surabaya], SUARA BANGSA [Jakarta]. Kemudian merintis MEMORANDUM [Surabaya], SUARA PEMBARUAN [Jakarta], lalu merintis lahir kembalinya SINAR HARAPAN [Jakarta] pasca-Reformasi 1998. Terakhir Peter A. Rohi menjadi pemimpin redaksi sekaligus manajer umum KORAN INDONESIA di Jakarta.

Kutu loncatkah Peter A. Rohi di pers? Banyak teman wartawan yang bilang begitu. Tapi, saya kira, ini tak lepas dari tabiat Peter yang antikemapanan, idealis, suka tantangan. Begitu surat kabar eksis, manajemen redaksi jalan... maka Peter A Rohi keluar mencari tantangan lain. Bikin koran baru atau menghidupkan media-media yang sekarat. Begitu seterusnya.

“Om juga tidak suka dengan pemilik modal yang maunya mendikte terus. Ingat, wartawan bukan buruh atau kuli yang bisa diatur-atur semaunya,” ujar Peter A. Rohi. Karena itu, dia memutuskan eksit dari sebuah surat kabar terkenal di Jakarta.

Sejumlah bekas wartawan SUARA INDONESIA [seperti Abdul Wachid, Toto Sonata, Bambang Sukoco] memberi komentar positif untuk Peter A. Rohi. Pada 1980-an Peter dipercaya sebagai redaktur pelaksana sekaligus pemimpin redaksi de facto SUARA INDONESIA.

“Wartawan diberi kebebasan untuk berkreasi. Menulis apa saja asalkan akurat dan objektif,” ujar Abdul Wachid. “Sekarang sulit menemukan wartawan Indonesia seperti Peter A. Rohi,” puji Toto Sonata di kesempatan terpisah.

Meski diberi kekuasan penuh oleh Grup SINAR HARAPAN, kata Bambang Sukoco, Peter A Rohi bukanlah tipe atasan yang otoriter. “Pak Peter itu selalu bertindak sebagai guru, teman belajar. Wartawan muda dibimbing, diarahkan, sampai detail. Kami benar-benar bisa belajar banyak dari dia,” ujar Bambang Sukoco kepada saya.

Pada 1980-an perangkat telekomunikasi seperti telepon seluler, pager, belum ada. Sambungan telepon tetap pun langka. Dalam kondisi itu, tutur Bambang, Peter A. Rohi selalu memandu reporternya yang melakukan liputan di tempat jauh. Sampai si reporter menemui sumber atau tempat kejadian.

“Dia tanya apa saja kesulitan di lapangan dan memberikan bimbingan. Nggak marah-marah atau main perintah harus begini-begitu,” kenang Bambang Sukoco.

Saat mengelola SUARA INDONESIA, koran berpengaruh di Jawa Timur pada 1980-an, Peter A Rohi bikin liputan investigasi tentang pembunuhan misterius, biasa disingkat ‘petrus’. Sebagai wartawan humanis, Peter tidak bisa menerima kebijakan rezim Orde Baru yang menghabisi nyawa manusia tanpa proses pengadilan. Manusia diperlakukan layaknya binatang. Tulisan-tulisan tentang ‘petrus’ rupanya kurang disukai penguasa.

“Tiba-tiba Peter A. Rohi dikirimi paket kepala manusia,” tutur Bambang Sukoco.

Toh, teror kepala manusia itu tidak membuat Peter takut. Dia terus menggali berbagai peristiwa di masyarakat dan menyusunnya sebagai reportase yang memikat. Saat semua wartawan buru-buru meninggalkan Timor Timur yang sedang dilanda kerusuhan pascajajak pendapat, Peter A. Rohi justru memilih bertahan.

"Saya percaya Tuhan selalu melindungi saya dalam setiap tugas saya sebagai wartawan,” katanya.

Darah perjuang dan aktivis Peter A. Rohi rupanya menurun ke salah satu anaknya, Engelbert Johannes Rohi alias Jojo Rohi. Jojo pernah aktif di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) di Surabaya. Jojo pun berbakat menulis seperti ayahnya, tapi rupanya enggan berkarier di dunia jurnalistik.

Benar kata Toto Sonata, wartawan senior di Surabaya, tidak mudah melahirkan wartawan sekaliber Peter A. Rohi, apalagi di era pers industri. Wartawan sekarang cepat masuk, cepat keluar. Sangat sedikit yang meninggalkan jejak di jagat jurnalistik.

“Sekarang mana ada investigative reporting? Mana ada features yang hidup? Wartawan-wartawan sekarang ini, menurut saya, hanya sekadar karyawan bagian peliputan [reporter] dan karyawan bagian penyuntingan [redaktur]. Sistemnya tidak memungkinkan lahirnya wartawan sekelas Peter A. Rohi,” ujar Toto Sonata, bekas anak buah Peter A. Rohi, yang kini kembali ke komunitas seniman Surabaya dan menjadi pengamat media massa.
Posted by Lambertus L. Hurek at 11:28 AM 5 comments Links to this post
Labels: jurnalisme
22 March 2007
Sejarah Pers di Flores

Indonesia is a country that hosts the largest Muslim population in the world. But it has a strong Christian presence on its eastern area, living in sparsely populated islands like Flores, Rote, Timor, Papua, the Malukus, central and north Sulawesi as well as smaller islands like Tanimbar, Kei, Dobo etc.

By FRANS ANGGAL
Chief editor of the Flores Pos in Ende

Indonesia’s most important island is Java where around 65 percent of Indonesia’s total population of 220 million live. Java’s landmass, however, accounts for about six percent of the total land areas, putting the issues of population the most crucial agenda in Indonesia.

Flores is a predominantly Catholic area. Around 95 percent of its 2.5 million population are Catholics. The most influential Catholic organization in Flores is the Societas Verbi Divini (SVD). In 1912, SVD established office in Ende, a small town in central Flores, to start doing evangelical works initiated earlier by Jesuit and Dominican priests since the 17th century in eastern Flores and Timor Island.

SVD runs not only churches but also schools, farms and publications. It currently has a book publishing company, PT Arnoldus Nusa Indah, as well as the Flores Pos daily, the Dian weekly tabloid and the Kunang-kunang children magazine. PT Arnoldus' office is located on El Tari Street in Ende, sharing a single compound with the Flores Pos daily, the Dian weekly and the children magazine. It also has some meeting rooms and a hall for a bigger event.

HISTORIAL BACKGROUNDS

In 1925, four years after securing its office in Ende, SVD published the Bintang Timur monthly magazine. Unpaid subscription, however, prompted the SVD to close this magazine in 1937. It is very likely that Indonesia nationalist leader Soekarno, who was exiled in Ende in the early 1930s by the Netherlands Indies administration, also subscribed to Bintang Timur. Soekarno befriended some SVD priests in Ende.

In 1948, SVD published Bentara bi-weekly and its insert Anak Bentara children magazine. Bentara became quite popular, supporting SVD’s education programs and schools, making the circulation to peak at around 35,000 copies. Financial difficulties again prompted SVD to close the bi-weekly in 1958.

In 1973, SVD made a new magazine, publishing the Dian bi-weekly and Kunang-kunang children monthly magazine. Kunang-kunang was pretty famous not only in Flores but also in many parts of Indonesia, including Java. In 1987, Dian became a weekly tabloid.

In the 1980s, Indonesia started to see the emergence of Java-based media conglomerates such as the Kompas Gramedia Group, the Tempo Jawa Pos group and the television industries. An unexpected result of the SVD’s media works is that Flores has produced many journalists, prompting the Flores-educated journalists and editors to work in the emerging media networks. Today the number of Flores journalists working in Java is bigger than those working in their homeland.

In 1998, General Suharto, Indonesia’s strongman who ruled the country since 1965, was forced to step down from power. It prompted a huge political upheaval in the archipelago. Indonesia’s secessionist provinces such as Aceh, Papua and East Timor immediately pressured for their independence. Other provinces in the Maluku islands, partly in Borneo as well as in Sulawesi were involved in violent communal violence.

Muslim and Christian fighters engaged in deadly wars in the Malukus and Poso in central Sulawesi. Anti-Chinese riots also rocked Jakarta and Solo in Java as well as Medan in northern Sumatra. Political assassinations were the news of those days.

In August 1999, East Timor voted for independence in a UN-administered referendum. Indonesian military and their militias burned and looted East Timor. Around 10,000 East Timorese died in the massive burning and killing, raising the anger of the international community against the Indonesian military. President Bill Clinton decided to impose a military embargo against Indonesia. His move was copied by other western countries.

Retreating Indonesian generals subsequently faced a new problem. Where should they place thousands of displaced soldiers and militias as well as their families? International peacekeeping forces obviously prevented these frustated soldiers to return to East Timor. An idea circulated among the generals. They wanted to move their retreating soldiers and militias to neighboring Flores. They wanted to move the Dili-based Wirasakti military command to Ende.

It alarmed Flores leaders as well as the Flores diasporas in Java. Hosting thousands of frustated soldiers, who were regularly involved in burning and killing, is a serious threat in a relatively peaceful area like Flores. As a major institution in Flores, SVD was also involved in the debate.

Dian weekly was considered to slow to report on the rapid daily development of the pressing issue. SVD decided to publish a daily newspaper in a bid to accommodate various opinions over the plan and to inform the public about such a plan.

On Sept. 9, 1999 SVD published the Flores Pos daily in Ende, mobilizing the public opposition against the plan. Founding members included publisher Henri Daros SVD, chief editor John Dami Mukese SVD, Frans Ndoi SVD and Valens G. Doy (Kompas daily journalist). Flores figures in Jakarta intensively lobbied the military. President Abdurrahman Wahid finally shelved the military plan in 2000.

SWOT ANALYSIS

The military issue was the starting point in publishing the Flores Pos. It then began to regularly bring news reports and editorial pieces from Monday to Saturday every week. Its mission is to voice the oppressed and to monitor those in power.

It is owned by a Catholic order but the Flores Pos is more like a regular newspaper. In a bid to promote religious dialogues, it provides religious columns for every religion in Flores. Its workers are religiously diverse. They are mostly Catholic but it has Muslim and Protestant employees indeed.

The Friday Forum column is dedicated for Muslims while the Sunday Forum are for Catholics and Protestants.

Currently it also conducts monthly discussions on various issues in a bid to broaden the intellectual discourses among its audience. It sometimes open public donation for the poor and natural disasters victims. When Manggarai had a major landslide in March, killing more than 60 people, the Flores Pos opened a public donation. It collected more than 20 million rupiah ($2,000). It also conduct annual seminars on economic, political and cultural outlooks.

Fact Sheet
Format: tabloid Monday-Saturday
Pages: 1999 (8) 2001 (12) 2003 (16)
Legal status:
1999-2002 under Flores Media Foundation
2002-now under PT Arnoldus Nusa Indah
Vision: establishment of truth, justice, peace and integration of creation
Mission: to conduct prophetic dialogues with the oppressed people, other religious communities, other cultures and other ideologies

The Flores Pos has some strength factors. According to the 2006 audience survey by Pantau, it has a strong brand name. Eighty four percent of Flores knows the Flores Pos. It is just less two percents from its main competitor, Pos Kupang, at 86 percent. Pos Kupang is a subsidiary of the Kompas Gramedia Group. It is based in Kupang in western Timor.

Flores Pos locally produces 90 percent its contents. They are supplied mainly by its seven bureaus in Flores and one in Kupang. The bureaus are stationed in towns like Labuan Bajo, Ruteng, Bajawa, Ende, Sikka, Larantuka and Lewoleba on Adonara Island. More than 60 people work for the Flores Pos. They include 23 editorial staff. The others are working on its marketing, finance, distribution etc.

In September 2006, the newspaper began to make unprecedented changes. Georgia Scott of The New York Times helped redesign the Flores Pos. She introduced cleaner, more spacious and easy-to-navigate news design. The newspaper also introduced bylined news reports.

It is a rare even among Jakarta newspapers. The newspaper also put the mobile number of its reporters near their names, providing a chance to involved readers to call the reporters if the stories lacking something. It also publishes a feature story everyday on the front page. Reporters should also verify their stories. They can’t publish single-sourced stories. The SVD is committed to have these chances.

Obviously the newspaper also has its weakness. Its human resources lack training. Many journalists are not well trained to report and to write analitically. The non-editorial staff are mostly high school graduates. None of them specializes on business development and marketing.

Financially its income is not enough to cover expenses. Everyday it prints 3,500 copies of which 70 percent go to subscribers. It is priced at 2,000 rupiah per copy ($20 cents). Financially it should only break even if printed 7,000 copies.

Its equipments, from computers to cameras, from printing press to transportation means, are pretty old. Most correspondents send their stories by fax. The reports, when reaching the newsroom in the evening, must be retyped. Most bureaus have no internet connection.

The Flores Pos has some opportunities. It could increase its circulation based on the fact that the reading habit in Flores is higher than national average. It is now working with Swisscontact and Pantau to increase the newspaper’s capacity building.

In March, the Flores Pos is also published jointly with Hidup magazine in Jakarta. It makes a possible passage to raise advertisement incomes from ad agencies in Jakarta. Last but not the least, small and medium enterprises are growing in Flores. Flroes has no big industries. But these small companies are stronger and more durable than the big ones. It was proven during the Asian economic crisis. They want to advertise in the Flores Pos.

The possibility to set up a Catholic newspaper network in Asia is also a chance to increase its capabilities.

The treatment factors are quite numerous. Land transportation in mountainous Flores is very tough. It takes one week just to travel from Labuan Bajo in the west to Larantuka in the east. Newspaper distribution is very expensive. Using public transport is costly. Having our own distribution is also costly.

Today the Flores Pos is “surrounded” by Pos Kupang’s long distance printing presses in Ruteng (west Flores) and Maumere (east). It is quite a challenge. In Flores, people don’t buy two newspapers in a single day. If they already buy Pos Kupang, obviously they won’t buy the Flores Pos.

Newsprint must also be imported from Java and the shipment cost is quite dear. Another treatment is the oil prices that always increase in Indonesia. It prompts higher inflation every year. Flores is also one of Indonesia’s lowest income areas. The public buying power is limited. They prefer to secure their meals rather than buying a newspaper.

A network of Catholic newspapers in Asia might create a cooperation in the region, benefiting newspapers like the Flores Pos, Dian and Kunang-kunang children magazine in Ende. The Flores Pos also needs a capital injection to buy a new printing press to print long distance both in Maumere and Ruteng. Similar assistances like what Georgia Scott’s are highly needed in Ende.

Sumber: www.andreasharsono.blogspot.com

[A paper presented at the Conference of the Representatives of Catholic newspapers in Asia Seoul, 22-23 March 2007. This paper was translated from Malay to English by Andreas Harsono of Pantau news organization in Jakarta.]
Posted by Lambertus L. Hurek at 8:37 PM 1 comments Links to this post
Labels: Flores, jurnalisme
21 March 2007
Tahbisan Romo Paskalis K Hurek
Di daerah saya, Flores Timur, yang 95 persen warganya beragama Katolik, pastor menjadi figur sentral. Pastor jauh lebih dihormati, didengarkan suaranya, ketimbang bupati atau gubernur. Tak heran, warga menyebut pastor dengan TUAN.

Kalau di Jawa, pastor disapa ROMO (artinya bapak, father), di Flores Timur umat lebih akrab dengan sebutan hormat PATER. Artinya, ya, sama saja dengan ROMO. Tapi orang Flores umumnya membedakan PATER dengan ROMO, yang nota bene sama-sama pastor (tuan) dan artinya pun sama. Bingung? Tak usahlah.

Sebutan PATER berlaku untuk imam-imam kongregasi alias tarekat. Adapun ROMO hanya untuk imam-imam praja, biasa disingkat Pr. Di Jawa, status imamat sama sekali tidak dibedakan. Umat Katolik di Jawa main pukul rata: semua pastor dipanggil Romo. Di Jakarta lain lagi: ROMO tidak dikenal, tapi langsung ke sapaan PASTOR. Contoh: Pastor Mardi, Pastor Mudji, Pastor Sandyawan.

Karena Flores itu basisnya Societas Verbi Divini (SVD), maka semua pastor SVD pasti dipanggil dengan kata sandang PATER. Contoh: Pater Paulus, Pater Geurtz, Pater Lambert, Pater Niko, Pater Sonny, Pater Herry.

Menjadi pastor itu sulit. Sekolahnya makan waktu, makan umur, tapi tidak makan biaya. [Pendidikan di seminari gratis, cukup modal otak encer.] Lulus seminari menengah di Flores Timur, namanya Seminari Hokeng, tidak gampang. Saringannya berlapis-lapis. Nakal sedikit, curi buah-buahan, malas, langsung dicoret. Tidak sopan coret! Nilai merah habislah kau!

Maka, lulusan Hokeng dijamin hebat-hebat meskipun nanti tidak sampai jadi pater atau romo. [Saya tidak pernah sekolah di seminari karena memang tidak hebat.]

Lepas dari seminari menengah alias seminari rendah lanjut ke seminari tinggi. Pilihannya, di Flores, dua: Seminari Tinggi Santo Paulus, Ledalero, atau Seminari Tinggi Santo Petrus, Ritapiret. Lokasinya berdekatan di Kabupaten Sikka. Ledalero untuk calon pastor SVD (pater), Ritapiret calon pastor praja (romo). Sekolahnya juga lama. Selain menyelesaikan pendidikan sarjana reguler versi pemerintah, juga pendidikan khusus filsafat, teologi, kerohanian. Lalu, praktik, orientasi pastoral. Makan waktu enam tujuh tahun, bahkan lebih.

Lalu, kesiapan mental. Ini penting karena pastor Katolik terikat tiga kaul [kesucian, ketaatan, kemiskinan] seumur hidup. Gampangnya, tidak boleh menikah dengan alasan apa pun. Kalau nikah, ya, harus lepas jubah. Karena itu, rata-rata pastor bari ditahbiskan setelah berusia 30 tahun. Ada memang yang lebih muda, 24-25 tahun, tapi sedikit.

Pastor itu, di kampung saya, makhluk langka dan luar biasa. Sekolahnya sulit dan, umat percaya, bahwa ini hanya bisa terjadi karena panggilan khusus. Orang boleh ngotot menyekolahkan anaknya ke seminari, tapi kalau Tuhan tidak panggil, ya lewat. Buktinya, sudah puluhan, bahkan ratusan anak muda, di kecamatan saya, Ile Ape, coba-coba masuk seminari, tapi gagal. Sekarang mereka menikah dan punya banyak anak.

Yang jadi pastor, asal Ile Ape [Lembata], hanya sedikit. Bisa dihitung dengan jari. Pater Gabriel Goran SVD merupakan pastor pertama dari kecamatan saya. Kemudian Pater Yulius Luli Hada CSSR. Kemudian Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr. Kemudian Romo Paskalis Kabe Hurek Pr. Saya belum dapat data nama-nama imam baru asal Ile Ape, tapi mungkin ada beberapa lagi.

Dibandingkan kecamatan-kecamatan lain, Ile Ape memang gersang, termasuk gersang panggilan. "Mari kita berdoa semoga Allah Bapa memberikan tanah yang subur untuk panggilan," ujar Pater Maria Geurtz SVD [almarhum], pastor paroki di kampung saya.

Saya percaya, berkat doa-doa umat dan panggilan Tuhan, akhirnya beberapa orang dari kampung saya masuk seminari dan akhirnya jadi pater dan romo. Secara pribadi, saya ikut bangga karena dua pastor di antara pastor itu keluarga kandung saya: Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr dan Romo Paskalis K Hurek Pr. Sekarang Romo Zakarias bertugas di Adonara, Romo Paskalis Hurek di Solor, masih di wilayah Flores Timur.

Oh, ya, karena pastor itu sangat langka, belum tentu muncul di daerah saya dalam tempo 50 tahun, maka upacara tahbisan sangat meriah. Pesta besar-besaran melibatkan puluhan ribu orang dari seluruh kecamatan. Maklum, satu kecamatan satu paroki, sekaligus satu unit adat. Semua merasa memiliki pastor baru.

Liturgi digelar di lapangan terbuka, diikuti puluhan pastor, dan tentu dipimpin langsung oleh Bapa Uskup Larantuka. Misa inkulturasi dengan nuansa adat Lamaholot. Saat tahbisan semua orang Ile Ape tidak bekerja, tapi ikut misa pontifikal di kampung tempat lahir si pastor baru. Saat si diakon usai merebahkan diri di tanah, ditumpangi tangan oleh Bapa Uskup, dan resmi menjadi pastor... tepuk tangan membahana.

Tari-tarian adat menyambut lahirnya seorang pastor baru di tengah-tengah kita. Warga bangga luar biasa karena boleh menggantikan misionaris Barat. "Ternyata, anak kita pun bisa jadi pastor. Bukan hanya orang Belanda yang bisa," kata tua-tua adat dan tokoh gereja di kampung.

Selesai misa yang makan waktu empat jam lebih [tahbisan di Jawa paling lama dua jam], pesta masih berlanjut. Seluruh umat, termasuk warga non-Katolik, yang ikut bergembira, menikmati pesta besar. Panitia sudah menyiapkan makanan spesial untuk ribuan orang. Semua orang dapat makan. Pesta dilanjut dengan tari-tarian adat pada malam harinya. Singkatnya, semua bergembira ria dan bersyukur. Lantas, pulang ke kampung masing-masing.

Nah, usai tahbisan dan perayaan syukur besar-besaran, si pastor atau imam baru memperkenalkan diri ke semua stasi [desa] di kecamatan. Ada 15 desa. Satu hari satu desa. Tiap kali masuk desa, ia dijemput layaknya raja yang baru naik takhta. Lalu, tari-tarian dan prosesi menuju gereja stasi. Lalu, si pater/romo menggelar pesta khusus untuk seluruh warga di desa itu. Lalu, pindah lagi ke desa lain sampai tuntas 15 desa.

"Sulit saya ungkapkan dengan kata-kata perasaan saya saat disambut ribuan umat dengan luar biasa. Saya hanya bersyukur kepada Tuhan karena telah memilih saya menjadi hamba-Nya. Saya bisa jadi romo karena panggilan Tuhan, berkat doa-doa seluruh umat dan orang tua," ujar Romo Paskalis K Hurek Pr, yang kebetulan paman saya.

Suasana ini kontras sekali dengan pelantikan camat, bupati, bahkan gubernur. Pesta rakyat tidak ada. Rakyat tidak akan rela berlibur barang sehari untuk mensyukuri pelantikan pejabat tinggi. Kalaupun ada, pesta itu sangat birokratis dan kering.

Terus terang, di Flores, posisi pastor jauh lebih 'mulia' ketimbang jabatan birokrasi setinggi apa pun.

Saya sering mengikuti misa tahbisan pastor-pastor baru di Surabaya, Malang, dan Jember (satu kali). Liturginya juga meriah, berkesan, tapi tidak sepanjang di kampung saya, Flores Timur. Tidak ada kegembiraan dan pesta syukur luar biasa. Bahkan, sebagian besar umat langsung pulang, tidak sempat bersalaman atau sekadar memberi ucapan selamat. Acara makan-makan hanya diikuti undangan yang jumlahnya terbatas.

Celakanya, tahbisan pastor di Pulau Jawa belum menjadi milik masyarakat di luar komunitas Katolik. Redaksi media massa tidak melihat tahbisan sebagai momen luar biasa untuk jemaat Katolik. Makanya, sehari setelah tahbisan tidak ada berita/foto di koran-koran. Sementara pernyataan pejabat, politikus, demonstran, penjahat... suka dikutip koran-koran.

Coba kalau di Flores? Surat kabar lokal memuat berita tahbisan di halaman satu, ditambah liputan panjang, yang menghabiskan 60 persen halaman koran.
Ah, Flores memang lain!
Posted by Lambertus L. Hurek at 10:48 PM 1 comments Links to this post
Labels: Flores, gereja
20 March 2007
Penemuan Situs Candi Baru di Kediri

Oleh: IMAM MUBAROK
Wartawan Radar Surabaya

Penemuan benda cagar budaya oleh para penggali lahan uruk di Dusun Tondowongso, Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kediri pada 13 Januari 2007, menambah catatan peninggalan Kerajaan Majapahit di Kediri. Sebelumnya di Kediri sudah ada CANDI SUROWONO, tempat penyucian Raja Wengker [raja bawahan pada masa Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit], CANDI TEGOWANGI, serta ARCA TOTOK KEROT, peninggalan Raja Dhaha, Prabu Jayabaya.

Ahad (18/3) hingga Senin (19/3/2007), saat libur Hari Raya Nyepi, ratusan pengunjung dari Kediri dan sekitarnya berjubel mendatangi SITUS TONDOWONGSO. Tidak ketinggalan uang Rp 2.000 harus diserahkan kepada panitia.

"Lumayan ramai dibandingkan hari-hari sebelumnya. Sampai jam 12.00 kami sudah mengumpulkan uang Rp 3 juta lebih," kata Suradi, panitia lokal.

Pemkab Kediri berencana mengambil alih lahan milik warga, dengan tujuan memudahkan tim purbakala melakukan penggalian dan penataan. Sebab, tim purbakala telah menemukan sudut-sudut candi dan bisa menentukan berapa luas bangunan yang telah terpendam selama ratusan tahun. "Itu yang membuat warga penasaran dan ingin melihat," tambah Suradi.

Menariknya, tempat-tempat tersebut dijaga oleh warga penemunya. Seakan-akan mereka menjadi si pemilik benda cagar budaya. Ada pula penjual 'sumber air' yang diduga tempat pemandian yang berada di dalam sebuah sudut candi bagian barat. Meski sudah ada keterangan dari Dinas Lingkungan Hidup bahwa air tersebut mengandung banyak bakteri, warga tak peduli. "Ini jelas air berkah karena merupakan peninggalan masa lalu," kata Jiyo, warga Plemahan, Kediri.

Dusun Tondowongso yang dulu sepi kini sangat ramai. Di sepanjang jalan masuk, banyak pedagang dadakan.

Menurut catatan saya, situs Tondowongso ini terungkap ketika beberapa penggali lahan uruk di Dusun Tondowongso, Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kediri, pada 13 Januari menemukan patung Dewa Brahma. Penemuan itu disusul dengan Dewi Durga pada 18 Januari, tak jauh dari lokasi penemuan awal.

Disusul kemudian patung Arca Nandi atau Lembu Andini pada 19 Januari dan Lingga Yoni pada 26 Januari. Lantas, ditemukan dua patung pada 12 Februari dan 13 Februari. Kedua patung tersebut belum diketahui namanya.

Penemuan terakhir, awal Maret 2007, berupa sumber air dan gapura serta tangga dari batubata yang menuju sumber air tersebut. Dua hari kemudian, 3 Maret, ditemukan kembali enam arca di lahan milik Kiran (47), warga Adan-Adan, Gurah, Kediri, yang belum diketahui namannya, kecuali satu Arca Nandi alias Lembu Andini.

Lima arca lain yang belum diketahui namannya tersebut salah satunya terpotong kepalanya. Mirip seorang raja dengan mahkota di kepala.
Posted by Lambertus L. Hurek at 6:20 PM 0 comments Links to this post
Labels: cagar budaya
19 March 2007
Nyepi - Bali yang Kian Perkasa


Sonny Tumbelaka, fotografer Agence France-Presse, bikin foto bagus pada 16 Maret 2007. Orang-orang Bali melakukan ritual melasti, dalam rangka Hari Nyepi, di Pantai Kuta. Berpakaian adat Bali, saudara-saudara beragama Hindu itu larut dalam ritual khas mereka.

Tak jauh dari prosesi itu tampak beberapa turis bule, perempuan, menjemur tubuhnya. Berpakaian pantai.

Sebuah pemandangan yang kontras. Toh, kedua pihak sama sekali tidak terganggu. Upacara melasti berlangsung lancar, perasaan keagamaan orang-orang Bali tidak terganggu. Para turis pun menikmati pantai wisata itu seperti biasa. Seolah tak ada apa-apa di antara mereka.

"Turisnya telanjang hehehe," ujar Supriyono, teman saya di Surabaya, lalu tertawa lebar. Ia baru melihat foto milik kantor berita Prancis itu.

Terus terang, sejak dulu saya kagum, sekaligus iri, dengan orang-orang Bali. Sudah beratus tahun pulau mereka didatangi turis asing, dari hampir semua negara di dunia. Turis relatif longgar merayakan kebebasan di pantai wisata itu. Tak ada larangan berbusana minim di pantai, kecuali mungkin telanjang bulat. Kemerdekaan individu dijunjung tinggi-tinggi di Bali.

Hebatnya, ketahanan budaya (dan agama) orang Bali luar biasa. Mereka tetap kukuh dalam tatanan adatnya secara turun-temurun. Saya beberapa kali melintas di kawasan Kuta, Legian, Sanur. Saya melihat sendiri anak-anak muda, anak-anak, laki-perempuan, menggelar ritual rutin setiap hari. Sementara di sebelahnya puluhan turis sibuk dengan urusannya.

Wah, dunia terasa benar-benar indah di Pulau Bali. Semua berjalan alamiah, tanpa himbauan macam-macam, pidato-pidato pejabat yang tawar rasanya.

Saya kira, bangsa Indonesia, ya kita semua, perlu belajar dari kearifan orang-orang Bali. Sejak ratusan tahun lalu mereka sudah mengalami 'globalisasi' tanpa kehilangan roh, tradisi, nilai-nilai adat dan agamanya. Justru keunikan Bali itulah yang memberi nilai tambah Bali di era globalisasi.

Warga di luar Bali perlu belajar sungguh-sungguh menghargai perbedaan. Sudah menjadi rahasia umum, di Pulau Jawa masih banyak orang yang terusik hanya gara-gara tetangga atau orang lain berbeda keyakinan atau paham keagamaan. Ada pula aktivis organisasi massa yang senang melakukan razia dan tak segan-segan melakukan aksi anarkistis.
Amboi, Bali yang luar biasa!

Selamat Hari Raya Nyepi!
Posted by Lambertus L. Hurek at 11:19 AM 5 comments Links to this post
Labels: agama non-kristen
18 March 2007
Slamet A Sjukur - Komponis, Pemijat, Peramal

[Pak Slamet berpose bersama saya di rumahnya.]

Pekan lalu, Slamet Abdul Sjukur (71) mengikuti festival dan konferensi komponis kontemporer di Selandia Baru. Slamet berjumpa dengan begitu banyak komponis dunia yang terilhami oleh musik tradisional Indonesia.


KOMPONIS Slamet Abdul Sjukur tetap seperti dulu. ‘Menyepi’ di rumahnya, Jalan Keputran Panjunan I/5 Surabaya, bikin komposisi, memberikan kursus musik, juga menghadiri undangan festival internasional. Bicaranya perlahan, tapi sangat kritis.

"Saya baru pulang dari Selandia Baru mengikuti festival dan konferensi komponis internasional,” ujar Slamet Abdul Sjukur saat saya temui di rumahnya, kemarin.

Festival ini diikuti pemusik-pemusik hebat dari negara-negara Asia-Pasifik, ditambah Meksiko, Amerika Serikat, Kanada, Lituania, Polandia, Rumania, Austria, Jerman, Belanda, Inggris. Selama 10 hari para komponis ini berdiskusi, menggelar 88 karya dalam 34 pertunjukan.

Slamet Abdul Sjukur hadir bersama Sutanto (Mendut, Jawa Tengah), serta Tony Prabowo serta Otto Sidharta (Jakarta). Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengirim 10 seniman untuk memainkan Gondang Batak dan Sigalage.

"Saya dan teman-teman bisa berangkat karena ada sponsor dari Ford Foundation. Kalau pakai dana sendiri, mana bisa. Dukungan pemerintah kita malah nggak ada,” ujar arek Suroboyo asli ini lalu tertawa kecil.

Slamet mengaku menemukan hal menarik selama festival dan konferensi komponis kontemporer di Wellington, Selandia Baru. Di antaranya, para komponis sangat fokus pada musik, tidak bicara ngalor-ngidul tanpa arah.

“Lain dengan di Indonesia. Banyak pemusik senang melontarkan pernyataan-pernyataan di luar musik. Itu kan nggilani,” kata pria yang sempat tinggal dan belajar di Prancis pada 1962 hingga 1976 itu.

Menurut Slamet, orang-orang Selandia Baru yang menikmati konser terkesan dengan beberapa komposisi bernuansa Indonesia yang justru digarap oleh komponis-komponis Barat. Dua pemusik Amerika, Evan Ziporyn dan Christian Southworth, memukau penonton dengan genderan Bali.

Asal tahu saja, “Lebih dari 100 universitas di Amerika punya perangkat gamelan lengkap. Belanda, Prancis, Inggris, Kanada, Jepang juga mendalami gamelan,” ujar pria yang banyak mengoleksi berbagai penghargaan musik dari dalam dan luar negeri itu.

“Kenapa pemusik Barat bisa mengambil esensi musik Indonesia dengan sangat baik?” tanya saya.

Menurut Slamet, orang-orang Barat kebetulan punya cukup dana untuk membiayai empu-empu musik dari Indonesia. Mereka juga berkesempatan luas untuk belajar langsung pada seniman-seniman kita di sini. “Sehingga, mereka tahu dari tangan pertama. Orang kita kan belajarnya sama tangan ke-48, 49, 50,” ujarnya.

Slamet kemudian bicara panjang lebar ihwal pendidikan atau kursus musik (klasik) di Surabaya yang semakin salah arah. Guru-guru musik, khususnya piano, bukannya memberikan kegembiraan kepada anak-anak yang belajar piano, melainkan membebani anak-anak dengan kompetisi. Ini sangat keliru.

“Anak-anak itu kan capek dengan pelajaran di sekolah. Lha, guru-guru musik kasih beban tambahan lagi,” kritik Slamet. Belum lagi mengikutkan anak-anak di kompetisi internasional yang tidak jelas juntrungannya.

Di Selandia Baru, Slamet terang-terangan menceritakan liku-liku kehidupan komponis musik kontemporer. Orang-orang Barat sangat terkejut karena komponis sekaliber Slamet Abdul Sjukur ternyata tidak bisa hidup dengan hanya mengandalkan musik.

"Saya harus kerja serabutan di luar urusan musik. Saya mengajar di pascasarjana Bandung dan Bogor, Akademi Jakarta, bahkan jadi tukang pijat, meramal nasib, dan buka warung,” beber Slamet.

[Pak Slamet bersama papan i-ching untuk meramal nasib orang.]
“Anda nggak percaya kalau saya ini juga tukang pijat?” tukas Slamet. Dia kemudian mempraktikkan kepiawaian pijat refleksinya di punggung saya.

Aha, ternyata pijatan Slamet Abdul Sjukur cukup berasa, tak kalah mutunya dengan tukang pijat profesional.

“Di Jakarta sudah banyak orang tahu kalau saya bisa pijat. Di Surabaya saja yang belum. Hehehe...,” papar Slamet.

Komponis, pemijat, peramal, penjual nasi. Sebuah kombinasi yang janggal, tapi nyata di Indonesia.

BACA JUGA

Slamet Abdul Sjukur sang maestro.
Posted by Lambertus L. Hurek at 4:55 PM 4 comments Links to this post
Labels: musik klasik
17 March 2007
Bung Karno Bina Teater di Flores

Ir SOEKARNO, yang lebih akrab disapa BUNG KARNO, pernah dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda selama empat tahun di Ende, Flores. Tepatnya dari 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938. Di Flores, Bung Karno yang kemudian menjadi presiden pertama Republik Indonesia, membina grup tonil alias teater alias sandiwara. Namanya TONEEL KLUB KELIMUTU.

Bung Karno bercerita tentang grup sandiwara alias teater yang didirikannya pada 1934 ini:

"Kami hanya mempunyai satu naskah. Karena itu, aku membacakan setiap peran dan para pemainku yang bermain secara sukarela mengingatnya dengan mengulang-ulang. Kalau orang dalam keadaan kecewa, betapapun besarnya rintangan akan dapat disingkirkannya. Inilah salah satu napas kehidupanku. Aku harus menjaganya supaya ia hidup terus.

“Kalau salah seorang tidak dapat memainkan perananya dengan baik, aku melatihnya sampai jauh malam. Aku malahan berbaring berkali-kali di lantai untuk memberi contoh kepada ALI PAMBE, seorang montir mobil, bagaimana memerankan dengan baik seorang yang mati.”

Setiap naskah butuh 40 hari latihan. Teater binaan Bung Karno ini biasa menggelar pertunjukan di Gedung Imakulata milik Paroki Katedral Ende. Adalah Pastor HUIJTINK SVD, misionaris serta teman diskusi Bung Karno, yang memberi izin penggunaan fasilitas milik Gereja Katolik itu. Juga kusi, bangku, hingga listrik.

Uskup Ende menyumbang cat. Karcis dicetak oleh PERCETAKAN ARNOLDUS milik para pastor dan bruder SOCIETAS VERBI DIVINI atau SVD.

Riwu Ga alias Riwu Sabu salah satu anggota Toneel Klub Kelimutu serta pelayan setia Bung Karno semasa pembuangan di Flores. Kepada PETER A. ROHI, wartawan senior asal Pulau Sabu, Nusatenggara Timur, Riwu Ga bercerita sedikit tentang teater pimpinan Bung Karno ini. Berikut paparan RIWU GA (almarhum) dalam gaya orang pertama:

"Bung Karno sebagai direktur Toneel Klub Kelimutu. Pendampingnya IBRAHIM H OEMAR SYAH dan DARHAM OTTAH. Di samping orang-orang dari berbagai suku di Nusatenggara Timur, ada orang Jawa seperti Atmosudirdjo dan Suminem, istrinya, school opziner Aburtidjo dan seorang guru schakel school bernama Wasirin. Bung Karno juga berhasil menggodok orang-orang Tionghoa menjadi muridnya, antara lain Go Djun Pio, Jo Ho Siu, dan Liek Sin Tek.

Pak Atmosudirdjo dan istrinya sangat dekat dengan Bung Karno dan Ibu Inggit Garnasi (istrinya). Dengan demikian, ia juga menjadi adik angkat Ratna Djuami (Omi). Pak Atmo bekerja sebagai mantri ukur di Flores. Jalan di sini belum diaspal. Mobil sedikit, di antaranya beberapa buah milik Silalahi.

Para pemain tonil terdiri atas bebagai profesi. Ada sopir macam Ali Pambe. Pembantu rumah tangga. Anak sekolah. Bung Karno terpaksa mengajari kami macam-macam untuk bisa menghafal peran masing-masing. Mulai cara mengeja bahasa sampai akting. Perempuan yang ada di klub tidak ikut main. Mereka cuma menyediakan perlengkapan atau tampil di bagian selingan sebagai penyanyi dan penari.
Drama-drama ciptaan Bung Karno semuanya 12 judul:

1. KUTKUTBI
2. RAHASIA KELIMUTU
3. AERO DINAMIT
4. DOKTER SYAITAN
5. ANAK HARAM JADAH
6. MAHA IBLIS
7. AMUK
8. SANGHAI RUMBA
9. GERA ENDE
10. INDONESIA 1945
11. RENDO
12. JULA GUBI

Drama INDONESIA 1945 ditulis Bung Karno atas pesanan Tuan NATHAN, orang Filipina yang memimpin sandiwara keliling. Drama DOKTER SYAITAN yang terkenal itu diciptakan Bung Karno pada 1936. Drama ini berisi ramalan akan tiba saatnya bangsa Asia bangkit dan memberontak terhadap penjajah kulit putih.

Peran utamanya dr Marzuki yang mampu menghidupkan orang mati. Pesan moralnya: bahwa bangsa Indonesia akan bangkit dari tidur panjang pada masa penjajahan.”

Biasanya, setiap Ahad, terutama usai latihan atau pementasan, Bung Karno bersama rombongan Teater Kelimutu piknik di luar kota. Wolowona, sekitar lima kilometer dari Ende, adalah tempat favorit mereka. Di sepanjang jalan Bung Karno mengajak mereka menyanyi gembira. Lagunya antara lain NONA MANIS serta lagu-lagu keroncong diiringi ukulele dan cuk.

TONEEL KLUB KELIMUTU DI FLORES

Pendiri : Ir Soekarno
Sutradara: Ir Soekarno
Penulis naskah : Ir Soekarno
Pementasan : 1934-1938

PEMAIN/ANGGOTA
1. Ibrahim H Umar Sjah
2. Darham Ottah
3. Ruslan Ottah
4. Djae H Mochtar
5. Abdul H Adjhar
6. Ahmad Polindih
7. Madu Rodja
8. Pranoto
9. Atmosudirdjo
10. Umar Gani
11. Djae Bara
12. Nganda Gande
13. Djae Gande
14. Ali Pambe
15. Wahab Tandjo
16. Siku Wasim
17. Wahit Djari
18. Weru Karara
19. Mansor Saripin
20. Musa H Umar Sjah
21. Prangga Kora
22. Ja Ali Ibrahim
23. Go Djun Pio
24. Awu Rodja
25. Jo Ho Siu
26. Alias Batawi
27. Molo Take
28. Wasim Palembang
29. Djafar Penatu
30. Riwu Sabu alias Riwu Ga
31. Lodo Nigi
32. Ndoa Wandu
33. Djamaludin
34. Baa Bahron
35. Da’man
36. Ibu Atmo
37. Ibu Pranoto
38. Suminem
39. Tin Mugda
40. Anang
41. Hamid Anang
42. Abdurrahman Anang
43. Abdurrahman Wani
44. Abdurrahman Palembang
45. Imam

SUMBER:
1. Di Bawah Bendera Revolusi (Ir Soekarno)
2. Kako Lami Angalai (Peter A Rohi)
3. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Cindy Adams)
4. Bung Karno dan Pancasila – Ilham dari Flores untuk Nusantara (Tim Nusa Indah)
Posted by Lambertus L. Hurek at 10:00 AM 1 comments Links to this post
Labels: Flores
Harvey Malaihollo - Album Refleksi

SEANDAINYA SELALU SATU
Musik : Elfa Secioria
Lirik : Wieke Gur Salameh
Vocal : Harvey Malaihollo


Sesayu tatapanmu,
Di alam yang bisu
Dan bayang-bayangmu kekasih
Menyaputkan cahaya

Jalan hidup kita berbeda
Walau ada hasrat bersama
Damai yang ku cari
Di ayunan angin lalu
Ternyata hanya harap semu

Kisah kita ini bukan kehendakku
Juga bukan kehendakmu
Tapi kehendak-Nya

Ku tahu tak mungkin terjadi
Bagai asa yang tak bertepi
Harus kuakhiri harus kuhadapi
Sepi hidup ini.

REFREIN:

Seandainya selalu satu dalam cita-cita
Juga dalam cinta
Seandainya kita selalu satu berpadu
Dalam angan dan harapan
Dalam suka atau nestapa
Dalam langkah menuju hidup bahagia



[Lagu terbaik Festival Lagu Pop Indonesia 1986]


[Koleksi Harvey saya tinggal empat ini. Yang lama-lama sudah hilang.]

Oleh Lambertus L. Hurek

Saya baru saja menerima e-mail dari HARVEY MALAIHOLLO. Penyanyi hebat ini berterima kasih atas catatan saya tentang dirinya di blog. Dia minta saya terus mendukung musik Indonesia.

Wow, senang nian hati ini. Siapa tak girang hati mendapat surat khusus dari Harvey Malaihollo, sang idola?

Suami dari LOLITA, dan ayah dari JOSHUA dan BENJAMIN ini baru saja merilis album bertajuk REFLECTIONS OF HARVEY MALAIHOLLO. Saya tentu saja langsung menikmatinya. Lalu, bikin catatan kecil macam ini.

Adapun lagu-lagunya: MERINDUKANMU (Ika Ratih Poespa), AKU SADARI (Dian Pramana Poetra/Deddy Dhukun), KATAKAN SAJA (Yovie Widianto), PENGERTIAN (Alex Kembar), BEGITULAH CINTA (Oddie Agam), SEANDAINYA SELALU SATU (Elfa Secioria/Wieke Gur Salameh).

Kemudian: DARA (Cecep AS), KUSADARI-MASIH ADA (Elfa Secioria/Wieke Gur Salameh), PUTRI (Siti Hardiyanti Rukmana), WANITA (Ismail Marzuki), MENITI PELANGI (Elfa Secioria/Wieke Gur Salameh), JERA (Elfa Secioria/Ferina). Total 12 lagu dikemas apik di cakram padat.

Namanya juga refleksi, lagu-lagu di album ini mencerminkan perjalanan karier Bung Harvey di belantika musik Indonesia yang sudah melampaui tiga dekade. Kepada saya, Harvey pernah mengatakan mulai berkarier musik sejak 1976.

Lagu-lagunya berlimpah, dengan macam-macam gaya. Pop manis, jazz, bosas, festival, seriosa... hampir semua ‘disikat’ habis oleh Harvey. Dengan kualitas vokal luar biasa, Harvey beroleh begitu banyak penghargaan di dalam dan luar negeri.

Di era festival lagu pop masih ada (bukan festival akal-akalan macam Indonesia Idol, KDI, atau AFI), beberapa juri bahkan mengimbau aga Harvey tak perlu ikut festival. Kenapa? “Kalau dia ikut, ya, dia yang menang lagi. Sulit menandingi kualitas Harvey Malaihollo,” begitu ucapan yang pernah saya baca di koran era 1980-an. Maaf, saya lupa nama sumbernya.

Beberapa catatan prestasi Harvey Malaihollo: Juara I Bintang Radio dan Televisi Nasional, 1976. The best performer pada Golden Kite Festival di Kuala Lumpur, 1982. Penyanyi terbaik di World Pop Song Festival, Tokyo, 1986. Penyanyi terbaik Festival Lagu Pop Indonesia selama empat kali--1986, 1987, 1988, 1990.

Nah, album refleksi ini hanya memuat lagu-lagu era 1987 hingga 2007. Memang ada satu lagu baru di sini: Merindukanmu. Tata musiknya bervariasi. Harvey tidak hanya dihadirkan sebagai biduan festival, tapi penyanyi rekaman. Kita bisa menikmati ruang jelajah Harvey yang sangat luas. Mau suara santai, lambat, pelan.. oke. Mau meniti nada-nada tinggi, rumit, sulit... Harvey hadapi dengan nyaman.

Penikmati musik tentu macam saya hanya bisa geleng-geleng kepala dengan anugerah Tuhan yang luar biasa lewat suara Harvey Malaihollo. Kok bisa ya, Harvey bisa nyanyi sebagus itu?

Saya penikmat lagu-lagu festival yang pernah dimenangi Harvey Malaihollo. Karena itu, saya tentu paling suka SEANDAINYA SELALU SATU. Tataan musik Elfa Secioria membuat lagu ini dahsyat. Sangat bertenaga. Maka, saya merasa kehilangan ‘orientasi’ ketika mendengar lagu KUSADARI yang dirombak aransemennya oleh Tohpati. Tataan baru ini santai nian. Sama sekali tak menguras energi vokal seorang Harvey.

Jangan lupa, kemenangan Harvey di pentas festival tak pernah lepas dari sosok ELFA SECIORIA. Dia yang bikin lagu, aransemen, hingga memimpin para pemusik. Maka, ketika Harvey tidak ‘dipegang’ Kang Elfa, saya merasa ada sesuatu yang hilang. “Elfa itu sahabat dan mentor saya,” ujar Harvey.

“KAYAKNYA ANDA LEBIH COCOK DITEMANI ELFA SECIORIA?” tanya saya.

Harvey tersenyum. “Bisa jadi begitu. Tapi, pada dasarnya, saya bisa bekerja sama dengan arranger mana pun,” kata cucu BRAM ‘ACEH’ TITALEY ini. Harvey benar. Selama kariernya, dia sudah menghasilkan sedikitnya 25 album dengan cita rasa yang bervariasi. Penata musiknya pun macam-macam.

Akhirnya, saya perlu mengutip catatan AKMAL NASERY BASRAL, redaktur majalah TEMPO, di buklet album refleksi Harvey Malaihollo:

“... pesan moral kepada pendengar baru: bahwa bukan hanya bakat yang menyebabkan seorang penyanyi akan melegenda. Melainkan kerja keras, disiplin, ketekunan, dan komitmen tinggi pada profesi. Tak bisa lain.”

Sukses terus, Bung Harvey!
Posted by Lambertus L. Hurek at 9:57 AM 1 comments Links to this post
Labels: musik
16 March 2007
Harvey Malaihollo

Harvey bersama para fans di Surabaya. Saya potret di Hotel Garden Palace, Surabaya.

Oleh Lambertus L. Hurek

PADA tahun 1980-an HARVEY MALAIHOLLO dikenal sebagai 'macan festival'. Kalau ada festival menyanyi, bisa dipastikan Harvey juaranya. Saking seringnya meraih juara pertama, Harvey Malaihollo kemudian 'dilarang' mengikuti semua festival lagu pop tingkat nasional.

"Sebab, kalau Harvey ikut, pasti dia yang menang lagi," begitu alasan panitia festival lagu pop pada 1980-an hingga 1990-an.

Saya menikmati suara emas Harvey pada 1980-an dari layar TVRI, hitam-putih. Lagu yang paling saya ingat SEANDAINYA SELALU SATU karya Elfa Secioria dan Wieke Gur. Lagunya benar-benar bagus, dan hanya bisa dinyanyikan oleh vokalis dengan ambitus suara luas sekaliber Harvey Malaihollo.

Saya juga menikmati suara Havey, lahir 1963, di kaset. Dia nyanyi lagu-lagu manis ala Aloysius Riyanto dan Rinto Harahap. Kemudian dia kerja sama dengan Ireng Maulana menghasilkan album-album bosas, bernuansa jazz.

"Suara saya itu talenta dari Tuhan. Saya bersyukur karena sampai sekarang saya masih bertahan di tengah persaingan yang makin seru. Saya masih bisa cari makan dari menyanyi," ujar Harvey Malaihollo kepada saya di Hotel Garden Palace Surabaya, beberapa waktu lalu. Bung Harvey kebetulan mengisi acara kebaktian kebangunan rohani yang digelar sebuah gereja mandarin di Surabaya.

SEBAGAI bekas 'macan festival', bagaimana pandangan Harvey Malaihollo terhadap maraknya festival ala AFI, Indonesia Idol, atau KDI? Akankah penyanyi-penyanyi produk festival mutakhir ini bisa langgeng di belantika musik?

Topik ini menjadi bahan diskusi kecil saya dengan Harvey.

"Begini, AFI, Indonesia Idol itu tidak bisa dibilang festival murni. Harus dicatat itu reality show. Pemenangnya pun tidak ditentukan oleh dewan juri, tapi SMS yang masuk. Jadi, tidak bisa dibandingkan dengan festival pada zaman saya dulu," kata Harvey yang mulai berkarier di musik sejak 1976 itu. Hingga 2005 ia menghasilkan 24 album.

Zaman memang berubah. Di masa kejayaan Harvey, Vina Panduwinata, Emilia Contessa... televisi hanya satu, ya, TVRI. Kini, televisi begitu banyak, siaran 24 jam. Kemasan reality show pun jauh lebih atraktif ketimbang festival lagu pop tahun 1980-an.

Anda menyesal tidak mengalami kegemuruhan Indonesia Idol seperti Joy dan Delon, misalnya?

"Kenapa menyesal? Saya di mana-mana ditanya wartawan seperti itu. Dan saya selalu mengatakan bahwa saya justru bangga karena pernah mengalami the real festival. Festival yang benar-benar festival. Jadi, kemenangan saya di berbagai festival bisa dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya oleh dewan juri. Jurinya kan bukan orang sembarangan," tegas pria yang sempat menggelar konser tunggal pada tahun 2000 itu.

Meski begitu, Harvey Malaihollo menghargai penyanyi-penyanyi baru produk reality show macam AFI atau Indonesia Idol. Secara umum, kata dia, kualitas mereka cukup bagus kendati juaranya ditentukan oleh SMS.

"Siapa yang banyak didukung SMS dia yang menang. Siapa yang suaranya bagus, tapi kalah SMS, dia kalah. Inilah hukum reality show," kata cucu Bram Titaley (almarhum), dedengkot musik keroncong di Indonesia
itu.

Di tengah tingkat persaingan yang sangat ketat dewasa ini, Harvey Malaihollo mengingatkan para penyanyi baru untuk bekerja keras. Juara di festival apa pun bukan jaminan untuk sukses di dunia tarik suara dalam waktu panjang. Berapa banyak penyanyi kita yang muncul ke permukaan, merilis satu dua album, setelah itu hilang tanpa bekas.

"Kuncinya, kembali ke adik-adik yang merintis karier sebagai penyanyi seperti saya. Persaingan luar biasa sekarang," ujarnya.

Manajemen artis (artist management), lanjut Harvey, harus digarap secara serius oleh artis-artis baru. Tanpa itu, jangan harap vokalis-vokalis baru ini bisa bertahan lama di musik. Sekarang saja, katanya, beberapa alumnus reality show sudah nyaris tidak terdengar lagi.

"Yang tidak kalah penting, rajin-rajin berdoa karena pada akhirnya Tuhan juga yang menentukan," imbaunya.

Jam terbang yang tinggi di berbagai festival dalam dan luar negeri membuat Harvey Malaihollo mengaku tidak merasa 'terancam' oleh begitu banyak penyanyi baru. Sebab, dia sudah punya audiens khusus yang fanatik. Mereka ini sulit pindah ke penyanyi baru.

"Saya punya audiens sendiri," tegas Harvey.

Okelah! Maju terus, Bung!
Posted by Lambertus L. Hurek at 10:41 PM 0 comments Links to this post
Labels: musik
14 March 2007
Sejarah Rekaman Musik di Indonesia

[A Malik Bz menunjukkan piringan hitam Orkes Melayu Sinar Kemala produksi Lokananta, Solo. Lokananta merupakan salah satu pelopor rekaman musik di Indonesia.]

Oleh THEODORE KS
Sumber: KOMPAS, 5 November 2002

PADA mulanya adalah musik klasik dan jazz, lalu gramafon Columbia made in USA dan peralatan studio rekaman dibawa ke Hindia Belanda pada awal abad ke-20, seratus tahun silam. Setelah itu baru tercatat berdirinya perusahaan rekaman ODEON, CANARY, dan HIS MASTER VOICE di Surabaya, yang memproduksi piringan hitam untuk orang-orang kaya perkotaan yang jumlahnya tidak seberapa.

Catatan keberadaan perusahaan rekaman di Indonesia ditemukan sekitar tahun 1954 ketika IRAMA berdiri, disusul DIMITA, REMACO di Jakarta dan perusahaan rekaman milik negara LOKANANTA di Solo. Pencinta musik Suyoso Karsono yang lebih dikenal Mas Yos menggunakan garasi rumahnya di Jalan Theresia, Jakarta, untuk merekam sejumlah grup musik, dari sinilah lahir perusahaan rekaman IRAMA.

Yang pertama direkam Irama adalah sebuah quintet yang terdiri dari Dick Abel, Max van Dalm, Van der Capellen, dan Nick Mamahit. Perusahaan rekaman pertama setelah kemerdekaan Indonesia ini juga memproduksi penyanyi dan grup musik Melayu seperti Hasnah Tahar (Burung Nuri, Khayalan dan Penyair), yang diiringi Orkes Melayu Bukit Siguntang pimpinan A Chalik.

Kemudian Munif Bahasuan (Ratapan Anak Tiri), Oslan Husein yang me-rock 'n roll-kan lagu Bengawan Solo, Kampuang nan Jauh di Mato dengan iringan musik orkes Taruna Ria, Nurseha (Ayam den Lapeh, Laruik Sanjo), serta Mas Yos sendiri yang merekam suara lewat lagu Nasi Uduk, Janganlah Jangan diiringi Orkes Maruti.

Sebelum menjadi Koes Bersaudara dan masuk rekaman DIMITA tahun 1969, Koes Bersaudara yang terdiri dari Tonny, Yon, Yok, Nomo, Jon pada tahun 1962 merekam lagu-lagunya di IRAMA. Sejumlah lagunya yang hingga kini masih digemari antara lain Dara Manisku, Jangan Bersedih, Harapanku, Dewi Rindu, Bis Sekolah, Pagi Yang Indah, Si Kancil, Oh Kau Tahu, Telaga Sunyi, Angin Laut, Senja, Selamat Berpisah, Aku Rindukan Kasihmu, Gadis Puri, Kuduslah Cintamu., Selalu, Rindu, Awan Putih, Doa Ibu, Bintang Kecil, Di Pantai Bali.

Titiek Puspa (Minah Gadis Dusun, Si Hitam, Daun Yang Gugur, Mari Kemari), Lilies Suryani (Gang Kelinci, Tiga Malam, Jali Jali), Tuty Subarjo - Onny Suryono (Telepon), Rachmat Kartolo (Patah Hati, Pusara Cintaku), Elly Kasim (Bareh Solok, Hitam Manis), Nien Lesmana (Kopral Djono, Letnan Hardi, Menanti) serta Ireng Maulana sempat pula berkarya di studio rekaman IRAMA yang amat sederhana di Jalan Cikini Raya. Sedemikian sederhananya sehingga suara hujan atau kereta api yang lewat di belakang studio terekam lebih keras dari musik dan vokal penyanyi.

Jejak IRAMA diikuti DIMITA dan REMACO, yang selain memproduksi lagu-lagu keroncong, mulai berpaling pada lagu pop. Dimita yang dipimpin Dick Tamimi memproduksi piringan hitam Panbers dan Koes Bersaudara, sebelum kedua grup itu pindah ke Remaco.

Sementara LOKANANTA tetap memproduksi lagu-lagu daerah dan tradisional. Hingga tahun 1964, perusahaan-perusahaaan yang memproduksi piringan hitam ini tidak mengalami hambatan berarti kecuali pasar yang lambat berkembang.

Industri rekaman Indonesia baru memasuki ERA KASET tahun 1964. Waktu itu para pembajak memimpin suatu perubahan. Mereka memberikan teknologi yang lebih praktis dan murah, yaitu kaset, ketimbang piringan hitam yang terbilang mahal dan lebih rumit.

Jangkauan pasar kaset yang luas, menyebabkan Remaco yang dipimpin mantan ketua umum Asiri tahun 1990-1992, almarhum Eugene Timothy (Palembang 1 Februari 1938-Jakarta 24 Desember 2002) juga mulai memproduksi kaset tahun 1967. Setahun kemudian Eugene Timothy melakukan operasi antipembajak yang barangkali pertama di Indonesia, karena waktu itu lagu-lagu dari piringan hitam Remaco paling banyak dibajak.

"Saya harus mengimpor kaset merek TDK dan Phillips langsung dari Singapura dan Hongkong untuk menandingi ulah pembajak. Mula-mula omzet penjualan belum sebanyak sekarang, baru puluhan ribu kaset untuk setiap judul. Ketika lagu-lagu Koes Plus mulai digemari dan setiap judul kaset bisa terjual ratusan ribu buah, saya baru menyadari bahwa kami sudah memasuki industri rekaman kaset," ungkap Eugene Timothy dalam sebuah seminar tentang hak cipta awal tahun 1980-an.

Dengan Remaco-nya, Eugene Timothy merekam suara emas Broery Pesolima, Eddy Silitonga, Ernie Djohan, Tetty Kadi, Lilies Suryani, Ida Royani, Benyamin S, Hetty Koes Endang, Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, grup Empat Nada, Koes Plus, Mercy's, D'lloyd, Favouriet's, Panbers, Bimbo, The Pros, The Crabs, serta sederetan nama lainnya.

Teknologi rekaman kaset yang sederhana ternyata menumbuhkan dengan subur industri pembajakan. Sedemikian mengkhawatirkan masalah pembajakan kaset ini, sehingga sejumlah pelaku industri musik bersepakat mendirikan GIRI (Gabungan Industri Rekaman Indonesia) -- diketuai almarhum Tony Ibrahim dari perusahaan rekaman Flower Sounds pada tahun 1975 (Majalah Top Nomor 78, 7 Juni 1977) -- untuk memberantas pembajakan kaset. Sayang, GIRI tidak memperlihatkan gebrakan yang berarti. Mungkin karena itulah kemudian berdiri Asiri (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) lahir 1 Februari 1978, dengan maksud dan tujuan yang sama.

Pada tahun 1975 juga berdiri APNI (Asosiasi Perekam Nasional Indonesia) yang diketuai Pungky Purwadi BA, beranggota perekam lagu Barat seperti AQUARIUS, HINS COLLECTION, NIRWANA, TOP, ETERNA, CONTESSA, PERINA, SATURN, KING'S RECORDS, ATLANTIC RECORDS, YESS, dan GOLDEN LION. Tetapi, pada tahun 1988, ketika perekam lagu barat diharuskan membayar royalti pemusik dan perekam lagu Barat, asosiasi ini bubar. Sebagian anggotanya meleburkan diri menjadi anggota Asiri.

"SAYA mengawali keterlibatan dalam industri musik karena suka mengumpulkan piringan hitam lagu-lagu klasik Opera Kanton, jazz, dan klasik barat," kata Hendarmin Susilo (56), Presiden Direktur PT GEMA NADA PERTIWI (GNP) yang memproduksi lagu-lagu tradisional, langgam, keroncong, hingga lagu pop dan tradisional Indonesia yang liriknya diterjemahkan ke bahasa Mandarin.

Menurut anak pertama dari empat bersaudara, ayah dari empat anak dan kakek dari tiga cucu ini, karena khawatir piringan hitamnya rusak tergores, lagu-lagu yang disenanginya direkam ke pita seperempat inci dengan tape-recorder Aiwa M8, yang saat itu, tahun 1969 termasuk paling canggih. Hasilnya ternyata mengesankan beberapa temannya yang langsung minta direkam ke kaset. Itulah awal dia terinspirasi memproduksi kaset yang berisi lagu-lagu barat.

Namun, perusahaan rekaman HINS COLLECTION yang didirikannya tahun 1970 terpaksa ditutup karena tidak memiliki lisensi produksi lagu barat. Hendarmin mulai mengaktifkan GNP tahun 1984 dan produksi pertamanya adalah lagu keroncong yang dinyanyikan Gesang.

"Saya memang pencinta musik keroncong. Dalam kondisi industri yang kurang baik sekarang ini, saya tetap menerbitkan rekaman keroncong Gesang terbaru yang membawakan lagu-lagunya sendiri. Kasetnya saya cetak 5.000 dan CD-nya 1.000 buah. Saya harap jumlah ini bisa habis dalam waktu enam bulan hingga satu tahun," ungkap Hendarmin.

Perekam lagu barat lainnya Iwan Sutadi Sidarta masih tetap memproduksi lagu dari mancanegara dengan berbagai label, selain lagu pop Indonesia.

"KING'S RECORDS yang saya dirikan tahun 1969, sekarang khusus menerbitkan lagu-lagu nostalgia, Buletin International untuk lagu-lagu remaja sekarang seperti Backstreet Boys, Britney Spears, dan sebagainya. Untuk lagu Indonesia, saya juga menggunakan label Buletin, Aruna, Granada, dan Billboard," kata Iwan yang mempopulerkan kembali lagu Bujangan Koes Plus lewat grup Junior.

Bekerja sama dengan Log Zhelebour, Iwan mendirikan LOGISS RECORDS tahun 1986. Tetapi baru sekarang menikmati sukses bersama kaset Jamrud. Meski demikian, kini Iwan paling berani menerbitkan satu judul kaset untuk setiap label perusahaannya. Satu hal yang sama dilakukan MUSICA STUDIO'S.

"Setiap produksi kaset harus dihitung dengan matang. Karena untuk produksi dan promosi seorang penyanyi atau grup baru paling tidak dibutuhkan Rp 200 juta hingga Rp 300 juta," kata Indrawati Widjaja (43), Direktur Utama Musica Studio's yang memimpin perusahaan ini sejak tahun 1985.

Putri ketiga dari pendiri Musica Studio's Amin Widjaja ini sudah akrab dengan studio rekaman sejak sekolah menengah pertama. Amin Widjaja adalah pendiri BALI RECORDS yang memproduksi piringan hitam Eka Sapta yang populer dengan lagu Putih Putih Si Melati, serta sejumlah penyanyi pada awal 1960-an.

Eka Sapta adalah nama toko peralatan musik milik Amin Widjaya di Pasar Baru. Waktu itu, untuk rekaman dilakukan di studio darurat yang peredam suaranya mempergunakan karung-karung berisi biji kopi di toko kopi Warung Tinggi, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta kota.

"Awal tahun 1970-an BALI RECORDS menjadi METROPOLITAN dan kemudian MUSICA STUDIO'S hingga sekarang. Pasang surut industri musik sudah kami alami dan tetap bisa survive karena kami cinta bisnis ini," ujar Indrawati yang baru saja menerbitkan kaset Chrisye Dekade yang produksi dan promosinya menghabiskan Rp 1 miliar.

"Secara keseluruhan bisnis kaset sekarang ini merosot hingga 30 persen. Namun, untuk penyanyi tertentu seperti Chrisye atau Iwan Fals misalnya, shipout (jumlah peredaran kaset baru gelombang pertama) bisa mencapai 50.000 hingga 100.000 kaset. Sementara untuk penyanyi baru hanya sekitar 10.000 hingga 15.000 kaset," tambah ibu dari empat anak yang amat sabar melayani penyanyi dan para pemusiknya.

Indrawati adalah keponakan nyonya Tjandra Herawati Wijaya, yang mendirikan perusahaan rekaman ATLANTIC RECORDS (1977), perusahaan perekam video Trio Tara (1978), toko kaset dan CD Disctara (1986) dan pabrik CD pertama di Indonesia Dynamitra Tara (1992).

*******

Ketika industri musik sedang menikmati masa keemasannya tahun 1997, tidak satu orang pun menyadari kehadiran seorang pelaku industri musik yang baru. Setelah dia berhasil menjual kaset So7 dari grup asal Yogyakarta Sheila On 7 sebanyak 1,2 juta kaset, baru anak muda berusia 35 tahun ini menjadi perhatian. Dia adalah Sutanto Hartono, Managing Director SONY MUSIC INDONESIA.

Apa yang ditangani Sutanto semula adalah lagu-lagu barat. Namun, dia merasa akan lebih menyenangkan bila bisa mengorbitkan penyanyi atau grup musik Indonesia sendiri. Maka, direkrut grup asal Bandung /rif dan kaset perdananya laris 100.000 buah.

"Sekarang kami memiliki 20 grup dan penyanyi Indonesia. Sony Music untuk pop, Sony Wonder lagu anak-anak, dan Sony Dangdut," tukas Sutanto tentang perkembangan perusahaan rekaman yang dipimpinnya.

Jika kaset penyanyi lain shipout hanya sekitar puluhan ribu kaset, album Sheila on 7 terbaru 09 Des mencapai 600.000 kaset, yang hingga akhir Oktober 2002, sudah mencapai penjualan 1,2 juta buah.

"Semua itu bisa terjadi karena kami mengondisikannya lebih dulu melalui radio, televisi dan media cetak sebelum mengedarkan kasetnya. Supaya jangan tersesat dalam jalur distribusi, kami bereksplorasi dan membuka jalannya dulu," ungkap Sutanto.

"Meski kondisi industri musik kita sedang menurun seperti sekarang, saya tetap akan berproduksi. Mungkin tiga atau enam bulan satu album. Sony Music memang sedang berjaya, kami yang kecil ini ingin survive juga," ujar Rocky Dharmawan dari AVANTE MUSIC yang pernah sukses dengan album grup Amartya 8 yang terdiri dari bintang-bintang sinteron.

"Musik jazz memang pasarnya kecil, tetapi tetap diperlukan. Sepanjang tidak merugi terlalu banyak saya tetap akan bekerja," kata Sandy dari Sangaji Records.

Pada mulanya, Sandi hanya menangani musik klasik dan jazz. Tetapi, sekarang genre-nya beraneka ragam dan cepat berubah, sehingga memerlukan kewaspadaan, sigap, dan beradaptasi dengan unsur musikalitas yang baru. Kalau tidak akan semakin sulit memberdayakan industri budaya yang bisa diibaratkan sebagai labirin (bangunan berlorong dan gang-gang ruwet) yang sekarang semakin menyesakkan.

Hak-cipta dilanggar di mana-mana. Kepastian hukum nyaris nihil dalam bidang usahanya.

==============
CATATAN SAYA:

* Theodore KS adalah penulis masalah industri musik dan hiburan. Saya menilainya sebagai wartawan/penulis musik industri terbaik di Indonesia. Terus terang, saya belum menemukan wartawan yang mampu menulis musik (industri) dengan sangat detail, mendalam, tahu masalah... sekaliber Theodore KS. Ada satu dua artikel panjang di majalah PANTAU, namun tidak seajek Bung Theodore.

* Label internasional mulai beroperasi penuh setelah keluar Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994. Hadirnya lebal asing membuat omzet label domestik menurun sedikitnya 60 persen. Ratusan label lokal mati atau mati suri.

Sejak 2000-an muncul CD/VCD/DVD (juga MP3) sebagai pengganti kaset. Bisa dipastikan bahwa era kaset akan segera berakhir dalam waktu dekat. Seiring dengan itu penggandaan haram alias pembajakan musik rekaman merajalela. Juga lahir bisnis rekaman via internet atau telepon seluler.
Posted by Lambertus L. Hurek at 11:43 AM 5 comments Links to this post
Labels: musik
13 March 2007
Kekerasan dalam Pacaran
Pacaran itu ternyata tak selalu manis. Ada juga banyak sisi gelapnya. Dan perempuan lagi-lagi harus menjadi korban.

Lina Simatupang, pengurus Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak di Sidoarjo, sempat cerita kepada saya soal kekerasan dalam pacaran. Apa saja itu?

"Banyak. Kekerasan tak harus dalam bentuk fisik, tapi bisa juga penipuan, penggelapan harta benda, hingga ingkar janji."

Lina Simatupang menyebutkan, di Sidoarjo banyak kasus pria sudah beristri mengaku bujangan. Dengan kata-kata manis, jurus-jurus maut untuk mengambil hati, si gadis dibuat tidak berkutik. Mereka lalu berpacaran sebagaimana layaknya muda-mudi. "Hubungan mereka bahkan berlanjut layaknya suami-istri saja," tutur Lina.

Contohnya Melati, wanita 24 tahun. Begitu sayangnya sama sang pacar, Melati mau menyerahkan segalanya. Dia akhirnya punya anak meskipun belum menikah sah. Orang tua Melati malu dengan tetangga, tapi bisa menerima kenyataan ini.

"Toh, yang menghamili pacar sendiri. Tinggal menikah secara resmi, habis perkara," pikir kerabat Melati.

Eh, ketika didesak untuk menikahi Melati, si laki-laki terus saja mencari-cari alasan untuk menghindar. Ujung-ujungnya dia menolak sama sekali. Setelah diteliti ternyata si pria sudah punya istri dan anak. Mirip dengan syair lagu Anggun C Sasmi:

"... Mengaku bujangan kepada setiap wanita, ternyata cucunya segudang!"

Gara-gara kasus ini, Melati dikeluarkan dari tempat kerjanya di kawasan Taman. Menurut Lina, kasus dihamili pacar, kemudian si pacar melarikan diri banyak terjadi di berbagai daerah di Sidoarjo. Posisi perempuan sangat lemah, rentan, karena si pacar ternyata sudah punya istri-anak. Jadi istri kedua atau ketiga? Jelas bukan pilihan yang mudah.

"Sebetulnya perempuan itu bukan lemah. Tapi bagi wanita yang pendidikannya terbatas, dari kelas menengah ke bawah, gampang sekali jadi korban 'bujangan' seperti itu," papar Lina Simatupang.

Di kawasan Gedangan, seorang gadis sebut saja Intan, yang sangat cantik, berpacaran secara intensif dan akhirnya hamil. Saking ayunya, pacar Intan ternyata tidak hanya satu orang. Ketika perutnya sudah buncit, pihak keluarga meminta agar Intan segera dinikahi.

Persoalannya, siapa yang harus menikahi Intan? Tak ada satu pun yang mau. Mereka hanya mau menikmati manisnya madu si nona.

Akhirnya, ditempuh cara yang cukup aneh.

"Seorang laki-laki yang bukan pacarnya, dari luar kota, dipasang untuk akad nikah. Yah, untuk formalitas saja biar kelihatan dia punya suami," cerita Narti, asal Gedangan.

Setelah upacara, ya, selesai tugas sang pria tadi. Intan menjadi janda dan harus melahirkan anak tanpa didampingi sang suami.

Masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan dalam pacaran di Sidoarjo. Sudah berhubungan suami-istri, tidak sedikit 'pacar' yang menguras tabungan dan harta benda milik sang pacar dan keluarganya.

Celakanya, kata Lina Simatupang, kasus kekerasan dalam pacaran sulit diproses hukum. Sebab, aktivitas seksual kedua insan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka. Tak ada paksaan dalam bersenggama.

Dus, tidak bisa dijerat dengan pasal pidana.
Kalaupun menggunakan pasal perzinahan, kata Lina, perempuan jualah yang menderita beban ganda. Kenapa?

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, baik perempuan maupun laki-laki sama-sama terkena hukuman. "Jadi, posisi perempuan itu lemah," katanya.
Posted by Lambertus L. Hurek at 11:54 AM 0 comments Links to this post
Labels: sosial politik etc
Putri Vinata Pedangdut Sidoarjo
Oleh Lambertus L. Hurek


[Gambar Putri Vinata ini saya buat di ruang artis saat acara lelang bandeng di Sidoarjo.]

PUTRI VINATA pedangdut asal Taman, Kabupaten Sidoarjo. Julukannya PUTRI KAYANG, sesuai dengan nama albumnya perdana yang sempat melejit. Selain itu, goyangan si Putri ini mirip senam kayang, yang sangat menuntut kelenturan tubuh. Heboh!

Melejitnya Putri Vinata, meski tidak begitu dahsyat, mengikuti fenomena goyang ngebor INUL DARATISTA (Gempol, Pasuruan) yang mewabah pada 2001-2004. Di samping Putri Vinata, ada lagi UUT PERMATASARI, pedangdut asal Krian, Kabupaten Sidoarjo, yang juga melejit. Juga ada nama MARIA EVA asal Sidoarjo Kota yang heboh berkat video mesranya dengan Yahya Zaini, politikus Partai Golkar.

Sebagai pemegang KTP Sidoarjo, saya melihat bahwa Kabupaten Sidoarjo punya potensi besar di musik dangdut. Di mana-mana ada orkes melayu (dangdut). Hampir 353 desa di 18 kecamatan ada orkesnya. Mantenan nanap orkes. Bersih desa atau ruwat desa pakai orkes. Pengajian pasti ada orkes. Sidoarjo benar-benar kabupaten dangdut!

Hampir tiga tahun saya masuk keluar kampung di Sidoarjo untuk bikin liputan tentang seni budaya. Tentu saja, kesenian sepopuler melayu-dangdut tidak lepas dari perhatian saya. Hampir tiap hari saya ketemu penyanyi, pemusik, promotor, pemilik kafe dangdut. Nah, Putri Vinata termasuk salah satu penyanyi muda yang saya ikuti perjalanan kariernya.

Di awal merintis kariernya, Putri, anak polisi, manggung dari kampung ke kampung. Termasuk nyanyi di kawasan tambak pelosok. Panggung sangat sederhana. Tak ada ruang rias artis. Sound system seadanya. Putri Vinata saya lihat bisa menikmati suasana serba terbatas itu.

"Pokoknya, saya ingin tampil bagus di mana saja. Kalau penonton puas, saya senang," kata Putri Vinata kepada saya di kawasan Tambakcemandi, Kecamatan Sedati, suatu ketika.

Jauh sebelum terkenal sebagai Putri Kayang, PUTRI VINATA sudah merintis gaya khasnya: joget kayang. Dia lakukan itu dengan serius, entah di desa entah di kota. Gerakan sulit yang menuntut kepiawaian sekelas pesenam profesional. Putri sendiri mengaku sudah menekuni senam sejak kecil, sehingga tiada kesulitan apa pun di atas panggung.

Saat Putri goyang kayang, penonton heboh. Laki-laki suit-suit karena memang sangat menggoda. "Ini hanya hiburan kok. Saya tahu batas lah," kata si Putri. Tatkala goyangannya sudah kelewat 'panas', Putri tiba-tiba mendinginkannya. Laki-laki penonton minta lagi, Putri memenuhi... dan seterusnya.

Putri Vinata pernah diminta mengisi lelang bandeng di alun-alun Sidoarjo. Ini acara tradisional tahunan yang menjadi kebanggaan masyarakat tambak tradisional Sidoarjo. Sebagai orang Sidoarjo, Putri Vinata tentu saja bersedia. "Ada kebanggaan tersendiri kalau saya menyanyi di Sidoarjo. Apalagi lelang bandeng," katanya.

Menurut Dicky Hermawan, manajer PortoFino Organizer, Putri Vinata bahkan bersedia dibayar murah, jauh di bawah tarif normal, untuk lelang bandeng Sidoarjo. "Saya bilang bujet untuk lelang bandeng sangat kecil. Tahu sendiri lah acaranya pemda," kata Dicky kepada saya.

"Saya salut sama Putri karena mau tampil di lelang bandeng," ujar Dicky Hermawan, bekas Duta Wisata Sidoarjo.

Begitulah. Tanpa banyak cincong Putri Vinata akhirnya tampil di alun-alun Sidoarjo. Karena harus menyanyi di depan bupati dan pejabat-pejabat Sidoarjo, saya lihat Putri Vinata mengurangi porsi goyangan hot. Joget kayangnya tidak sepanas di kafe atau tempat hiburan malam lain. Waktunya pun dibatasi karena dia harus berbagi dengan artis lokal.

Saya sempat bercakap dengan Putri di belakang panggung. Putri didampingi ibundanya. "Mau nanya apa, Mas? Saya sekarang sibuk, jadi jarang ke Sidoarjo," ujarnya ramah.

Saya lihat penampilan Putri Vinata, setelah menjelma menjadi Putri Kayang, jauh lebih wah. Pakai soft lens. Busana semerbak. Parfumnya hmmmm....

Singkatnya, beda jauh lah dengan ketika masih merintis karier di pelosok-pelosok Sidoarjo. "Alhamdulillah, saya dapat banyak job. Terima kasih atas dukungannya," kata Putri Vinata lalu tersenyum manis.

Putri Vinata mengaku sengaja mengurangi show dan berkonsentrasi di studio rekaman. Ini penting untuk memantapkan kariernya di belantika musik dangdut nasional. Menurut dia, lagu-lagu dangdut sangat disukai masyarakat, show selalu membeludak, namun kaset atau cakram padat (CD) kurang laku di pasaran. Ini karena produk bajakan merajalela.

"Kami ini serba repot. Nggak rekaman juga repot, buat rekaman pasti dibajak. Susah," kata Putri Vinata.

Seperti umumnya penyanyi dangdut asal Sidoarjo, kebintangan Putri Vinata hanya terlihat di atas panggung. Pulang ke rumah, dia bertukar pakaian, layaknya orang-orang kampung biasa.

"Nggak kelihatan artisnya sama sekali," ujar Muhammad Saiful, event organizer di Sidoarjo. "Saya sampai pangling. Lho, kok Putri Vinata beda banget dengan di televisi?"

Yah... namanya juga artis dangdut.
Posted by Lambertus L. Hurek at 10:50 AM 0 comments Links to this post
Labels: musik
12 March 2007
Cikal Bakal Musik Rock di Surabaya

[Ucok AKA Harahap, dedengkot musik rock di Surabaya.]

Oleh: THEODORE KS
Sumber : KOMPAS, 28 Januari 2005

KETIKA salah satu serial film JAMES BOND FROM RUSSIA, WITH LOVE yang soundtrack-nya berjudul sama dibawakan penyanyi bersuara lembut Matt Monro digemari di Indonesia pada tahun 1964, irama musik rock mulai menggeliat di kota Surabaya.

Akan tetapi, yang menggemari musik itu saat itu masih terselubung karena ada ancaman dari pemerintah bahwa siapa saja yang berani mendengar apalagi memainkan musik ngak-ngik-ngok bisa distempel subversif dan dijebloskan ke dalam bui, sebagaimana dialami KOES BERSAUDARA di penjara Glodok.

Musik rock yang waktu itu sedang berkembang dan menjadi tren di Eropa dan Amerika tentu menggoda masyarakat dan pemusik di Indonesia. Diam-diam mereka memasang telinga di depan radio pada pukul 05.00, memonitor siaran radio Australia atau BBC, mendengar lagu-lagu The Beatles dengan volume untuk didengar sendiri. Bagi yang beruntung memperoleh piringan hitam John Lennon dan kawan- kawan, juga melakukan hal yang sama.

Alat rekam (tape recorder) yang waktu masih termasuk langka menyebabkan melodi lagu harus dihafal di luar kepala dan lirik dicatat sebisanya ketika mendengar lewat siaran radio. Bagi yang memiliki piringan hitam dan alat putarnya tentu lebih beruntung. Mereka dapat mendengar berkali-kali sehingga sebuah lagu bisa dibawakan persis aslinya di atas panggung. Waktu itu sebuah grup musik dielu-elukan luar biasa jika bisa mengopi seratus persen lagu grup atau penyanyi mancanegara.

Sebagai kota pelabuhan yang pernah menjadi markas Angkatan Laut Belanda, Inggris, dan Indonesia, hiburan bertebaran di Surabaya, termasuk kehidupan musik yang merata di bar dan diskotek, seperti Seaside, Poras, Tegalsari, dan Mirasa. Di sinilah irama musik rock mulai terdengar di antara lagu-lagu berirama chacha atau tango yang dibawakan berbagai grup musik. Antara takut dan berani, mereka sekali-kali berjingkrak dengan rock’n roll-nya Elvis Presley atau The Beatles.

Di tempat lain, misalnya di hotel-hotel, para pemusik jazz seperti Jun Sen (grup Varia Nada), Jerry Souisa (Irama Jangger), atau Lody Item, Awat Suweileh serta Didi Pattirani yang tergabung dalam Bhineka Ria, juga gatal memainkan musik rock. Caranya, mereka menambah beat irama swing yang mereka bawakan, seperti lagu-lagu Geoge Sharing. Mereka mengiring dansa twist dan jive.

Bisa dikatakan, Didi Pattirani adalah pengusung rock’n roll yang sukses pada pertengahan tahun 60-an, ketika pementasannya di Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Solo memperoleh sambutan luar biasa dari kalangan remaja. Padahal, rock’n roll sudah diproklamirkan 10 tahun sebelumnya di Amerika, melalui Good Rockin’ To Night (Roy Brown), Rock All Night Long (The Rives), serta Rock Around The Clock (Bill Haley & His Comet)

HAMPIR semua pemusik asal Surabaya pernah memainkan musik rock. Penabuh drum ABDUL KARIM SUWEILEH, yang sekarang menjadi direktur sebuah music-agency dan sering tampil bersama IRENG MAULANA, KIBOUT MAULANA, DULLAH, serta PERRY PATTISELANO, membawakan musik jazz di berbagai tempat, seperti di Jamz atau Hotel Borobudur-pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970- an bergabung dengan HARRY DHARSONO dalam grup BATARA.
Mereka membawakan lagu-lagu GRAND FUNK RAILROAD, ROLLING STONES, LED ZEPELIN, URIAH HEEP, dan tentu tidak ketinggalan THE BEATLES.

Sementara almarhum UDIN ZACH, yang dikenal sebagai peniup saksofon dan memimpin grup jazz BHASKARA beberapa kali ke North Sea Jazz Festival di Den Haag, Belanda, antara tahun 1985 dan 1990 pernah menjadi gitaris yang memainkan musik rock bersama grup ARISTA BIRAWA. Penyanyi grup ini, MUS MULYADI, sering menyelingi irama keroncong di antara lagu-lagu rock yang dibawakannya. Penyanyi keroncong menjadi trademark-nya sampai sekarang.

Sementara itu, ARTHUR VICTOR GEORGE JEAN ANESZ KAUNANG yang waktu itu masih duduk di bangku SMP sedang belajar piano klasik. Sebelum bergabung dengan SYECH ABIDIN JEFFRIE, SUNATHA TANJUNG, dan UCOK ANDALAS DATUK OLOAN HARAHAP dalam AKA pada tahun 1969, Arthur pernah bermain di beberapa grup musik, antara lain MUANA bersama LEO KRISTI.

Setelah pemetik gitar bas pertama PETER WASS dan penggantinya, LEKSI RUMAGIT, keluar dari AKA, ARTHUR datang sebagai pemetik gitar bas ketiga. Uniknya, ketiga pemetik bas AKA ini kidal. AKA adalah singkatan dari Apotik Kali Asin.

Kalau latihan, AKA melakukannya di belakang apotek milik orangtua Ucok Harahap. Mereka membawakan lagu-lagu Eric Clapton, Rolling Stones, dan Jimi Hendrix (Purple Haze, Hey Joe). Tidak heran jika grup ini dinobatkan sebagai grup underground, membawakan musik yang dianggap revolusi, baik dalam musik maupun lirik. Bukan hanya itu, AKA juga mengusung unsur nonmusik dalam pergelaran mereka. Melengkapi pertunjukan dengan tiang gantungan dan peti mati ke atas panggung. Hingga tahun 1975, di samping puluhan pertunjukan di berbagai kota besar di Tanah Air, AKA menghasilkan enam album rekaman.

Ke-underground-an AKA ternyata tidak terlihat dalam rekaman, misalnya dalam lagu paling populer mereka, Badai Bulan Desember. Demikian juga lagu berbahasa Inggris ciptaan Utjok Reflection, Grazy Joe atau Sky Ryder, memang menghadirkan musik yang ingar-bingar, tetapi liriknya menurut kritikus Remy Sylado menggunakan grammar SMP.

Komentar juga datang dari pemusik Mus Mualim yang menyebutkan underground-nya AKA hanya terbatas kulit karena diambil begitu saja dari piringan hitam tanpa menyelami makna perjuangan yang dilakukan pemusik underground Amerika.

Padahal, menurut ARTHUR KAUNANG, istilah underground mulanya bukan datang dari AKA. Ketika grup ini tampil pertama kali di Bandung dan membawakan lagu-lagu Jimi Hendrix, masyarakatlah yang menempelkan label underground pada mereka. Istilah itu bertambah melekat kepada AKA karena keeksentrikan Ucok di atas panggung maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Di atas panggung ulah Ucok Harahap menjadi tontonan tersendiri, di samping musik yang dimainkan Arthur, Syech, dan Sunatha. Berbagai tanggapan miring masyarakat, terutama orang tua, seakan berlalu begitu saja. Dia meneruskan aksinya menyanyi dengan kepala di bawah, terlentang di panggung, atau menari-nari. Bisa juga terjun ke dalam kolam dan bergelantungan di talang air sebuah bangunan, kemudian loncat dari ketinggian lebih dari tiga meter tanpa cedera.

Keeksentrikannya yang lain diperlihatkan ketika AKA bertemu Rollies di panggung Stadion Gelora 10 Nopember, 8 Juli 1972. Ketika Rollies membawakan lagu-lagu Gone Are The Song of Yesterday, I Had To Leave You, dan sebuah lagu dari Iron Butterfly berjudul A Gadda Da Vida, tiba-tiba seorang muncul dari kerumunan penonton menuju ke depan panggung sambil memegang tongkat. Penonton gemuruh dan bersorak karena orang itu bukan lain adalah Ucok Harahap yang sengaja berada di antara penonton menyaksikan Rollies.

Di Jakarta AKA pernah tampil di Taman Ismail Marzuki, dua malam berturut-turut, 10 dan 11 November 1973. Aksi Ucok lain lagi. Sambil membawa lagu Sex Machine, Ucok seakan-akan kesurupan dan memeragakan adegan bersenggama dengan salah satu alat musiknya. Kemudian dia keluar dari panggung, memanjat tembok dan ke atas genteng.
Ketika muncul lagi di pentas, ia langsung buka baju. Membiarkan dirinya "dihajar" dua algojo, kakinya diikat dan digantung. Setelah "ditusuk" dengan pedang, ia dimasukkan ke dalam peti mati.

Kehebohan Ucok berlanjut meski pertunjukan sudah selesai. Di belakang panggung dia masih dikerumuni orang, termasuk segelintir penonton, panitia, dan wartawan, karena kelihatannya dia masih kesurupan dan kejang-kejang sebelum akhirnya menggelapar dan terkapar di lantai tidak sadarkan diri.

Namun, keeksentrikannya ini ternyata tak mampu mempertahankan AKA sebagai sebuah grup yang solid. Pada akhirnya SUNATHA, ARTHUR, dan SYECH meninggalkan Ucok dan mendirikan trio SAS - singkatan nama ketiganya. Walaupun ditinggal sendirian, Ucok tetap malang-melintang dalam dunia musik. Di samping menyewakan alat musik, dia masih naik ke atas panggung. Bahkan, pada tahun 2003 ia berduet dengan seorang penyanyi anak-anak, yang pantas menjadi cucunya.

Kiprah SAS tidak kalah dibandingkan dengan AKA, bahkan lebih mengesankan dan disegani grup musik lainnya di luar Surabaya. Arthur dan kedua rekannya sangat sukses di panggung-panggung musik Jakarta, Bandung, Medan dan kota-kota lainnya. Mereka menghasilkan 14 album rekaman sebelum bubar tahun 1992, meninggalkan lagu-lagu yang populer, seperti BABY ROCK, RUDAL, METAL BAJA, dan sebuah lagu tentang bencana alam LARANTUKA. Lagu Baby Rock pernah masuk anak tangga radio Australia dan dibahas di BBC.

Larantuka diubah judulnya menjadi Nanggroe Aceh dan dibawakan Arthur bersama grup Bomerang di Surabaya tanggal 15 Januari 2005 dalam konser Peduli Aceh di Tugu Pahlawan yang diikuti para pemusik Surabaya lainnya. Arthur yang sekarang berusia 54 tahun bersama istrinya, Julie Astuty, dianugerahi tiga anak, yaitu Thessalonica, Genesy Rocky, dan Mecko Raga.

Pemetik gitar bas yang juga piawai di peralatan keyboard ini sekarang lebih sering membawakan lagu-lagu rocknya dalam lirik rohani untuk Tuhan, mengikuti jejak Sunatha Tanjung yang sudah menjadi pendeta. Sedangkan Syech tidak berkecimpung dalam dunia musik.

TENTU saja tak bisa dilupakan grup dan pemusik lainnya, seperti OORZAAK, YEAH YEAH BOYS, LEMON TREE’S, D’HAND, GEMBELS, GOMBLOH, ROCK TRIKEL, PRETTY SISTERS, atau ITA PURNAMASARI. Catatan khusus harus diberikan kepada mereka.

YEAH YEAH BOY lahir hampir berbarengan dengan AKA, tahun 1969. Grup yang beranggota Yanto (gitar), Bukheri (bas, vokal), Ukky (gitar, vokal), Haryanto (organ), Arfan (lead vokal), dan Eddy Rajab (drum dan vokal) disponsori Bank Bumi Daya. Mereka tampil di bar dan kelab malam Singapura selama hampir tiga tahun. Barangkali itu salah sebab kurang berkiprahnya grup ini di Tanah Air.

Grup PRETTY SISTERS menjuarai Festival Band Wanita se-Indonesia tahun 1975, sementara Gembels termasuk grup yang banyak penggemarnya hingga di luar Jawa Timur.
GOMBLOH yang tutup usia dalam usia 37 tahun, 9 Januari 1988, meninggalkan sejumlah lagu yang banyak dikenang.

Kaset lagu-lagunya, HONG WILAHENG, BERITA CUACA, KEBYAR KEBYAR, SETENGAH GILA, dan KUGADAIKAN CINTAKU, terjual lebih dari satu juta buah. Gombloh tampil dalam film Catatan Si Boy membawakan lagunya itu.

Pemusik dan penyanyi bertubuh kerempeng dengan rambut panjangnya hingga bahu ini dinilai memiliki keistimewaan dalam lirik. Album rekamannya, BERITA CUACA, menarik perhatian seorang musikolog dari Cornell University, Amerika Serikat. Karena liriknya pula, KEBYAR KEBYAR pernah menjadi lagu "kebangsaan" dan dinyanyikan bersama-sama sebagai penutup berbagai pertunjukan musik setelah Gombloh meninggal.

LEO KRISTI yang pernah bergabung dengan Arthur dalam Muana juga membentuk grup LEMON TREE’S bersama Gombloh sebelum berjalan sendiri dengan musik rakyatnya.

Namun, dari sejumlah grup dari kota buaya itu, tidak dapat disangkal bahwa AKA memberi pengaruh yang paling besar. Beberapa grup mengikuti jejak dan keeksentrikan Ucok, seperti MICKY MAKELBACH dari grup BENTOEL, Malang, yang angotanya selain Micky antara lain adalah TEDDY SUNJAYA (drum) dan IAN ANTONO (gitar) yang kemudian dikenal sebagai personel GOD BLESS.

Micky bahkan lebih berani dari Ucok. Seperti yang diperlihatkannya ketika tampil bersama Arista Birawa, ZB 101, dan penyanyi Filipina Victor Wood di Gelora Pancasila, Surabaya, 18 Februari 1973. Tanpa diketahui panitia, Micky mengeluarkan seekor kelinci dari sebuah tas di sudut panggung. Setelah mulutnya komat-komit membaca mantra, Micky mengelus-elus kelinci itu, kemudian secara tiba-tiba menghujamkan pisau belati yang sudah dipersiapkan ke tubuh binatang malang itu.

Darah kelinci pun muncrat dan Micky menghirupnya. Penonton terpekik. Berharap mendapat sambutan, Micky malah menerima teriak turun…. turun! Seketika itu juga aliran listrik ke peralatan musik di panggung dihentikan panitia dan Micky serta grup Bentoel diminta menghentikan penampilannya.

Namun, media massa waktu itu justru mengorbitkan Micky sebagai calon superstar baru dan menjulukinya sebagai Alice Cooper Indonesia. Sedemikian cintanya Micky kepada musik rock, hingga dia rela ditinggalkan Sita, istrinya. Namun, perjalanan hidup dan kariernya tidak terlalu panjang. Dia meninggal tanggal 9 Mei 1987 dalam usia 38 tahun karena serangan jantung di kediamannya di Sukabumi.

Referensi Micky tentang Alice Cooper yang suka mencoret muka dan berpakaian aneh-aneh ketika menyanyi di panggung adalah melalui berbagai majalah musik terbitan Amerika atau Eropa, seperti Music Express, Circus, Melody Maker, atau majalah musik terbitan Bandung, Aktuil. Sedangkan lagu-lagu terbaru diperolehnya dari kaset-kaset yang waktu itu sudah banyak beredar. Jadi, tidak perlu mengikuti pemusik pendahulunya yang memonitor radio Australia atau BBC di kala subuh.

Tidak ada lagi intimidasi dari pemerintah. Bahkan, ketika kampanye pemilihan presiden tahun 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membawakan lagu Pelangi di Matamu dari grup Jamrud.

[THEODORE KS adalah penulis masalah industri musik, wartawan senior. Saya menganggap dia sebagai penulis musik terbaik di Indonesia.]
Posted by Lambertus L. Hurek at 6:21 PM 0 comments Links to this post
Labels: musik
11 March 2007
Teater Lekture Sidoarjo

Oleh Lambertus L. Hurek

Di Pendopo Dinas Pariwisata Sidoarjo beberapa dedengkot Teater Lekture tengah giat berlatih. Naskahnya ELA-ELO, garapan mereka sendiri. Sementara di sekeliling para aktor itu tampak ibu-ibu dan anak-anak sekolah dasar hingga balita memperhatikan dengan saksama.

Penonton setia itu terlibat dengan celetukan segar atau membuat bunyi-bunyian, musik mulut. Yah, penonton dan anak-anak itu tak lain istri atau anak-anak pemain. Setiap kali berlatih atau sekadar jalan-jalan, semua anggota keluarga dilibatkan. "Ideologinya Lekture memang kekeluargaan," kata AGUS KHOIRIANTO, pemain yang juga mantan ketua Teater Lekture, kepada saya.

Para istri atau anak-anak yang duduk manis sebagai penonton bisa saja berganti posisi sebagai pemain kalau memang skenario membutuhkan. Singkatnya, Lekture ini ibarat total football. Semua anggota komunitas bisa berganti posisi kapan saja. Hari ini aktor, bisa jadi di waktu mendatang jadi penulis naskah, pendukung di belakang panggung, mengurus properti, konsumsi, logistik, dan seterusnya.

Teater Lekture ini dibentuk oleh ACHMAD DJAKFAR, seniman sekaligus mantan pejuang angkatan 1945. Kecintaan dan komitmen yan luar biasa pada kesenian, khususnya teater, membuat Djakfar menggagas sekaligus merealisasian komunitas ini.

Almarhum Djakfar tak ingin main teater hanya sambil lalu, tampil di satu acara kemudian bubar. Lekture diarahkan sebagai sebuah keluarga besar, komunitas, dengan ikatan batin yang kuat. Komunitas itu, dalam visi Djakfar, harus diteruskan dari generasi ke generasi.

"Jadi, sekarang ini Teater Lekture sudah masuk generasi ketiga. Saya dan teman-teman ini generasi kedualah," kata Mulyono Muksin, pemain Lekture, yang lebih dikenal sebagai pembina beberapa teater remaja di Sidoarjo. (Hampir semua anggota Lekture, selain aktif di komunitas Lekture, memang membina teater anak muda.)

Menurut Agus, ketua Lekture 1987-2004, mula-mula ACHMAD DJAKFAR menggerakkan komunitas Lekture di Surabaya. Baru pada 1978, ketika HMS Hariono, pindah ke Sidoarjo, dikembangkanlah komunitas Lekture Sidoarjo. Sampai sekarang komunitas ini eksis serta membangun jaringan dengan teater-teater lain di beberapa kota besar di Indonesia.

Karena itu, ada Lekture di Surabaya, Sidoarjo, Malang, Jember, bahkan Kalimantan. "Yang menembangkan Lekture di daerah-daerah itu, mulainya ya dari sini. Setelah bekerja di tempat lain mereka secara spontan membentuk komunitas Lekture di sana," kata Cak Mul, yang memenangi festival upacara adat Jawa Timur 2005 itu.

Bagi orang Sidoarjo 'asli' (artinya, yang sudah tingal di Sidoarjo sebelum tahun 1980), nama Lekture tentu tidak asing lagi. Waktu itu televisi hanya satu, TVRI, dengan jam siaran sangat terbatas. Hiburan belum banyak, sehingga teater (sandiwara) punya daya tarik luar biasa. Nah, Teater Lekture selalu ditunggu-tunggu warga Sidoarjo.

"Kami selalu pentas keliling, ke mana-mana," kata Martono, ketua Teater Lekture sekarang.

Hingga 1980-an akhir, Sidoarjo masih punya beberapa gedung pertunjukan seperti Wisma Delta (utara kantor Golkar) atau Gedung Wanita. Teater Lekture selalu menggunakan Wisma Delta yang bersejarah itu.

"Kalau pentas di Wisma Delta minimal tiga hari. Sebab, penontonnya sangat banyak, gedung nggak muat," kenang Cak Mul.

Tak hanya di Sidoarjo, komunitas Lekture pun 'ditanggap' ke daerah-daerah lain di Jawa Timur, bahkan luar Jawa. Teater benar-benar hidup, dan para pemain beserta keluarganya semakin lama semakin sulit dilepaskan dari Lekture.

Di masa Orde Baru, ketika warga sulit mengkritik pemerintah, teater ibarat katarsis bagi masyarakat untuk mengeluarkan unek-uneknya. Pemain-pemain Teater Lekture pun memanfaatkan kondisi ini untuk menyerang kebobrokan rezim Orde Baru lewat sindiran, celetukan, hingga materi cerita. Penonton ger-geran, merasa unek-uneknya terwakili.

Setelah reformasi, dan rezim otoriter itu tumbang, rakyat Indonesia bebas bicara apa saja. Media massa bebas menulis atau memberitakan apa saja. Pemerintah yang dulu 'haram' dikritik, kini setiap saat bisa disikat oleh rakyatnya sendiri. Orang bebas bicara tanpa takut ditangkap oleh intel atau aparat keamanan.

"Jadi, mengkritik pemerintah lewat teater itu nggak seenak dulu. Zaman Orde Baru yang ditunggu-tunggu warga itu, ya, sindirikan kita ke penguasa," ujar Mulyono Muksin, anggota komunitas Lekture, yang juga dedengkot teater di Sidoarjo.

Menurut Cak Mul, sapaan akrabnya, di seluruh dunia yang namanya teater, apalagi realis, memang seperti itu. Teater menjadi media pelepas kesumpekan warga yang terus ditekan oleh rezim otoriter. Ketika rezim otoriter-diktator ini tumbang, otomatis terjadi perubahan yang drastis di masyarakat.

Tapi bukankah si dalang itu tak akan kehabisan lakon? "Memang, lakon atau cerita tidak akan akan pernah habis. Sebab, teater itu ya ibarat kehidupan kita sendiri. Selama kita masih hidup, teater pun tetap hidup," tambah Cak Mul.

Karena itu, pengurus teater yang berdiri pada 5 Oktober 1955 (bersamaan dengan Hari TNI) ini terus melakukan berbagai penyesuaian. Cerita-cerita realis, mudah ditangkap warga biasa, belakangan diubah menjadi abstrak. Misalnya, naskah ELA-ELO yang sekarang tengah dilatih dua kali sepekan di Dinas Pariwisata. Begitu juga diskusi intensif bersama komunitas teater lain di kota-kota besar untuk mencari format teater yang pas di era reformasi.

Sayangnya, di tengah kerja keras itu--sambil melahirkan generasi baru teaterwan--gedung-gedung pertunjukan di Sidoarjo hilang. Hingga 1980-an, kata Mulyono, ada sedikitnya lima gedung yang bisa dipakai untuk teater atau sandiwara.

Misalnya, di belakang kantor Golkar, eks bioskop di traffic light alun-alun, gedung di Ramayana sekarang, eks gedung wanita. Semua sudah 'eks' karena gedung-gedung kesenian itu telah menjadi pusat bisnis baru. Eks gedung serba guna di traffic light (timur alun-alun) malah mangkrak sampai sekarang.

"Kalau nggak ada gedung, lantas main di mana? Terus terang saja, pembangunan Sidoarjo yang pesat itu ternyata melupakan gedung pertunjukan. Gedung-gedung yang sudah ada dirusak, tapi tidak diganti dengan gedung baru," keluh Cak Mul dan beberapa anggota Teater Lekture.

Teater yang baik, kata Cak Mul, memerlukan gedung yang representatif. Ada tata lampu (lighting), akustik, panggung, tempat duduk penonton yang berbeda dengan ruang resepsi, dan seterusnya. Ini yang hilang menjelang reformasi untuk melengserkan rezim Soeharto.

Saat ini Cak Mul menilai masyarakat terlalu banyak disuguhi hiburan-hiburan instan di televisi, entah sinetron, reality show, lawakan ala AFI, KDI, Indonesian Idol, Empat Mata, dan sebagainya. Kesenian serius macam teater praktis tersisih.
Yang menarik, komunitas Teater Lekture ini sejak 1978 membudayakan arisan keluarga. Tujuannya, kata Agus, mantan ketua Lekture, sederhana saja.

"Kita mau mempertahankan eksistensi komunitas ini. Jadi, ada atau tidak ada pementasan, arisan jalan terus," kata Agus.

Selain arisan, setiap tahun keluarga besar Lekture (istri, anak, cucu) melakukan camping bersama di luar kota. "Hukumnya wajib," kata Cak Mul. Jangan heran, Lekture punya alat-alat camping seperti tenda, kasur lipat, sleeping bag, dan sebagainya.
Posted by Lambertus L. Hurek at 10:44 PM 3 comments Links to this post
Labels: teater-tari
Selayang Pandang - Said Effendi - Lagu Melayu

Lagu : Lily Suhairy
Lirik : Hamiedhan AC
Vokal : Said Effendi
Kunci : F (satu mol)

1. DARI MANA DATANGNYA LINTAH,
DARI SAWAH TURUN KE KALI
DARILAH MANA DATANGNYA CINTA,
DARILAH MATA TURUN KE HATI
LAYANG-LAYANG SELAYANG PANDANG,
HATI DI DALAM RASA BERGONCANG
LAYANG-LAYANG JATUH DI KALI,
SEKALI PANDANG JATUH KE HATI

2. BUAH DUKU BUAH RAMBUTAN,
BELI PETI ISINYA LAKSA
HATIKU RINDU BUKAN BUATAN,
MENGENANG KASIH JAUH DI MATA
LAYANG-LAYANG SELAYANG PANDANG,
HATI DI DALAM RASA BERGONCANG
LAYANG-LAYANG DI POHON DUKUH,
KALAU DIPANDANG MENJADI RINDU

3. PULAU PANDAN JAUH DI TENGAH,
DI BALIK PULAU SI ANGSA DUA
HANCURLAH BADAN DIKANDUNG TANAH,
BUDI YANG BAIK TERKENANG JUA
LAYANG-LAYANG SELAYANG PANDANG,
HATI DI DALAM RASA BERGONCANG
LAYANG-LAYANG DARI CIBINONG,
TERPAUT PANDANG JANGANLAH BINGUNG

4. KALAU ADA SUMUR DI LADANG,
BOLEH KITA MENUMPANG MANDI
KALAULAH ADA UMURKU PANJANG,
BOLEHLAH KITA BERTEMU LAGI
LAYANG-LAYANG SELAYANG PANDANG,
HATI DI DALAM RASA BERGONCANG
LAYANG-LAYANG TANGKAINYA LIDI,
SELAYANG PANDANG SAMPAI DI SINI

[Sumber: Seleksi Album Emas Said Effendi, Gema Nada Pertiwi Records, Jakarta.]


Saya suka betul lagu SELAYANG PANDANG ini. Melodinya, kata orang Tionghoa di Surabaya, ciamik soro. Sangat enak. Karena itu, setiap kali main harmonika, seruling, atau alat musik lain, saya selalu memainkan melodi itu: SELAYANG PANDANG. Saya rasa, orang Indonesia tak asing lagi dengan lagu ciptaan LILY SUHAIRY dan HAMIEDHAN AC tersebut.

Seingat saya, pada 1990-an selalu diperdengarkan di TVRI dalam program TITIAN MUHIBAH SENADA SEIRAMA KERJA sama TVRI dan RTM. Di awal dan akhir acara, para pengisi acara selalu nyanyi ramai-ramai: SELAYANG PANDANG. Saat saya jalan-jalan di Singapura, tepatnya di Pulau Sentosa, melodi lagu ini terus-menerus diperdengarkan. Ia sebagai simbol kehadiran orang-orang Melayu di negara kota itu. Di Kuala Lumpur, boleh dikata, MELODI SELAYANG pandang menjadi menu sehari-hari di sana.

Bertahun-tahun saya mencari kaset atau CD lagu itu di Surabaya. Eh, tidak ketemu. “Wah, itu lagu zaman dulu. Mana ada?” kata pelayan toko kaset terbesar di Kota Surabaya. Teman-teman penyiar radio pun tak bisa bantu. “Rekaman lawas itu Cak. Gak ada lah,” kata seorang teman di radio spesialis tembang kenangan.

Sabtu, 10 Maret 2007, saya jalan-jalan ke Pandaan, Jawa Timur. Saya lihat ada orang menjual kaset-kaset lama. Sebagai kolektor amatiran (hehehe...), saya bolak-balik tumpukan kaset bekas. Eureka! Saya menemukan kaset SELEKSI ALBUM EMAS SAID EFFENDI. Saya cermati baik-baik. Hmmm... isinya 24 lagu, semua berirama melayu klasik. Di sisi A, urutan kedua, tertera lagu SELAYANG PANDANG.

Puji Tuhan! Tanpa banyak menawar, saya membeli kaset langka itu. Lalu, saya putar via walkman kecil yang selalu saya bawa ke mana-mana. Sepanjang hari itu saya manfaatkan untuk mempelajari lagu-lagu melayu yang dibawakan sang maestro, Said Effendi.

Suara Said Effendi sangat laki-laki, kebapaan, pakai cengkok melayu (Malaysia), diiringi orkes melayu bercita rasa 1960-an hingga 1970-an awal. Tentu proses rekaman sudah lama sekali, 1970-an, bahkan 1960-an. Musiknya sederhana, namun justru di situlah kelebihan lagu-lagu lama. Syairnya pakai pola pantun. Ada sampiran, kemudian isi, ada nasihat, petuah-petuah bijak. Pantas saja orang-orang tua senang dengan lagu-lagu melayu ala Said Effendi.

Oh ya, selain SELAYANG PANDANG, di album seleksi Said Effendi ini ada lagu: SEMALAM DI MALAYSIA (Syaiful Bachri), LAMBAIAN BUNGA (Ismail Marzuki), PAK KETIPUNG (NN), HALIMUN MALAM (A Chalik), CITA HAMPA (Ali Sabeni), MUSAFIR KELANA (Husein Bawafie), RAYUAN MAUT (Said Effendi), LIRIKAN MATA (NN), MAINANG PULAU KAMPAI (NN), SENANDUNG ANAK DARA (Ismail Marzuki), KAPARINYO (NN).

Sisi B: YALE-YALE, BIMBANG DAN RAGU (Said Effendi), ANTARA KASIH DAN SAYANG (Chilung), angin menderu (NN), PURA-PURA (Husein Bawafie), CERMIN BUDI (Husein Bawafie), HANYA NYANYIAN (Said Effendi), TAWAF (Said Effendi), BALASAN KASIH (M Mashabi), MUTIARA DARI PULAU PINANG (Zainal Arifin), RIWAYATKU (M Ishak), ANAK KALA (NN).

Mendengar rekaman ini ibarat meniti sejarah dangdut, musik paling populer di Indonesia sampai hari ini. Ada kemiripan dengan dangdut, tapi berbeda. Dangdut yang ada sekarang, menurut saya, sudah berkembang menjadi sangat liar. Penampilan penyanyi-penyanyi dangdut (wanita) sangat tidak sopan. Jogetnya liar dan sensual.

Lain sekali dengan lagu-lagu melayu: anggun, sopan, religius, indah bahasa, adiluhung. Boleh jadi, dangdut yang awalnya menggunakan ‘bahan dasar’ melayu kemudian bercampur India, Arab, etnik... sehingga hasilnya seperti sekarang.
“Dengar lagu-lagu dangdut, lihat penyanyi-penyanyinya di atas panggung... kita jadi malu. Jauh dari keanggunan budaya timur,” kata Abdul Malik Buzaid alias A Malik Bz, salah satu pelopor musik melayu di Indonesia.

Malik bergabung dengan Orkes Melayu SINAR KEMALA pada 1960-a. Orkes pimpinan Abdul Kadir ini merilis puluhan album. Salah satunya Keagungan Tuhan, ciptaan A Malik Bz, yang dipopulerkan oleh Ida Laila.

“Okelah, musik itu berkembang, tapi jangan sampai kebablasan. Kita punya budaya sopan santun, tata krama, ada seni sastra dalam nyanyian. Nggak urakan seperti lagu-lagu dangdut sekarang,” ujar Malik Bz saat saya jumpai di rumahnya, Desa Kureksari, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

“Omong-omong Pak Malik kenal Said Effendi?” tanya saya.

“Oh, kenal sekali. Dia pernah nyanyi di OM Sinar Kemala. Saya ikut mengiringi Said Effendi,” ujar Malik.

Komposer senior ini kemudian mengambil foto kenangan OM Sinar Kemala saat konser di Surabaya pada 1970-an. Said Effendi ada di gambar itu. “Dia itu asli Situbondo,” papar Malik.

Saya terkejut. Selama ini saya mengira Said Effendi asli Malaysia atau setidaknya Sumatera. Gaya menyanyinya ‘melayu banget’, sementara orang Situbondo itu berhasa Madura. Rasanya kok jauh sekali. “Memang banyak orang mengira Said Effendi orang Malaysia. Tapi dia memang orang Situbondo.”

Menurut Malik Bz, sejak 1960-an Said Effendi sudah memperlihatkan bakat sebagai seniman musik jempolan. Tak hanya membawakan lagu-lagu orang lain, Said pun banyak bikin lagu. Ya, lagu-lagu melayu sesuai dengan tren musik waktu itu. Said banyak dipakai orkes-orkes melayu di Jakarta dan Surabaya. Dulu, kata Malik, setiap orkes selain punya pemusik-pemusik tetap juga beberapa penyanyi tetap.

Nah, Said Effendi ini, karena kehebatannya, kerap diundang sebagai bintang tamu di sejumlah orkes melayu. Lepas dari Jawa Timur, khususnya Surabaya, Said Effendi mengembangkan karier musik di Jakarta. Di ibukota ia bertemu dengan pemusik-pemusik top macam Syaiful Bachri, Muchtar Embut, Zainal Arifin, Husein Bawafie, dan nama-nama besar lain.

Maka, nama Said Effendi pun populer hingga ke negara-negara tetangga macam Malaysia, Singapura, Brunei. Apalagi, waktu itu negara-negara serumpun ini punya selera musik yang hampir sama. Yakni, lagu-lagu berpantun ala melayu. Melanglang buana ke negara jiran pun menjadi makanan sehari-hari Said Effendi.

“Jadi, Said Effendi memang sangat dikenal di Malaysia. Sama dengan lagu-lagu OM Sinar Kemala, termasuk Keagungan Tuhan, sangat dikenal di Malaysia, Brunei, Singapura,” jelas Malik Bz, komposer yang memberikan banyak informasi seputar musik melayu kepada saya sejak 2003.

Sayang sekali, jasa besar Said Effendi dalam mengembangkan musik di Tanah Air kurang diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. Tak ada penghargaan apa pun yang diterima almarhum Said Effendi. Padahal, jasanya di bidang musik tak kalah dengan P RAMLEE, seniman musik melayu di Malaysia.

SELAYANG PANDANG
Versi Eddy Silitonga

Lama sudah tidak ke ladang
Tinggi rumput darilah lalang
Lama tak kupandang hati tak senang
Lama tak kupandang hati tak senang

REFREIN
Layang-layang selayang pandang
Hati di dalam rasa bergoncang
Jangan ragu dan jangan bimbang
Ini lagu selayang pandang

Kalau tidak kelapa puan
Tidak puan kelapa bali
Kalau tak puan siapa lagi
Kalau tak puan siapa lagi
Layang-layang.......

Wahai selasih janganlah tinggi
Kalaupun tinggi berdaun jangan
Wahai kekasih janganlah pergi
Kalaupun pergi bertahun jangan
Layang-layang........
Posted by Lambertus L. Hurek at 11:40 AM 14 comments Links to this post
Labels: musik
Rhoma Irama si Raja Dangdut

Oleh : THEODORE KS
Sumber: KOMPAS, 14 Mei 2005


Musik pop dan rock ternyata adalah langkah pertama RHOMA IRAMA sebagai pemusik dan penyanyi. Seperti dikisahkan Benny Mucharam, abang kandungnya, bahwa OMA (sebelum menjadi RHOMA = RADEN HAJI OMA) sempat enggan merekam lagu Melayu yang ditawarkan Dick Tamimi dari perusahaan rekaman Dimita Moulding Company pada tahun 1967.

Meskipun sebelumnya dia sudah sering menyanyi bersama sejumlah orkes Melayu.
Rhoma yang pandai bermain gitar dan bersuara merdu sangat disukai kawan-kawannya jika dia menyanyi di bawah pohon pinggir Jalan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Di samping menjadi penyanyi Orkes Melayu Chandraleka dan Indraprasta, Rhoma juga melantunkan suaranya bersama Band Tornado dan Varia Irama Melody.

Bersama band-band itu dia membawakan lagu-lagu pop Barat dan menyanyi sambil meniru persis suara Paul Anka melalui lagu Diana atau Put Your Head on My Shoulder, Andy Williams (Butterfly, Moon River), serta Tom Jones (Green Green Grass of Home, Delilah).

Rhoma memang sudah bergelut dengan musik pop sejak masih di bangku SMA. Bersama teman-teman sekolahnya dia membentuk Band Gayhand. Musik kelihatannya sudah menjadi pilihannya hingga kuliah di Universitas 17 Agustus tidak diteruskannya. Musik rock n’ roll yang melanda Indonesia waktu itu membuat pemuda kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1947, ini terpesona hingga dalam hatinya dia bertekad, "Elvis bisa menjadi raja dengan gitarnya, saya juga bisa".

Namun, begitu berada di dalam industri musik, Rhoma ikut terbawa arusnya. Dengan meniru cara menyanyi Ida Royani-Benyamin S atau Titiek Shandora dan Muchsin yang sedang populer, Rhoma tidak keberatan diduetkan dengan Inneke Kusumawati oleh Amin Widjaja dari perusahaan rekaman Metropolitan dan Canary Records.

Diiringi BAND ZAENAL COMBO pimpinan Zaenal Arifin, Oma-Inneke direkam dalam sejumlah lagu, seperti Pudjaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu Kupu, Mohon Diri, Mabok Kepajang, Djangan Dekat Dekat, Anaknja Lima, Si Oteh, Lontjeng Berbunji, Melati di Musim Kemarau, dan Tjinta Buta.

Menurut Zakaria, pimpinan Orkes Pancaran Muda yang salah satu lagunya, Anaknja Lima, dibawakan duet ini, munculnya pasangan Oma-Inneke sempat menggoyahkan popularitas Titiek Shandora dan Muchsin. Kebiasaan Rhoma meniru suara sejumlah penyanyi Barat membuatnya dengan mudah meniru gaya menyanyi Muchsin dan Benyamin.

Melihat keberhasilannya berduet dengan Inneke, Zakaria kemudian menyarankan Oma juga berduet dengan Wiwiek Abidin untuk mengikuti lomba menyanyi di Singapura tahun 1971. Oma-Wiwiek berhasil menjadi juara.

Penyanyi-penyanyi duet memang sedang menjadi mode industri musik awal tahun 1970-an. Dalam acara Panggung Gembira Hari Radio Ke-26 di halaman Gedung RRI, Medan Merdeka Barat, 19 Januari 1971, walau termasuk masih baru, duet Oma-Inneke menjadi pusat perhatian di antara penyanyi duet lainnya, seperti Elly Kasim-Tiar Ramon, Vivi Sumanti-Frans Doromez, dan Ida Royani-Benyamin S.

Duet Oma-Inneke juga diiringi Band Galaxy pimpinan Jopie Item dalam rekaman. Dengan pakem musik rock, Jopie mengiringi Oma menyanyi sendirian dengan pekik dan teriakan yang kemudian diteruskan Oma setelah mendirikan Soneta, misalnya, dalam lagu Mari Gembira meniru seruan yang biasa dilakukan penyanyi rock di luar syair lagu, "Ach … uh… wuuuuuaaaaw... mari kawan kita gembira, jangan pikir hati yang duka, yang membawa bencana bila kau pikirkan juga, baik dengarkan aku bernyanyi demi mengobati rasa hati…".

PERGAULAN Rhoma dengan pemusik pop dan rock juga yang mempertemukannya dengan pemimpin band perempuan Beach Girls, VERONICA AGUSTINA TIMBULENG. Duet Rhoma dan Veronica yang dimulai tahun 1972 menghasilkan tiga anak, yaitu DEBBIE VERAMASARI (33), FIKRI ZULFIKAR (29), dan ROMY SYAHRIAL (28).

Arus industri musik juga sempat membawa Rhoma dan Vero bertrio dengan Debbie, mengikuti sukses Chicha dengan lagu Heli dan Yoan dengan Si Kodok pada tahun 1976.
Akan tetapi, setelah memimpin grupnya sendiri, Soneta, Rhoma justru menjadi arus itu sendiri dan menyuntikkan musik rock dalam album dangdutnya yang pertama berjudul BEGADANG, yang berisi lagu-lagu Begadang, Sengaja, Sampai Pagi, Tung Kripit, Cinta Pertama, Kampungan, Ya Le Le, Tak Tega, Sedingin Salju. Akibatnya, Rhoma menyulutkan pro dan kontra. Komunitas dangdut banyak yang keberatan, sementara kalangan pemusik rock menerima dengan sinis.

Ujung-ujungnya diadakan diskusi "Sekitar Musik Hard Rock dan Dangdut" di Gedung Merdeka Bandung akhir Juni 1976 dengan Maman S dari majalah AKTUIL sebagai penyelenggara dan menghadirkan pembicara Dr Sudjoko dari ITB, Remy Sylado, Benny Subarja, dan Denny Sabri sebagai wakil Rhoma Irama yang tidak hadir. Achmad Albar dan Harry Roesli yang diundang juga tidak kelihatan.

Eksperimen Rhoma yang semestinya dijadikan perhatian serius justru menjadi olok-olok hingga timbul ejekan, seperti tahi anjing dan bistik jangan dibandingkan gado-gado.
Grup rock God Bless dan Soneta dipertemukan di Istora, 22 Desember 1977, dengan maksud melihat yang mana lebih hebat, rock atau dangdut. Padahal, sebelum manggung Rhoma melepaskan burung dara putih sebagai tanda perdamaian.

Bercampurnya musik rock dengan berbagai jenis musik sebenarnya hal biasa, sebagaimana terjadi dengan jazz, musik klasik, atau bahkan lagu-lagu rohani Kristiani.

Menurut Krishna Sen dan Davil T Hill dalam bukunya Media, Budaya dan Politik di Indonesia yang terbit tahun 2000, "Sesungguhnya, popularitasnya yang bertahan sebagian disebabkan karena karakter hibridnya (mudah dicangkokkan ke jenis musik apa pun).

Dengan sifat ini dangdut terus-menerus menggabungkan dan melakukan sintesa dengan genre musik lain, termasuk yang mungkin menjadi pesaing di berbagai golongan pasar Indonesia. Banyak bentuk musik populer daerah telah menelurkan berbagai varian dangdut seperti ’dangdut Sunda’ dan ’dangdut Jawa’. Demikian juga genre musik impor. Pada tahun 1980-an ada ’disko dangdut’. Tahun 1996, album Remix Dangdut House Mania sedang ngetop, saat dangdut menyesuaikan diri ke jenis musik internasional yang sedang trendi, yaitu house music".

Sebagaimana diskusinya, pertunjukan di Istora itu juga tidak memberikan solusi yang konkret. Grup musik rock tetap berjalan sebagaimana biasa, sementara Rhoma justru terus berkibar dengan dangdut rocknya yang semakin membumi, album-album rekamannya yang semakin ngerock mengalir tanpa dapat dibendung, bahkan oleh Pemerintah Orde Baru yang dengan alasan politik melarangnya tampil di stasiun televisi satu-satunya, TVRI.

Album rekamannya menjadi arus yang memutar roda industri musik semakin kencang, setelah BEGADANG menjadi sangat populer, menyusul PENASARAN (1976), RUPIAH (1976), DARAH MUDA (1977), MUSIK (1977), 135 JUTA (1978), SANTAI (1979), HAK AZAZI (1980), BEGADANG II (1981), SAHABAT (1982), hingga INDONESIA (1983), yang semuanya diproduksi YUKAWI CORPORATION. Perusahaan rekaman ini kemudian menjadi SONETA RECORDS, milik Rhoma.

Dengan keberhasilan Rhoma itu, tidak salah apa yang dikatakan Marshall McLuhan dalam Understanding Media-Extensions of Man, "The hybrid or the meeting of two media is a moment of truth and revelation from which new form is born". (Hibrida atau pertemuan dua media adalah masa yang menentukan dan menginspirasi lahirnya sebuah bentuk baru).

LANGKAH Rhoma semakin tegap. Film-filmnya OMA IRAMA PENASARAN (1976), GITAR TUA OMA IRAMA (1977), DARAH MUDA (1977), RHOMA IRAMA BERKELANA I (1978), RHOMA IRAMA BERKELANA II (1978), BEGADANG (1978), RAJA DANGDUT (1978), CINTA SEGITIGA (1979), CAMELIA (1979), PERJUANGAN DAN DOA (1980), MELODY CINTA RHOMA IRAMA (1980), BADAI DIAWAL BAHAGIA (1981), SATRIA BERGITAR (1984), CINTA KEMBAR (1984), PENGABDIAN (1985), KEMILAU CINTA DI LANGIT JINGGA (1985), MENGGAPAI MATAHARI I (1986), MENGGAPAI MATAHARI II (1986), NADA-NADA RINDU (1987), BUNGA DESA (1988), JAKASWARA (1990), NADA DAN DAKWAH (1991), serta TAKBIR BIRU (1994) diteruskannya dengan penerbitan soundtrack yang laris manis.

Dalam Darah Muda, Rhoma bahkan menggandeng UCOK HARAHAP, yang bersama grup rock AKA-nya pernah bertarung dengan Soneta di atas panggung. Pertarungan musik rock dan dangdut juga adalah inti cerita film ini.

"Secara terus terang saya mau katakan bahwa Oma Irama adalah seorang seniman musik yang menarik. Coba saja kita perhatikan, bagaimana dia membangun musik dangdut dengan warna lain daripada yang lain. Dia berani melangkah untuk mencari variasi dan pembaruan dalam musiknya," kata Ucok ketika saling membagi nasi tumpeng dengan Rhoma dalam acara selamatan dimulainya produksi film itu akhir November 1977.

Film-filmnya Rhoma tidak salah jika dikatakan sebagai film musik rock bernapas Islam yang pertama di dunia. Terutama Perjuangan dan Doa, yang mengisahkan perjalanan Rhoma dan Orkes Melayu Sonetanya ke berbagai daerah sambil berdakwah. Tujuh lagu yang dalam film ini semakin meyakinkan Rhoma bahwa dengan dangdut-rocknya, dia juga bisa menjalankan misi agama.

Meskipun, lagi-lagi, Rhoma diterpa berbagai komentar yang tidak setuju dengan langkahnya, seperti yang diberitakan harian TERBIT, 16 Juli 1980: "Yang berpendapat misi dakwah melalui musik dan film seperti yang telah ditampilkan H Rhoma Irama sebagai tindakan yang tidak terpuji, karena masyarakat menilai Rhoma lebih condong pada komersialisme disamping penampilan Rhoma tidak ubahnya seperti Elvis Presley, seniman penyanyi barat".

Elvis memang menjadi King of Rock ’n Roll dan Rhoma yang merespons musik rock dengan baik menjadi Raja Dangdut dengan penyanyi-penyanyi dangdut lain sebagai hulubalangnya.

CATATAN SAYA:

*Theodore KS adalah penulis masalah industri musik terbaik di Indonesia.
*Rhoma Irama terus berkarya sampai saat ini. Ia juga tampil rutin dalam acara-acara musik di televisi, selain berdakwah di seluruh Indonesia.
*Yang tak boleh dilupakan, Rhoma selama puluha tahun mengetuai Perhimpinan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI).
Posted by Lambertus L. Hurek at 10:06 AM 0 comments Links to this post
Labels: musik
08 March 2007
Garuda Terbakar.. Jangan Syukuri Musibah

[Bangkai pesawat Garuda GA-200 selepas terbakar di Jogja, 7 Maret 2007. Foto: AFP.]

Garuda.... oh.... Garuda!

Maskapai penerbangan utama (flag carrier) Indonesia ternyata tak sehebat bayangan orang. Rabu, 7 Maret 2007, Boeing 737-400 milik Garuda Indonesia (GA-200, PK-GZC) terbakar di Bandara Adisucipto, Jogja. Asap hitam membubung. Mengerikan!

Sedikitnya 21 penumpang, dari 133 penumpang (plus 7 awak) meninggal dunia. RESQUESCAT IN PACE! Moga-moga arwah korban yang wafat diterima di sisi Tuhan.

Saya termenung saat mendengar kabar dahsyat itu. Saya pernah menjadi wartawan khusus bisnis penerbangan (airline) di harian SUARA INDONESIA (sekarang ganti nama menjadi RADAR SURABAYA). Karena itu, saya cukup tahu seluk-beluk maskapai nasional, strategi bisnis, marketing, kiat promosi, load factor, hingga jaringan kartel lama berbaju INACA. Bagi wartawan bisnis, Garuda Indonesia memang luar biasa... untuk ukuran Indonesia. [Dengan Singapore Airlines, ya, nggak ada apa-apanya!]

Jarang sekali ada pesawat Garuda yang celaka. Garuda itu berbeda dengan low cost carrier atawa LCC yang 'tega' menekan sekian banyak ongkos demi tarif murah. Sejak dulu Garuda kukuh sebagai maskapai premium, elite, dengan standar layanan tinggi. Teman saya bilang Garuda itu high cost carrier.

"Kami tidak akan pernah ikut perang tarif. Keselamatan penumpang di atas segalanya," kata IMAN SUTORO, bekas manajer distrik Garuda di Surabaya, kepada saya.

Dulu, Iman selalu menyediakan kopi panas khas Garuda setiap kali saya wawancara atau sekadar bincang-bincang di kantor cabang Garuda, kompleks Hotel Hyatt Surabaya.

Selama beberapa tahun klaim bahwa Garuda sebagai maskapai paling aman, paling elite... paling segalanya memang betul. Sebab, kecelakaan udara di Tanah Air hampir semuanya menimpa maskapai LCC macam Adam Air, Lion Air, Air Asia, dan sejenisnya.

Maka, begitu pesawat Boeing 737-400 milik Adam Air (KI 574) hilang di perairan Sulawesi Barat, muncul tuduhan bahwa LCC merupakan biang kerok kecelakaan udara. Pesawat tua. Perawatan tidak bagus. Terlalu banyak pemangkasan biaya. Dan seterusnya. Adam Air pun jadi tersangka utama. Pemerintah pun berencana meninjau kembali kebijakan bisnis penerbangan kita.

Tapi, Rabu Pon kemarin (menurut primbon, katanya HARI BAIK) semua teori bahwa LCC rawan celaka akhirnya terpatahkan. Garuda Indonesia yang HIGH COST CARRIER justru terbakar di Jogja. Ada kamerawan profesional yang mengambil gambar sehingga detik-detik hangusnya Garuda Indonesia bisa disaksikan penonton televisi. Sangat gamblang. Lain dengan Adam Air KI 574 yang raib misterius sehingga warga tak sempat 'menikmati' drama kecelakaan.

"Apa saya bilang? Teori bahwa low cost carrier sebagai penyebab kecelakaan pesawat akhirnya terbantahkan dengan peristiwa terbakarnya Garuda Indonesia," ujar AGUNG LAKSONO, ketua Dewan Perwakilan Rakyat, seperti dikutip www.detiknews.com. Agung Laksono bekas komisaris PT Adam Sky Connection Airlines alias Adam Air.

Saya belum sempat bertanya kepada teman-teman pengelola LCC. Tapi, pernyataan Agung Laksono ini setidaknya sudah cukup mewakili suara hati pengelola maskapai bertarif murah. Bahwa kecelakaan pesawat itu tidak pernah disebabkan oleh satu dua faktor, melainkan banyak faktor.

Boleh saja pesawat baru, perawatan bagus, image oke, tapi bagaimana dengan kondisi pilot? Kondisi bandara? Cuaca? Sikap penumpang? Sabotase? Terorisme? Dan seterusnya. Mudah-mudahan Komite Nasional Keselamatan Transportasi segera menemukan penyebab tragedi Garuda di Jogja ini, sekaligus memberikan rekomendasi demi keamanan penumpang trasportasi udara.

Tragedi GA 200 di Jogja sekaligus mengingatkan saya pada pepatah Tiongkok: DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT. Insaflah wahai manusia bahwa sehebat dan secerdas apa pun, manusia sangat daif di mata Tuhan. Tidak ada apa-apanya! Jangan pernah 'mensyukuri' kemalangan orang lain!

Mengutip pepatah lama: sepandai-pandainya tupai melompat, sekali waktu gawal juga! Hari ini Adam Air, besok siapa? Hari ini Garuda, besok siapa lagi?

DAFTAR KECELAKAAN PESAWAT 1995-2007

16 Januari 1995
Boeing 737-300 Sempati Air di Bandung, 0 tewas.
26 September 1997
Airbus A300 Garuda di Deliserdang, 234 tewas.
19 Desember 1997
Boeing 737-300 SilkAir, Palembang, 104 tewas.
14 Januari 2002
Boeing 737-300 Lion Air, Pekanbaru, 0 tewas.
16 Januari 2002
Boeing 737-300 Garuda, Jogja, 1 tewas.
30 November 2004
MD-80, Lion Air, Solo, 25 tewas.
5 September 2005
Boeing 737-200, Mandala, Medan, 146.
1 Januari 2007
Boeing 737-400, Adam Air, Polewali, 102
26 Januari 2007
Boeing 737-300, Adam Air, Surabaya, 0 tewas.
7 Maret 2007
Boeing 737-400, Garuda, Jogja, 21 tewas.
Posted by Lambertus L. Hurek at 7:53 PM 0 comments Links to this post
Labels: sosial politik etc
Sarjana NTT Enggan Pulang Kampung


Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal sebagai salah satu provinsi paling miskin di Indonesia. Saking tertinggalnya, NTT kerap dipelesetkan sebagai NUSA TETAP TERTINGGAL. Teman-teman saya di Kupang bikin pelesetan lain: NASIB TIDAK TENTU. Lalu, bagaimana NTT bisa keluar dari lingkaran kemiskinan?

TINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN. Itulah benang merah sebuah seminar yang digelar di kampus Universitas Dr Soetomo Surabaya, belum lama ini. seminar diikuti sekitar 500 mahasiswa Flobamora (Flores, Sumba, Timor, Alor) di Jawa Timur.

“Jumlah buta aksara di NTT masih 14 persen. Angka ini jelas tidak kecil,” kata HERMAN UMBU, pejabat Dinas Pendidikan NTT. Celakanya, angka buta aksara tertinggi justru di Sumba Timur yang dikenal sebagai kabupaten ‘kaya’. Asal tahu saja, Sumba Timur memiliki petenakan sapi dan kuda terbaik di Indonesia.

ANITA LIE PhD, pakar pendidikan lulusan Amerika Serikat, yang juga anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur, secara halus mengkritik pola pendidikan di Bumi Flobamora. Kurang aplikatif, katanya. Anak-anak sekolah atau mahasiswa kurang dibekali pendidikan ketrampilan untuk berwirausaha.

“Kalau semua jadi pegawai negeri sipil, berapa sih formasi yang tersedia?” ujar dosen Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya ini.

Menurut Anita, menjadi wirausaha di NTT (atau di mana saja) butuh skill, kemampuan membaca peluang, serta keberanian mengambil risiko. Namun, jika ditekuni sungguh-sungguh, sektor swasta alias usaha kecil dan menengah memiliki prospek paling cerah.

“Saya harap kalian, mahasiswa asal NTT yang kuliah di Jawa Timur, berani pulang, memulai membuka usaha di kampung halaman. Pasti ada peluang,” pesan Anita. Teman-teman mahasiswa bertepuk tangan dan tertawa ramai.

Baik Anita Lie maupun pembicara lain sepakat bahwa orang Nusa Tenggara Timur itu tidak bodoh. Banyak yang berotak cemerlang, IQ-nya tidak kalah dengan orang-orang Jawa. Namun, ironisnya, setelah kuliah lama di Jawa, sebagian besar enggan pulang kampung. Mereka memilih bekerja di kota-kota besar Pulau Jawa.

Banyak yang telanjur kecantol gadis Jawa, kemudian menikah, karena prosedur penikahan di Jawa memang sangat sederhana. Bandingkan dengan tata pernikahan di NTT yang rumit, belis mahal, berbelit-belit. Banyak pula sarjana asal NTT yang enggan pulang karena sulit melihat peluang usaha di kampung.

“Tapi itu bukan hanya orang NTT. Anak-anak muda Tiongkok atau India yang dikuliahkan di Amerika Serikat pun lebih banyak yang tidak pulang,” kata Anita Lie lalu tersenyum.

Yang menarik, seminar pendidikan NTT juga dihadiri para mahasiswa asli Jawa, khususnya gadis-gadis manis. Fitri, asal Malang, sangat tekun mengikuti diskusi tentang persoalan di NTT.

“Kamu punya minat sama NTT atau barangkali punya pacar orang Flores?” pancing saya. Fitri tertawa lebar.

“Saya memang ingin lebih mengenal orang NTT. Aku lagi jalan ama cowok Flores. Ceritain dong orang Flores tuh kayak apa sih? Suka mukul gak? Hehehe...,” kata Fitri.

Saya pun tertawa sekaligus geleng-geleng kepala. Memang, di Jawa ini ada image seakan-akan laki-laki Flores (NTT) itu kasar, suka memukul pasangannya, kurang sopan, dan sebagainya.

“Tapi pacarku baik kok. Gak tau kalo dah nikah nanti,” tambah Wiwin, asli Blitar yang pacaran sama mahasiswa asal Flores Timur. Dia juga minta saya cerita sekilas tentang watak orang Flores.

“Hmm.. kamu baca aja blog saya,” ujar saya sembari menulis alamat blog ini (www.hurek.blogspot.com) di buku catatannya. Ternyata, ada enaknya juga punya blog macam ini. Hehehehe....
Posted by Lambertus L. Hurek at 6:15 PM 0 comments Links to this post
Labels: Flores
06 March 2007
Franky Sahilatua dan Industri Musik

PANCASILA RUMAH KITA
RUMAH KITA SELAMANYA
NILAI DASAR INDONESIA
RUMAH KITA BERSAMA

Petikan syair lagu PANCASILA RUMAH KITA menggema di depan Pendapa Kabupaten Jombang, Ahad (4/3/2007) pagi. Dengan hanya berbekal gitar bolong, FRANKY SAHILATUA, penyanyi balada bersuara lembut ini fasih menembangkan lagi ciptaannya.

Sangat menghayati dan mampu menghipnotis ribuan peserta Jalan Sehat Keluarga HUT keenam koran RADAR MOJOKERTO dan Harlah ke-73 Gerakan Pemuda Ansor di Jombang. Franky sengaja menciptakan dan melantunkan lagu-lagu bertema kebangsaan karena desakan nurani.

Dia cemas dengan dominasi cinta di industri musik kita.

"Lagu itu saya ciptakan sekitar tahun 2005, tapi tidak masuk industri. Hanya dipasarkan untuk komunitas tertentu melalui jalur tertentu," ungkapnya.

Kata dia, saat ini industri musik sudah dikuasai oleh lagu-lagu bertema cinta.


Padahal, itu berefek luar biasa bagi pemuda-pemuda karena secara tak langsung mereka terbentuk menjadi generasi lemah tak punya kesadaran berbangsa."

Lagu-lagu cinta yang menggema sekarang ini secara tak langsung mengajak generasi muda Indonesia untuk asing terhadap nilai-nilai kebangsaan. Kita diasingkan dari persoalan kenegaraan.

Franky berkata menjamurnya lagu-lagu cinta berefek luas pada pembentukan mental generasi muda, dan itu sengaja dilakukan oleh pengendali industri musik.

''Produser yang memainkan peranan. Mereka melakukan doktrin dengan mewajibkan penyanyi-penyanyi muda untuk terus terlena dengan lagu-lagu cinta,'' ujar pemusik yang memulai karier di Surabaya ini.

"Bandingkan dengan masa muda Leo Kristi, masa muda Iwan Fals, Ebiet, Harry Roesli, atau saya sendiri," katanya. Generasi yang dia sebut kritis pada perkembangan bangsa. Dinamika bangsa.

Tak heran, lagu-lagu yang ciptakan mereka jauh dari kesan cinta asmara. ''Lagu-lagu dulu, ada kesadaran, ada kemanusiaan, ada kepedulian terhadap lingkungan yang disampaikan, meskipun ada lagu cinta, tidak mengajak pendengar larut dalam euforia cinta.''

Nah, karena gelombang lagu cinta, banyak penyanyi yang tak lagi menghiraukan masalah kebangsaan, kemanusiaan, atau lingkungan.

"Iwan Fals pun takluk. Sebab, dia dikepung penyanyi-penyanyi cinta yang didoktrin pengendali industri musik," urai Franky.

"Bagaimana generasi muda punya sense of crisis jika setiap hari mereka dijauhkan dari persoalan-persoalan itu?"

Franklin Hubert Sahilatua
[Franky Sahilatua]
Kompleks Deplu IV No 41 Bintaro Raya, Jakarta Selatan
Lahir : Surabaya, 16/08/1953
Posted by Lambertus L. Hurek at 11:16 PM 3 comments Links to this post
Labels: musik
Air Terjun Kakekbodo dan Putuktruno

Ahad (2/7/2006), Bupati Pasuruan JUSBAKIR ALDJUFRI meluncurkan slogan wisata baru, PASURUAN CITY OF MOUNTAIN. Pasuruan memang dikaruniai beberapa objek wisata pegunungan yang eksotis. uncurkan slogan wisata baru, PASURUAN CITY OF MOUNTAIN. Pasuruan memang dikaruniai beberapa objek wisata pegunungan yang eksotis.

Oleh Lambertus L. Hurek

OBJEK wisata pegunungan yang diandalkan Pasuruan adalah air terjun. Dari kawasan Candra Wilwatikta, Pandaan, lokasi launching PASURUAN CITY OF MOUNTAIN, kita hanya mendaki beberapa kilometer (kurang dari 10 km) untuk menikmati air terjun alami. Ada dua air terjun di kawasan Prigen, yakni KAKEKBODO dan PUTUKTRUNO.

Pasuruan, dan Jawa Timur umumnya, layaknya bangga dan tak menyia-nyiakan karunia Tuhan yang luar biasa ini. Bagaimana tidak. Di Singapura, misalnya, air terjun alami tidak ada. Karena itu, pemerintahnya harus membuat beberapa air terjun palsu (buatan) sebagai objek wisata. Toh, ribuan orang datang menikmati 'kepalsuan' itu setiap hari di Pulau Sentosa atau kawasan Jurong.

"Di sini dijamin asli. Sejak zaman Belanda, bahkan sebelumnya sudah ada," tutur SURYADI, pemilik warung kecil di depan air terjun Kakekbodo, kepada saya belum lama ini.

Saat berbincang dengan saya, 20-an pengunjung--kebanyakan remaja berpasangan--tengah menikmati gemericik air terjun. Bunyi-bunyian air yang secara kontinu menghantam batu-batuan melahirkan sensasi tersendiri.

Tak jelas sejak kapan objek wisata alam mulai dinikmati orang banyak. Kita hanya bisa meraba-raba dari prasasti di Makam Kakekbodo yang berlokasi sekitar 100 meter dari air terjun. Syahdan, Kakekbodo bekerja sebagai kacung di rumah tangga orang Belanda pada masa penjajahan dulu.

Pria ini saleh, jujur, baik hati. Dia kemudian meninggalkan keluarga Belanda itu untuk menyucikan diri. Bertapa di kawasan hutan lebat yang ada air terjunnya. "Bodoh, sudah enak-enak di rumah kok menyepi ke gunung," begitu kira-kira cibiran si Londo Putih.

Sejak itulah sang kakek, tak jelas nama aslinya, dikenal sebagai Kakekbodo. Sang kakek pun menjadi sakti, sehingga banyak membantu warga di sekitarnya. Dia tutup usia, dan dimakamkan di lokasi pertapaan. Dari kisah ini, Suryadi, yakin air terjun Kakekbodo sudah mulai dikenal pada zaman Belanda, tapi belum menjadi ajang rekreasi seperti sekarang.

"Tahun 1979, waktu saya baru buka warung di sini, hutannya lebat, jalan setapak. Kondisinya masih sangat angker," cerita Suryadi, yang juga dalang wayang kulit jawa timuran.

Karena itu, pengunjung Kakekbodo pun orang-orang khusus. Biasanya, petualang, pencinta alam, pertapa, atau turis asing yang ingin menikmati sensasi alam pegunungan. Bau kemenyam dan dupa sangat terasa.

Pada 1996/1997 kompleks ini dibenahi secara total oleh Perum Perhutani, penguasa kawasan Kakekbodo. Akses jalan diperbaiki. Dibangun arena bermain anak-anak. Toilet. Kolam renang. Tempat pedagang kaki lima. Kemudian bumi perkemahan (camping ground). Akibatnya, kompleks air terjun Kakekbodo pun menjadi tempat rekreasi keluarga yang bisa dinikmati siapa saja.

"Alhamdulillah, selalu ramai, khususnya Sabtu-Minggu dan hari libur. Hari biasa, apalagi Jumat, ya, tidak banyak, tapi selalu ada," tutur Suryadi. Bagi pria kelahiran Prigen 21 September 1957 ini, ramainya pengunjung berarti rezeki yang masuk ke dompetnya pun meningkat.

Apa benar Kakekbodo ini sering dijadikan ajang pacaran? Suryadi mengangguk.

"Anda bisa lihat sendiri. Yang datang Jumat ini kan lebih banyak remaja berpasang-pasangan. Tapi ada juga ayah, ibu, dan anak-anaknya. Saya heran Anda kok nggak bawa cewek," tuturnya lalu tertawa lebar.

Gejolak jiwa remaja yang menggebu-gebu, apalagi dilakukan di hutan sepi, bukan tak mungkin menimbulkan ekses negatif. Pernah terjadi praktik tak senonoh? "Pernah, tapi dulu. Sekarang nggak ada lagi karena pengawasan sangat ketat. Malu kalau sampai berbuat macam-macam di tempat ini," tegas Suryadi.

Di saat pulang, saya berpapasan dengan 50-an pelajar SLTP asal Pasuruan. Mereka berencana menggelar perkemahan di kompleks Kakekbodo.

SULIT BERKEMBANG KARENA CITRA MESUM TRETES

Tak jauh dari kompleks air terjun Kakekbodo, terdapat air terjun PUTUKTRUNO. Beda dengan Kakekbodo yang selalu ramai, Putuktruno tidak pernah ramai kendati akhir pekan atau hari libur. Kendati sama-sama dikelola Perhutani, objek wisata air terjun Putuktruno terkesan lebih 'alami' ketimbang Kakekbodo yang sudah menjadi tempat rekreasi keluarga.

Di Putuktruno tidak ada 'makam keramat', pun tak ada legenda bahwa tempat ini dulunya pernah dipakai sebagai ajang olah spiritual tokoh-tokoh tertentu. Namun, keheningan di Putuktruno membuat suasananya terasa lebih angker ketimbang di Kakekbodo. Apalagi, volume air terjun Putuktruno lebih dahsyat dibandingkan Kakekbodo.

Dari jarak cukup jauh, bunyi air terjun Putuktruno terasa berdebum. Menjangkau lokasi air terjun pun tidak sulit. Selain tidak jauh (sekitar 500 meter), jalan ke sana menurun. Bukan pendakian yang lumayan melelahkan seperti di Kakekbodo. Saat saya melawat ke sana, tampak belasan remaja sedang bersantai. Main-main air.

"Ayo, gaya... satu, dua...," ujar Dewi, gadis Pandaan, saat mengatur dua rekannya foto bersama. Para remaja yang baru lulus SLTP ini sengaja bersantai di kompleks Putuktruno untuk rekreasi selepas mengikuti ujian nasional yang berat.

"Rasanya plong kalau sudah di sini," kata Dewi yang mengaku aktif di organisasi pencinta alam sekolahnya.

Praktis tak ada anak-anak bersama ayah-ibunya datang menikmati keindahan alam siang itu. "Kalau keluarga, biasanya ke Kakekbodo, bukan di Putuktruno. Sebab, kondisi medan di sini agak gawat untuk anak-anak. Terpeleset sedikit bisa bahaya," ujar Choirul, salah satu penjaga objek wisata air terjun Putuktruno, seraya tersenyum.

Menurut Choirul, para remaja dari kawasan Prigen, Pandaan, atau Pasuruan sejak dulu sudah tahu pemali yang harus dijauhi saat berada di kompleks Putuktruno. Boleh saja berpacaran, jalan bersama, diskusi... tapi jangan sekali-kali melakukan hubungan seksual di lokasi ini.

"Kalau sampai melanggar, pelakunya pasti kualat," ujar Choirul, serius.

Beberapa waktu lalu ada remaja yang nekat melakukan hubungan seks dengan sang pacar. Akibatnya, maaf, penis si pria tidak bisa terlepas dari vagina cewek. "Terpaksa dibawa ke puskesmas," tutur Choirul.

Bulan lalu, sebuah hotel bintang lima di dekat kompleks air terjun Putuktruno, Hotel ROYAL SENYIUR, menggelar grand launching. Sewa kamar hotel ini sangat mahal, sehingga hanya bisa dijangkau pengusaha besar atau turis mancanegara. Para penjaga Putuktruno berharap, kehadiran hotel itu bisa menyemarakkan objek wisata Putuktruno yang kalah pamor dari Kakekbodo.

"Terus terang, promosi air terjun di sini sangat kurang. Orang Surabaya dan sekitarnya hanya tahu Kakekbodo. Padahal, di dekat sini ada Putuktruno yang tidak kalah bagus," tambah Choirul.

Choirul dan kawan-kawan berharap, objek wisata air terjun Pasuruan dikemas menjadi paket wisata alam Jawa Timur. Dengan begitu, rombongan wisatawan bisa menikmati beberapa objek wisata sekaligus secara paket. "Kalau hanya mengandalkan pengunjung individu, ya, akan tetap begini-begini saja," tambah Choirul.

Air terjun Putuktruno dan Kakekbodo hanyalah dua dari sekian objek wisata pegunungan Pasuruan, yang menamakan dirinya CITY OF MOUNTAIN. Masih banyak objek wisata alam yang bisa digali oleh pemkab setempat. Celakanya, selama bertahun-tahun Tretes dan sekitarnya dicitrakan sebagai sarang pelacur, penyedia vila-vila murah untuk selingkuh. Ini membuat orang enggan menikmati wisata alam di kawasan Tretes (Prigen) yang sebetulnya sangat indah.

"Sudah sering ada unjuk rasa, razia, tapi hasilnya nggak ada. Sampai sekarang kawasan Tretes masih seperti ini," ujar Bambang, warga Pecalukan, sedih. Ada baiknya Pemkab Pasuruan memberantas pelacuran dan perdagangan perempuan di kawasan Tretes ketimbang menghabiskan banyak uang untuk promosi wisata.

Bagaimana, Pak Bupati?
Posted by Lambertus L. Hurek at 10:18 PM 4 comments Links to this post
Labels: wisata
Timor Leste Jadi Beban NTT

Timor Timur, yang sempat menjadi provinsi ke-27 Indonesia selama 23 tahun, sudah merdeka. Namanya Republik Demokrasi TIMOR LESTE. Ternyata, setelah merdeka, negara yang dipimpin XANANA GUSMAO dan JOSE RAMOS HORTA itu kacau-balau. Miskin. Tambah mundur. Pemerintah Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, harus menerima beban pengungsi dari negara tetangga.

Sebagai tetangga terdekat Timor Leste, Kabupaten Belu dengan ibukota Atambua senantiasa ketiban ‘awu anget’ kemelut di Timor Leste. Pada 1975, ketika perang saudara meletus, ribuan orang Timtim mengungsi ke Belu. Proses integrasi pun terjadi pada 1976.

Eh, pada 9 September 1999 berlangsung jajak pendapat (referendum) atas restu Presiden Bacharuddin Jusuf HABIBIE. Prokemerdekaan menang telak, dan kekacauan ala 1975 berulang. “Kami di Kabupaten Belu untuk kesekian kalinya harus menampung ribuan warga Timtim. Bagaimanapun juga mereka saudara-saudara kita,” ujar Wakil Bupati Belum Gregorius Maubili kepada saya di Surabaya, belum lama ini.

Sebagai pejabat yang terlibat langsung dalam penanganan kasus Timtim pascajajak pendapat, Gorys Maubili tahu persis situasi lapangan. Ia juga disibukkan dengan sejumlah kekisruhan di perbatasan, antara lain kasus penembakan beberapa warga eks pengungsi Timtim, awal Januari 2006.

“Anda tahu, Belu ini kabupaten miskin. PAD kami kecil, sehingga kami banyak mengandalkan bantuan pusat. Jadi, kami yang orang susah harus membantu orang susah,” ungkap Gorys Maubili.

Menurut dia, sekarang tercatat 12.927 keluarga atau sekitar 50 ribu warga eks pengungsi yang tinggal di Kabupaten Belu. Dari angka itu, 9.236 keluarga eks warga Timtim, provinsi ke-27 RI. Sisanya, 3.691 keluarga, warga NTT yang dulu berdomisili dan mencari nafkah di Timtim. Nah, setelah jajak pendapat, kemudian Timtim merdeka, 50 ribu lebih warga ini terpaksa mengungsi ke Belu.

“Sampai sekarang 7.211 keluarga masih tinggal di kamp pengungsian,” tutur Gorys Maubili. Sedangkan 5.000 keluarga yang lain sudah ditempatkan di sejumlah kampung baru, masih di Kabupaten Belu, berbaur dengan warga setempat.

Secara kultur, bahkan agama, memang ada kesamaan. Warga eks pengungsi Timtim ini berbahasa Tetun, mayoritas beragama Katolik. Tak heran, ribuan warga eks Timtim cukup betah tinggal di Belu. Jauh sebelum Portugis datang menjajah Timtim, Pulau Timor sebetulnya merupakan satu kesatuan adat yang dipimpin pengusaha (raja) lokal.

Menurut Gorys Maubili, kasus warga eks Timtim di wilayahnya merupakan masalah nasional, bahkan internasional, sehingga Pemkab Belu tidak bisa menanganinya sendiri. Sejak 1999 sampai sekarang pemerintah pusat tetap membantu menyelesaikan persoalan pengungsi yang sangat pelik ini.

“Tidak gampang karena kasus Timtim ini sangat kompleks,” ujar Gorys Maubili.

Nah, secara umum ada tiga program untuk menuntaskan persoalan eks pengungsi Timtim di Belu. Pertama, repatriasi alias pengembalian warga yang memang mau kembali ke Timor Leste. Program ini sudah berlangsung beberapa tahap. Dan ribuan warga yang tersisa di Belu adalah mereka yang enggan atau waswas pulang ke Timor Leste. Mereka lebih memilih menjadi warga negara Indonesia dengan berbagai pertimbangan.

“Sejak 31 Desember 2001 sudah tidak dikenal istilah pengungsi. Mereka-mereka yang ada di Belu sekarang itu, ya, warga kami. Warga Kabupaten Belu, ya, warga negara Republik Indonesia,” tegas Gorys Maubili. Jika ada warga yang ingin kembali ke Timor Leste, Pemkab Belum akan memfasilitasi.

Program kedua relokasi. Eks pengungsi yang tadinya tinggal di kamp atau lapangan terbuka, kata Gorys, dicarikan lahan baru untuk tempat tinggal dan usaha pertanian. Program ini masih terus berlangsung. Termasuk di dalamnya upaya memindahkan mereka ke luar Belu, bahkan luar Nusatenggara Timur.

Program ketiga, terkait erat dengan relokasi, adalah pemberdayaan. Pemkab memberikan bantuan bahan bangunan untuk mendirikan rumah sederhana di lahan yang sudah disiapkan Pemkab.

Dalam perkembangan, ribuan warga eks Timtim ini ternyata betah tinggal di Belu. Kendati berkali-kali ‘dirayu’ pejabat pusat, lembaga swadaya masyarakat, peninjau asing, agar mereka mau menjadi transmigran di luar Belu atau NTT, mereka menolak.

“Ya, sudah. Kami tentu tidak bisa mengusir mereka dari Belu meskipun kami sendiri sudah susah. Kalau diusir nanti melanggar hak asasi manusia. Bisa jadi sorotan internasional,” kata Gorys Maubili.

Tiga warga eks pengungsi Timor Timur, awal Januari 2006, memancing di Sungai Malibaca. Mereka Stanis Maubere (40), Jose Mausorte (38), dan Candido Mariano (24). Sungai tempat Stanis dan kawan-kawan memancing terletak di perbatasan Indonesia dan Republik Demokrat Timor Leste. Tiba-tiba... dorrr! Tiga pria itu tewas tertembak.


Tak hanya ribuan eks pengungsi di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, yang geger, tapi juga pejabat, anggota parlemen, serta rakyat Indonesia. Inilah insiden paling menggegerkan di perbatasan dalam tahun 2006.

“Yang namanya insiden di perbatasan, ya, sering terjadi. Sebab, warga eks Timtim itu kan tinggal tidak jauh dari Timor Leste,” tutur Wakil Bupati Belu, Gregorius Maubili, kepada saya.

Selain persoalan ribuan pengungsi yang masih tinggal di kamp-kamp, menurut Gorys Maubili, sapaan akrab pejabat yang dipercaya menangani kasus pengungsi Timtim ini, adalah perbatasan negara. Sampai sekarang batas negara Timor Leste dengan Indonesia belum jelas 100 persen. “Ada empat titik yang belum selesai. Dan itu selalu memicu persoalan di antara kedua negara,” kata Gorys Maubili.

Kembali ke insiden penembakan tiga warga eks Timtim (Indonesia) pada 6 Januari 2006. Menurut Gorys, almarhum Stanis, Jose, dan Candido jelas-jelas mencari ikan di sungai yang terletak di wilayah Kabupaten Belu, Republik Indonesia. Dus, tidak ada alasan untuk menyalahkan mereka, apalagi ditembak oleh Polisi Nasional Timor Leste.

“Mereka (Timor Leste) itu keterlaluan. Itu pelanggaran hak asasi manusia kelas berat, sehingga harus diselesaikan secara tuntas,” kata Gorys Maubili dengan nada tinggi.

Tentu saja, negara tetangga, sebagaimana disampaikan Menteri Luar Negeri Timor Leste Ramos Horta, berpendapat lain. Menurut Horta, tiga orang itu selain sudah berada di wilayah negaranya, juga berusaha menyerang polisi mereka. Mana yang benar?

“Memang susah juga karena selama ini batas negara itu sungai. Dan supaya Anda tahu sungai di Belu itu posisinya selalu bergeser, kadang-kadang ke arah Belu, kadang-kadang masuk ke Timor Leste. Bagaimana kita bisa jadikan sungai sebagai patokan?” tandas Gorys.

Karena itu, Pemkab Belu sudah mengusulkan kepada Jakarta agar menggunakan median sungai sebagai patokan batas kedua negara. “Saya rasa, persoalan ini perlu waktu lama untuk mencapai kata sepakat, karena dasarnya sering berbeda. Nggak akan ketemu,” kata pejabat yang bertugas menangani sekitar 50 ribu eks pengungsi Timtim di kabupatennya itu.

Terlepas dari batas negara, yang memisahkan Indonesia dan Timor Leste, sebenarnya hubungan antara warga kedua negara ini sebetulnya tetap terjalin akrab. Transaksi perdagangan berjalan setiap hari, dan itu sangat berarti bagi Timor Leste. Menurut Gorys, berbagai barang kebutuhan pokok, rokok, minuman ringan, snack, dan sebagainya selama enam tahun terakhir dipasok dari perbatasan Kabupaten Belu.

Sebagai negara baru--yang disebut-sebut ‘termiskin di dunia’--Timor Leste praktis tidak punya apa-apa. Pabrik belum ada. Perdagangan belum lancar. Perekonomian masih kacau. Karena itu, warga Timor Leste sangat mengandalkan pasokan barang-barang dari tetangga terdekat di Kabupaten Belu.

Pemerintah Indonesia, khususnya aparat keamanan (TNI/Polri), tak sampai hati menutup perbatasan dari kegiatan perdagangan tak resmi itu. Andai pengetatan dilakukan, pasokan barang ke Timor Leste dihentikan sama sekali, bukan tak mungkin negara baru ini mati suri.

“Apa mau seperti itu? Makanya, kami minta agar pemerintah Timor Leste bersikap arif dan bijaksana. Kasus penembakan tempo hari itu benar-benar melukai hati kami di Belu,” kata Gorys Maubili.

Insiden di perbatasan tak lepas dari dendam lama di antara warga yang dulu tinggal bersama di provinsi ke-27 Indonesia itu. Asal tahu saja, selama bertahun-tahun mereka terpecah dalam faksi pro dan anti-integrasi, pro dan anti-kemerdekaan. Dulu, di masa ‘integrasi’ dengan Indonesia (1976-1999), warga anti-integrasi, khususnya kubu Fretelin, dikejar-kejar, bersembunyi di hutan-hutan. Sejarah kemudian berubah.

Fretelin dkk menang, dan kini membentuk negara Timor Leste. Giliran aktivis pro-Indonesia (integrasi) yang ketar-ketir. Tiga pria yang ditembak awal tahun ini, misalnya, dulu dikenal sebagai pejuang integrasi (alias anti-kemerdekaan).

Dendam, luka lama, sejarah hitam Timor Timur alias Timor Leste ini harus bisa diselesaikan agar ribuan warga yang kini tinggal di Kabupaten Belu mau kembali ke Timor Leste. Uskup Atambua, Mgr. ANTON PAIN RATU, S.V.D. (Societas Verbi Divini), sejak lama menyerukan rekonsiliasi, semangat saling mengampuni, di antara mereka. Tanpa rekonsiliasi, kata Mgr Anton, maka kemelut di perbatasan Indonesia-Timor Leste sulit dihilangkan.

“Presiden Xanana Gusmao harus memberi amnesti massal,” tegas uskup asal Adonara, Flores Timur, itu.

Mgr. Anton Pain Ratu optimistis, jika para pejuang pro-Indonesia itu diberi amnesti, diberi jaminan keamanan untuk pulang, maka mereka mau pulang. Tentu saja, dengan catatan, ada jaminan keamanan serta kehidupan yang lebih baik.
Posted by Lambertus L. Hurek at 10:15 PM 3 comments Links to this post
Labels: Flores
Bandara Juanda Diruwat

Orang Jawa diruwat itu biasa. Tapi bandar udara (airport) diruwat? Saya rasa jarang. Saya beruntung karena bisa menyaksikan secara langsung ruwatan BANDARA JUANDA yang berlokasi di Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.

Menurut kepercayaan tradisional Jawa, ruwatan itu penting untuk menyelesaikan beberapa masalah hidup yang berkaitan dengan ‘kejanggalan’ silsilah. Misal, anak laki-laki tunggal. Diapit perempuan. Diapit laki-laki. Nah, kalau bandara?

“Intinya, kita bikin ritual agar Bandara Juanda ini bisa melayani penerbangan dengan aman dan lancar. Sing penting iku lha aman,” kata KI SARWEDI, dalang asal Balongbendo, Kabupaten Sidoarjo. Dia bersama grup wayang dan karawitannya ditanggap PT Angkasa Pura I untuk ruwatan unik ini.

Gelar wayang kulit mutlak dalam acara ruwatan. Lakonnya juga standar, yakni cerita tentang ‘penjinakkan’ Butho Kala, makhluk antagonis. Power negatif atawa kekuatan jahat dari si Butho ini harus dienyahkan.

"Saya lakukan seperti di ruwatan biasa. Seni tradisi Jawa itu kan luwes. Bisa diterapkan di mana saja di berbagai kesempatan,” kata ki Sarwedi seraya tersenyum.

Malam itu cuaca cerah. Saya melihat peminat wayang kulit cum ruwatan di Bandara Juanda sangat sedikit. Selain rombongan Ki Sarwedi dari Balongbendo dan Krian, hadir sejumlah peminat wayang dari beberapa kampung di sekitar bandara. Tapi, karena lokasi bandara terlalu jauh dari kampung (1-2 km), maka yang datang hanya beberapa gelintir manusia.

“Gak opo-opo Mas. Sing penting ritual kita diterima Gusti Allah. Kita tidak mau ada pesawat yang tidak selamat di Bandara Juanda. Kalau aman semua kan enak to,” papar Ki Sarwedi.

Saya mengikuti gelar wayang kulit ini dengan takjub. Pak dalang sangat lincah memainkan wayangnya, berdialog dengan sinden, menghidupkan cerita, bercanda, nyentil sana sini. Penonton tertawa lepas.

Lalu, pelawak Gogon dan Agus Kurpit dari Surabaya diberi kesempatan untuk melawak. Ah, lucu juga. Lebih lucu ketimbang lawakan-lawakan di televisi.

Makin malam penonton makin berkurang... mundur satu per satu. Hal biasa di gelar seni tradisional. Toh, Ki Sarwedi tetap semangat menampilkan cerita-cerita seputar kemenangan ‘si baik’ atas ‘si jahat’.

Moga-moga, seperti harapan ki dalang, Bandara Juanda yang terminal barunya diresmikan pada 15 November 2006 itu dijauhi dari segala malapetaka. Kita sudah terlalu capek, jenuh, dengan musibah kecelakaan transportasi udara, laut, darat yang datang susul-menyusul di Tanah Air.
Tancap kayon!


BANDARA INTERNASIONAL JUANDA

BEROPERASI: 1967, DIRESMIKAN PRESIDEN SOEKARNO
TERMINAL BARU: 15 NOVEMBER 2006 (DIRESMIKAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO)
LANDASAN PACU: 45 X 3.000 METER
TERMINAL DOMESTIK: 51.500 METER PERSEGI
TERMINAL INTERNASIONAL: 20.000 METER PERSEGI
KAPASITAS APRON: 18 PESAWAT
LUAS APRON: 148.000 METER PERSEGI
RUANG TUNGGU: 11 BUAH (7 DOMESTIK, 4 INTERNASIONAL)
GARBARATA (BELALAI GAJAH): 11 BUAH
LAHAN PARKIR: 53.600 METER PERSEGI, KAPASITAS 2.000 KENDARAAN.
KAPASITAS KARGO: 120.000 PER TAHUN

SUMBER: PT ANGKASA PURA I BANDARA JUANDA SURABAYA
Posted by Lambertus L. Hurek at 10:15 PM 0 comments Links to this post
Labels: seni tradisi
A Rafiq Reuni OM Sinar Kemala


Oleh Lambertus L. Hurek

A RAFIQ, siapa tak kenal? Dia bukan sekadar penyanyi dangdut, tapi juga pencipta tren. Gaya celana, cara joget, cara nyanyinya... ditiru banyak penyanyi muda.

“Kamu tahu nggak celana A Rafiq? Hehehe,” ujar A Rafiq kepada saya di Sidoarjo, belum lama ini.

“Tahu nggak karakter suara saya?” tanya A Rafiq kepada saya. “Nggak ada yang bisa lawan. Penyanyi lain kalau duet dengan saya pasti kewalahan karena tone saya tinggi. Makanya, kalau ada yang duet sama saya biasanya nada dasar dia diturunkan biar bisa ngangkat,” kata A Rafiq panjang lebar.

Gaya bicara penyanyi senior ini memang khas: blak-blakan, agak ‘sombong’, tak segan-segan mengkritik penyanyi lain yang dinilai kurang paham musik. “Di Indonesia ini banyak penyanyi mau meniru gaya saya tapi nggak sanggup. Yang namanya A rafiq itu, ya, hanya satu. Hehehehe....”

Suasana di rumah A Malik Bz, dedengkot musik melayu, pencipta lagu Keagungan Tuhan, di kawasan Kureksari, Waru, Sidoarjo, ini pun riuh. A Rafiq suka bicara, kelakar, menambah sedap pembicaraan. Saya pun menyeruput kopi panas yang telah disiapkan Ny Malik Bz sejak 30 menit lalu.

“Minum dulu, jangan wawancara terus. A Rafiq itu kalau sudah bicara sulit berhenti,” tukas Malik Bz. A Rafiq dan istri pun tertawa lebar mendengar komentar sahabat lamanya itu.

Begitulah. Hari itu Malik Bz dan A Rafiq mengenang kejayaan Orkes Melayu (OM) Sinar Kemala yang legendaris itu. Kebetulan A Rafiq (muda) tercatat sebagai salah satu vokalis OM Sinar Kemala. Malik Bz pemain akordeon dan beberapa instrumen lain.

Usai mengenang masa-masa jaya OM Sinar Kumala, A Rafiq bersenandung membawakan lagu-lagu mereka yang pernah hits. Tak mau kalah dengan A Rafiq, Malik Bz dengan vokalnya yang ngebas mengingatkan beberapa lagu ciptaannya yang pernah ngetop pada tahun 1970-an.

“Kalau begini terus, lama-lama saya nggak bisa pulang ke Jakarta. Padahal, siang ini saya harus ke Jakarta karena banyak acara,” ujar A Rafiq dengan tawa khasnya. “Beginilah kalau bertahun-tahun nggak pernah ketemu,” ujar A Rafiq kepada saya.

Setelah itu, obrolan ringan dan nostalgia beralih ke diskusi serius. A Rafiq meyakinkan Malik Bz bahwa OM Sinar Kumala perlu dihidupkan lagi. Bukan sekadar bernostalgia, tapi untuk menunjukkan ‘ruh’ musik Melayu yang sebenarnya kepada masyarakat. Paling tidak, generasi baru musik Melayu, seperti vokalis-vokalis KDI, punya referensi tentang keindahan musik Melayu.

“Ana serius nih. Jangan khawatir, ana siap jadi penyanyi. Ana tidak pusing dengan bayaran, mau kecil atai besar, sama saja. Kalau sama OM Sinar Kumala, ana siap kapan saja,” kata A Rafiq.

“Persoalannya tidak sederhana,” potong Malik Bz. Selain sudah banyak personel OM Sinar Kumala yang wafat, masalah hak cipta, ahli waris, dan aspek-aspek hukum perlu dipikirkan. Sebab, setelah OM Sinar Kemala (pimpinan A Kadir) bubar, komunikasi di antara personel, termasuk ahli warisnya, tidak mulus. Malik Bz sendiri mengaku pernah punya pikiran seperti A Rafiq.

“Tapi ketika mau melangkah ada saja masalah. Daripada kita rekaman terus muncul gugatan-gugatan, ya, buat apa?” tandas Malik Bz.

“Okelah, kita bisa cari jalan keluar. Yang penting, ruh Sinar Kemala muncul lagi ke permukaan. Ana yang nyanyi meskipun kita tidak pakai nama Sinar Kemala,” ujar A Rafiq, penuh semangat.

Yang jelas, Malik Bz tidak seantusias A Rafiq. Sebagai seniman kawakan, Malik lebih senang menciptakan lagu-lagu baru ketimbang hanya sekadar mendaur ulang hits lama. Bukankah konsumen musik sudah berubah? Kenapa harus bernostalgia terus-menerus? Bagi Malik, sebuah karya seni yang dibuat berdasar ilham pasti akan dikenang oleh masyarakat meskipun si pencipta lagu atau grup musiknya sudah tak ada lagi di dunia.

"Kami belum sepakat soal rekaman Sinar Kemala. Masalahnya cukup rumit sehingga perlu dipertimbangkan dulu lebih panjang,” ujar Malik.

Yang jelas, reuni dadakan di Kureksari ini berlangsung hangat, diiringi rekaman terbaru A Rafiq (belum dirilis). Ketika saya memberi tahu bahwa belum lama ini Malik Bz mendapat penghargaan seni dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, A Rafiq langsung menjabat tangan dan merangkul sahabat karibnya itu.

“Yah, saya dan Bubi Chen yang dapat di Jawa Timur,” ujar Malik.

A Rafiq menimpali, “Alhamdulillah, Pak Malik ini memang sangat pantas mendapatkan penghargaan itu. Beliau itu seniman sejati, guru saya, yang membuat saya bisa seperti sekarang. Saya ikut bahagia karena beliau menerima penghargaan dari pemerintah daerah Jawa Timur. Ini luar biasa.”

Waktu beranjak siang. Khawatir rombongan bonek Persebaya memacetkan lalu lintas, A Rafiq, istri, serta rombongan khusus dari Jakarta pamit menuju Bandara Juanda. Katanya, reuni para pelopor musik Melayu di Indonesia akan berlanjut di masa-masa yang akan datang.
Posted by Lambertus L. Hurek at 10:12 PM 2 comments Links to this post
Labels: musik
05 March 2007
Koran Flores Pos


Oleh Andreas Harsono
Sumber: www.andreasharsono.blogspot.com

Lagi asyik-asyiknya menyunting laporan trend politik Pulau Flores, sembari menunggu seorang reporter mengetik kasus pemerkosaan di stadio Marilonga, tiba-tiba eh ... listrik mati. Semua jaringan komputer mati. Padahal jaringan ini bekerja tanpa sistem pengaman listrik mati. Maka semua data hilang.

Saya nyaris mengeluarkan koleksi kebun binatang saya, plus nama seluruh pembunuh massal, kalau tak ingat, bahwa mereka yang kerja di ruangan ini, ruang redaksi harian Flores Pos, hanya teriak, "Wah wah ....."

Santun sekali. Sekitar 15 orang, yang kerja di ruang redaksi, keluar satu per satu, menuju pelataran depan kantor, merokok dalam kegelapan, makan pisang molen, dan sedikit memaki. Frans Obon, redaktur pelaksana, bilang, "Ya begini ini Mas, koran kota kecil."

Terkadang listrik mati dari pukul 17:30 sampai 22:00. Artinya, kami mulai bekerja lagi pukul 22:00 dan selesai pukul 3:00 dini hari. Koran sering belum muncul hingga pukul 7:00 dari percetakan. Pelanggan Ende pun mulai menelepon, marah-marah, sekretaris redaksi bolak-balik minta maaf. Ada juga pelanggan mengancam berhenti langganan.

Pukul 10:00 telepon keluhan masuk dari Bajawa. Sambung-menyambung sampai Labuhan Bajo.

Inilah salah satu pengalaman membantu harian Flores Pos. Ada selusin wartawan, selusin komputer tua, tanpa satu pun kamera, sambungan internet jalan kayak siput (maaf ya siput). Para koresponden, dari Maumere, Larantuka, Ruteng, dan sebagainya, mengirim berita dengan tulisan tangan dan mesin fax.

“Listrik padam, komputer onar, Telkom tidak punya internet,” kata koresponden Maxi Gantung dari Lewoleba.

Saya seakan-akan kembali ke masa silam, 20 tahun lalu, ketika mesin fax baru muncul. Ada rasa aneh. Kok wartawan mengirim berita dengan tangan? Kok pakai mesin fax?

Dulu saya pernah bekerja di harian The Star di Kuala Lumpur, dimana satu hari sirkulasinya sekitar 300,000. Semua serba otomatis. Semua reporter bawa laptop, handphone, internet, foto satelit dan bekerja dari ujung-ujung dunia … London, New York, Beijing, Hongkong, Singapore, Jakarta dan sebagainya. Sirkulasi harian The Star sekitar 100 kali lipat dari Flores Pos. Gedungnya lebih dari 17 tingkat dan percetakannya ada di beberapa kota.

Hitam putih. Di Flores Pos, kami mengetik ulang semua berita. Terkadang mutu fax buruk sehingga ada kalimat-kalimat tak terbaca. Saya harus berjuang keras untuk tak mengkhayal agar ada kutipan yang sexy.

Harap maklum. Setiap sore, para redaktur Flores Pos mengeluh soal berita “elitis” –berita yang intinya cuma mengutip pejabat, namun tak memberi ruang buat orang kebanyakan. Padahal warga kebanyakan Flores, Adonara, Solor atau Lembata, yang justru jadi tumpuan perjuangan Flores Pos.

Kami ingin petani, pedagang, mahasiswa, pemuda dan orang biasa, bicara lebih banyak di halaman-halaman Flores Pos. Para pejabat kalau bicara juga banyak slogan, tak menarik, kering, atau meminjam istilah anak ABG Jakarta: OM-DO alias “omong doang.”

Saya bekerja untuk Flores Pos melalui kerja sama dengan Yayasan Pantau, sebuah organisasi nirlaba di Jakarta, yang bergerak di bidang pelatihan wartawan serta riset media. Swisscontact, sebuah organisasi dari Swiss, dengan kantor cabang Ende, membiayai kerja sama ini senilai Rp 150 juta setahun. Pantau mengirim dua konsultan pemasaran, empat konsultan editorial dan dua disainer. Harapannya, Flores Pos bisa tampil sebagai suratkabar yang lebih baik, dari segi editorial, bisnis maupun disain.

Swisscontact ingin membantu Flores Pos memberikan informasi yang lebih bermutu kepada warga Flores.

Pekerjaan saya membuat "evaluasi harian" terhadap Flores Pos. Isinya, mulai dari bahasa yang birokratis ("kelaparan" disebut "rawan pangan" sedang "kemiskinan" disebut "ketertinggalan") hingga etika wartawan.

Saya usul Flores Pos membuat kriteria pemakaian referensi kedua. Misalnya, Frans Seda, referensi keduanya adalah “Seda” –bukannya “Frans.” Di Pulau Flores ada tradisi penggunaan nama keluarga. Maka saya usul Flores Pos menghormati tradisi ini. Nama depan, tentu saja, bisa memang biasa dipakai sebagai panggilan sehari-hari.

Usulan lain, Flores Pos tak memakai inisial dalam pemberitaan kasus kriminal namun meninggikan mutu wartawannya dalam bidang praduga tak bersalah. Inisial terbukti tak membuat masyarakat tak menduga-duga, dan seringkali tepat, siapa pemilik inisial.

Misalnya, pada kasus YZ dan ME, orang mudah menemukan bahwa Yahya Zaini adalah anggota DPR dari Partai Golkar, yang terlibat video mesra dengan penyanyi dangdut Maria Eva. Atau pada kasus di Maumere, EPdG mudah ditebak adalah Eugene Paceli da Gomez, yang diduga ikut judi kecil-kecilan.

Kalau kita hendak benar-benar menyembunyikan identitas tersangka kejahatan, cara terbaik adalah tak menyebut inisial. Sebut saja seorang “politikus” baik pada kasus Zaini maupun da Gomez. Bukannya, “anggota DPR” atau “wakil ketua DPRD Sikka.”

Di Jakarta, memang berlaku kode etik jurnalisme formal, dimana nama lengkap seorang tersangka baru diungkap penuh bila hakim sudah bikin vonis. Kode etik ini terbukti tak ditaati media Jakarta. Proses peradilan kita sangat berbelit-belit dengan prosedur panjang. Lantas siapa pun tahu bahwa peradilan Indonesia, karena prosedurnya yang sulit, lebih menguntungkan orang yang punya uang buat bayar pengacara. Orang yang tak punya uang umumya dirugikan pengadilan. Jadi, mengapa kita harus mendasarkan pemakaian nama atau inisial kepada proses peradilan macam begini?

Frans Anggal, pemimpin redaksi Flores Pos, minta saya juga membantu penyuntingan feature serta melatih para koresponden selama dua hari. Pantau juga membantu Anggal agar bisa lolos seleksi pelatihan pemimpin media di Melbourne tahun depan. Stef Tupeng Witin bulan depan ikut kursus penulisan di Jakarta. Harapannya, wartawan-wartawan lain juga ikutan.

Manajemen Flores Pos sendiri bicara soal ingin bikin naik sirkulasi harian dari 4,000 hingga 7,000 eksemplar setahun lagi. Direktur Keuangan PT Arnoldus Nusa Indah Wilfrid Kromen, yang menangani keuangan Flores Pos, bicara soal kemungkinan cari mesin cetak bekas untuk ditempatkan di Pulau Lembata dan Ruteng. Ini bukan kerja gampang. Harga satu mesin kira-kira Rp 2 milyar.

Flores Pos penting karena ia harian independen. Ia bukan milik konglomerat media di Jawa. Media di Indonesia kebanyakan pemiliknya orang Jakarta. Lebih dari 90 persen isi berita mereka, dari Sabang sampai Merauke, ditentukan oleh media yang siaran atau terbitannya, dimiliki orang Jakarta.

Entah itu Kelompok Kompas Gramedia. Entah itu kelompok Tempo Jawa Pos. Entah itu milik Media Nusantara Citra. Indosiar, SCTV, Trans TV, Metro TV dan kelompok Femina.
Gramedia memiliki lebih dari 30 harian di seluruh Indonesia.

Kelompok Tempo Jawa Pos punya lebih dari 140 suratkabar. MNC menguasai RCTI, TPI, Global TV maupun jaringan radio Trijaya dan koran Seputar Indonesia. Harian Serambi Indonesia di Aceh misalnya, bukan milik orang Aceh, namun milik Gramedia. Sama dengan Pos Kupang. Tempo Jawa Pos mengembangkan jaringan radar-radar, dari Radar Jember hingga Radar Lampung.

Semua terpusat dari Jakarta. Standar kerja sama. Manajemen sama. Penilaian kerja sama. Cara mencari wartawan sama. Mutu kerja sama. Sama buruk, sama baik. Mereka berlomba-lomba menguasai pasar sembari menekan biaya. Wartawan ditekan gajinya agar mereka bisa menguasai pasar lebih banyak.

Harian Flores Pos lain. Harian ini hanya terbit 16 halaman tapi mengisinya dengan 80 persen berita lokal. Ia punya enam biro, masing-masing dua reporter. Total ada 16 wartawan. Ini usaha luar biasa (walau ia masih curi-curi “berita nasional” dari internet).

Di Indonesia, bisa dihitung dua tangan, harian lokal tapi milik Jakarta, yang mengisi beritanya macam Flores Pos. Kebanyakan hanya ambil bahan berita dari induk mereka di Jakarta atau Surabaya, lalu membayar empat atau lima wartawan, guna mengisi halaman lokal. Disain pun sama, dari Jawa Pos di Surabaya hingga Cenderawasih Pos di Jayapura. Bayangkan isi Flores Pos kalau jumlah reporter dan redakturnya cuma lima orang?

Kerja di Ende ini melelahkan. Setiap tengah malam, badan saya capek, masuk kamar kost untuk tidur. AC mati dan tukang AC, kerjanya minta ampun lambat. Kamar pengap. Namun setiap pagi pula, saya hendak cepat-cepat bangun, melihat koran hari ini, melihat disainnya, melihat mutu cetakan dan menunggu hasil penjualan. Ada seorang penjual koran yang suka cerita berapa koran dijualnya hari ini?

Ada gairah. Ada pengorbanan. Belum lagi melihat Frans Anggal, Hieronimus Bokilia, Inno Making dan lain-lain, yang juga sudah muncul di kantor, pagi-pagi sekali. PT Arnoldus Nusa Indah masih rugi. Tapi saya percaya, Flores Pos mencoba melakukan yang terbaik, melayani warga Flores, dengan segala keterbatasannya. Anggal pulang malam ketika anak-anaknya sudah tidur.

Air ledeng sempat tiga hari mati. Saya berhemat air, cukup hanya untuk buang air, kecil dan besar. Mandi di Pantai Ria. Makan dan minum juga harus hati-hati kalau tak mau sakit perut. Ada wabah diare. Tapi dari Jl. El Tari inilah, saya belajar makin menghargai kerja keras wartawan-wartawan kota kecil.

Jurnalisme justru menunjukkan mutu dan pengabdiannya ketika ia bergerak lurus dengan segala keterbatasan dan kesulitannya. Ini sebuah keanggunan.

[Andreas Harsono direktur Yayasan Pantau, organisasi media Jakarta, yang kini membantu manajemen Flores Pos, bekerja sama dengan Swisscontact, di bidang editorial, pemasaran dan disain.]
Posted by Lambertus L. Hurek at 12:50 PM 4 comments Links to this post
Labels: Flores, jurnalisme
04 March 2007
Candi Tawangalun di Sidoarjo

CANDI TAWANGALUN, SEBUAH PENINGGALAN SEJARAH YANG SANGAT BERNILAI, BERLOKASI DI DESA BUNCITAN, KECAMATAN SEDATI. CANDI INI PALING TIDAK TERAWAT DIBANDINGKAN CANDI-CANDI LAIN DI KABUPATEN SIDOARJO.

Untung saja, di depan onggokan batu bata merah itu ada papan nama bertuliskan CANDI TAWANGALUN dalam huruf kapital. Kalau tidak, barangkali tak ada pengunjung yang tahu bahwa bangunan yang berantakan itu candi bersejarah. Benar-benar tak ada sosok candi yang tersisa dari Candi Tawangalun.

Kondisi ini, tentu saja, sangat berbeda dengan Candi Pari atau Candi Sumur di Kecamatan Porong. Bangunannya masih cukup meyakinkan, masih terlihat sosok aslinya, sebagai candi. "Kalau dibilang berantakan, ya, memang begitulah. Soalnya, nggak jelas kapan direnovasi," tutur Ahmad Syaiful Munir, juru kunci Candi Tawangalun, kepada saya di situs Candi Tawangalun, Desa Buncitan, Kecamatan Sedati, kemarin.

Pria kelahiran 5 Januari 1971 ini empat tahun lalu dipercaya sebagai penjaga alias juru kunci. Sejak itulah, Syaiful berusaha memperhatikan situs budaya yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya. Buku tamu ia siapkan untuk mendata pengunjung. Ia juga siap dengan sejarah singkat Candi Tawangalun yang ia hafal di luar kepala.

"Anda ini wartawan pertama yang datang ke Candi Tawangalun," ujarnya menyambut saya.
Sama dengan candi-candi lain di Sidoarjo, Candi Tawangalun pun merupakan warisan Majapahit. Model batu bata merah, konstruksi bangunan, lokasi... semuanya khas Majapahit. Entah mengutip dari sumber mana, Syaiful Munir menyebutkan, Candi Tawangalun didirikan pada 1292 pada masa Raja Brawijaya II (Resi Tawangalun). Sang raja punya selir bernama Putri Alun.

Nah, menurut Syaiful, Candi Tawangalun ini sengaja dibangun sebagai persembahan dan tanda cinta kasih kepada sang selir. Luar biasa! "Zaman sekarang mana ada cowok yang mau buat candi atau rumah untuk ceweknya? Makanya, cinta anak-anak zaman sekarang tidak ada yang abadi. Cintanya instan dan langsung hilang," komentar Syaiful, yang memang seniman dan suka humor itu.

Syaiful juga meyakinkan, Candi Tawangalun ini dibangun dengan penuh pengabdian dan cinta oleh warga atas perintah Raja. Bahan bangunan dicari yang terbaik, penggarapannya pun sungguh-sungguh. Mereka, kata Syaiful, juga tidak mengharapkan upah atau imbalan.

"Lain dengan orang sekarang. Kalau mau buat apa-apa minta uang dulu. Garapannya bagus atau tidak, nggak ngurus. Saya banyak belajar dari sejarah orang-orang zaman dulu, Mas," ujar sang juru kunci yang baru saja menyelesaikan lukisan potret wanita asal Tapanuli, Sumatera Utara.

Meski dipersembahkan untuk Putri Alun, tutur Syaiful, Candi Tawangalun sejak dulu dianggap sebagai monumen milik warga asli Buncitan. Mereka percaya bahwa cikal-bakal dusun di tengah tambak itu tak lain didirikan oleh Putri Alun. Karena itu, setiap 1 Syuro warga ramai-ramai melakukan bancakan di kompleks Candi Tawangalun. "Tanggal 1 Syuro sekarang juga ada bancakan. Pokoknya, sudah jadi tradisi setiap tahun," tukasnya.

Penduduk asli Buncitan, kini, tinggal 30 persen; sisanya pendatang baru. Toh, acara bancakan dan persembahan kepada pendiri Desa Buncitan tidak pernah hilang. Bahkan, warga pendatang yang 70 persen ini pun tak ketinggalan dalam bancakan 1 Syuro di Candi Tawangalun. "Siapa sih yang nggak senang diajak makan enak?" ujar Syaiful seraya tertawa kecil.

Bancakan dan ritual-ritual tradisi, lanjut dia, sangat penting karena Candi Tawangalun ternyata punya nilai mistik tersendiri. Kata orang-orang 'pintar', candi sederhana yang terkesan berantakan itu sangat sakral dan cocok untuk meditasi, semedhi, atau bertapa. Banyak kejadian menarik yang pernah disaksikan warga Buncitan, termasuk Syaiful ketika masih anak-anak.

Suatu hari ada seorang bapak mengambil beberapa batu bata dari Candi Tawangalun untuk dipasang di rumahnya. Dia tidak tahu kalau batu candi tidak boleh diganggu gugat karena dilindungi Undang-Undang Cagar Budaya serta punya nilai mistik yang luar biasa. Bapak itu nekat saja. Batu candi dipasang di rumahnya. Apa yang terjadi?

"Malam hari dia melihat orang datang menggebuk dia. Badannya sakit nggak karuan. Akhirnya, batu yang sudah ditembok itu dibongkar, dikembalikan ke kompleks candi," tutur Syaiful. Bukan itu saja. Beberapa waktu kemudian, si bapak meninggal dunia.

TEMPAT TIRAKATAN

Candi Tawangalun di Desa Buncitan, Kecamatan Sedati, memang kalah populer dengan Candi Pari atau Candi Sumur di Porong. Tapi, bagi pemburu nomor togel, kompleks candi ini merupakan tempat favorit bagi mereka.

Dua orang buta, tujuannya mencari rezeki!

Begitu tulisan Ahmad Syaiful Munir, penjaga alias juru kunci Candi Tawangalun di buku tamunya. Di lembaran buku tamu yang lain tertulis nama-nama anak sekolah, biasanya SLTA, yang mendapat tugas dari gurunya untuk menengok situs sejarah di Kabupaten Sidoarjo.

Tapi, daftar tamu terbanyak tetaplah para 'pemburu rezeki', bahasa halus untuk pencari nomor togel (toto gelap). "Saya akui, sebagian besar pengunjung memang datang untuk cari nomor togel. Istilahnya, grandong. Kalau wartawan, ya, baru Anda," ujar Ahmad Syaiful Munir, juru kunci Candi Tawangalun, kepada saya.

Para pemburu nomor togel itu, menurut Syaiful, tak hanya orang buta, tapi berbagai kalangan. Ada yang datang sendiri, ada yang dua orang, tiga orang, lima orang, bahkan rombongan besar. Di malam yang dingin dan gelap--maklum, kompleks Candi Tawangalun tidak ada penerangan dan bergandengan dengan makam Desa Kalianyar--para pemburu nomor itu bertapa. Meditasi. Duduk berjam-jam sampai datang bisikan dari 'dunia lain' untuk menembak angka-angka tertentu.

Yang sudah tirakatan pulang, datang lagi grandong-grandong lain. Tujuannya, ya, sama saja. "Ada juga yang datang untuk meditasi biasa, tapi tetap lebih banyak grandongnya. Sebgai tuan rumah, silakan saja mereka tirakatan di Candi Tawangalun. Dan itu tidak boleh dilarang," ujar pria kelahiran Buncitan, 5 Januari 1971 ini.

Adakah nomor hasil tirakatan di Candi Tawangalun jitu? Syaiful tertawa kecil. Katanya, jitu atau tidak bukan urusan dia sebagai juru kunci. Hanya saja, banyak yang yakin bahwa kompleks candi yang didirikan pada 1292 itu tetap memiliki daya tarik dari segi spiritualitas. Sebab, bagaimanapun juga bangunan sederhana dari batu bata merah itu memang diniatkan untuk olah batin.

"Yang jelas, kalau mereka dapat nomor, saya nggak pernah kebagian. Rezekinya mereka yang grandong-grandong itu," tukas pelukis potret pesanan itu.

Apa pun kata orang, tamu-tamu pencari nomor togel ini membuat suasana di Candi Tawangalun selalu 'hidup' pada malam hari. Setidaknya masih banyak orang, meski kalangan terbatas, mengetahui keberadaan Candi Tawangalun di Desa Buncitan. "Kalau pelajar dan mahasiswa hanya sekali-sekali saja. Yang rutin tetap mereka yang mencari rezeki," kata Syaiful seraya tersenyum.

Setelah diangkat menjadi juri kunci, empat tahun lalu, Syaiful mengaku sering meminta Dinas Purbakala di Mojokerto untuk merenovasi bangunan Candi Tawangalun. (Candi-candi di Kabupaten Sidoarjo memang dikelola langsung oleh Dinas Purbakala, bukan Pemkab Sidoarjo!) Sebab, bangunan yang ada sekarang sejatinya sudah jauh dari bentuk aslinya. Batu bata berantakan dan ketinggian candi kurang dari separuhnya. Di Dinas Purbakala, kata Syaiful, juga sudah ada gambar rekonstruksi Candi Tawangalun sesuai dengan arsitektur asli khas Majapahit.

Tapi, kendalanya lagi-lagi biaya yang sangat terbatas. Begitu banyak bangunan cagar budaya, khususnya candi, yang buruh renovasi, sementara dana tidak cukup. "Terus terang saja, Candi Tawangalun belum jadi prioritas Dinas Purbakala. Saya tidak tahu masuk prioritas nomor berapa," kata Syaiful.

Meski begitu, Syaiful mengaku bangga dan sangat menikmati pekerjaan sebagai juru kunci Candi Tawangalun di Bucitan. Menjadi penjaga candi, katanya, berarti belajar sejarah, mendalami kehidupan dan kekayaan budaya pada ratusan tahun lalu.

"Belajar sejarah itu asyik, membuat kita sehat. Lain dengan anak-anak sekarang yang nggak peduli masa lalu, hanya pikir masa depan thok. Makanya, jangan heran anak-anak sekarang banyak yang setres," pungkasnya.

PENCARI TOGEL

Untung ada togel, toto gelap. Gara-gara judi gelap kelas rakyat jelata inilah bangunan-bangunan cagar budaya di Sidoarjo seperti Candi Tawangalun ramai dikunjungi.
Inilah yang dirasakan Ahmad Syaiful Munir, penjaga alias juru kunci Candi Tawangalun, di Dusun Buncitan, Desa Sawohan, Kecamatan Sedati. "Kalau nggak ada togel, saya yakin, candi ini akan sepi," ujar Syaiful Munir.

Bagaimana tidak. Selama ini pengunjung paling setia Candi Tawangalun tak lain para pencari nomor togel dari berbagai daerah di Sidoarjo, bahkan kabupaten lain. Setiap malam menjelang penarikan togel, mereka ramai-ramai datang ke kompleks candi untuk tirakatan.

"Saya menyebut mereka sedang berusaha mencari rezeki. Namanya juga cari rezeki, ya, caranya macam-macam. Yang penting, sopan, tidak mengambil batu candi, atau mengganggu ketenangan masyarakat," tutur Syaiful Munir yang juga dikenal sebagai pelukis potret itu.

Tentu saja, sebagai pegawai honorer resmi Dinas Purbakala, Syaiful Munir sebenarnya kurang sreg dengan kondisi ini. Ia lebih senang kalau pengunjung Candi Tawangalun didominasi anak-anak muda, pelajar, mahasiswa, penelitia, turis lokal dan manca.

"Tapi kapan ya terlaksana? Kalau jadi sasaran pemburu togel thok, image bangunan cagar budaya jadi rusak," tukas Syaiful Munir.
Posted by Lambertus L. Hurek at 9:56 PM 3 comments Links to this post
Labels: cagar budaya
Candi Pari di Sidoarjo


Candi Pari di Desa Candipari, Kecamatan Porong, semakin merana. Objek wisata budaya dan sejarah yang sebenarnya bisa dijadikan andalan ekonomi masyarakat sekitar ini terkesan mangkrak, tidak terurus.

Tak ada seorang pun pengunjung ke sana. Padahal, saat itu anak-anak sekolah tengah menikmati liburan panjang. "Pengunjungnya, ya, sampeyan sendiri," kata Maryati, pemilik warung di depan Candi Pari.

Maryati, yang juga istri Tasmin, salah satu juru kunci Candi Pari, menambahkan, dalam sebulan terakhir ini praktis tidak ada pengunjung yang ingin menapak tilas perjalanan sejarah di Kabupaten Sidoarjo. Beberapa waktu lalu, kata Maryati, sempat ada rombongan wisata anak-anak sekolah dari Tulangan.

"Setelah itu nggak ada lagi. Makanya, jualan saya nggak laku-laku," tukas wanita ini seraya tersenyum. Kunjungan dari pejabat, turis asing, hingga peneliti pun tak ada.

Maryati memperkirakan, minimnya pengunjung ke kompleks Candi Pari karena objek wisata itu tidak punya sarana hiburan anak-anak seperti kolam pemandian dan fasilitas bermain lainnya. Ini berbeda dengan beberapa tempat hiburan anak-anak di Tulangan atau Tanggulangin yang lebih menghibur.

Apa yang bisa dinikmati di Candi Pari selain tumpukan batu berusia ribuan tahun? Daya tarik untuk hiburan dan rekreasi di mana? Begitu komentar beberapa warga yang sempat berbincang dengan saya di kompleks Candi Pari.

Satu-satunya jalan untuk 'menghidupkan' Candi Pari adalah dengan menciptakan fasilitas rekreasi dan hiburan.

"Selama ini orang cuma lihat dari mobil saja, nggak sampai turun. Lain dengan dulu, mereka turun untuk lihat-lihat atau beli makanan," keluh Ny Maryati.

Dijumpai di rumahnya, Desa Wunut, sekitar satu kilometer dari Candi Pari, seniman senior Sukarno melihat kasus Candi Pari ini sangat kompleks. Persoalan utama, katanya, pengelolaan Candi Pari (dan candi-candi lain di Sidoarjo) berada di tangan Dinas Purbakala. Pemkab Sidoarjo, khususnya Dinas Pariwisata-Budaya, tidak ikut-ikutan dalam mengelola candi peninggalan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Jenggolo itu.

"Saya bisa mengerti karena biaya perawatan tidak kecil. Apalagi, kalau harus dikembangkan menjadi objek wisata sejarah budaya di Sidoarjo," kata Sukarno, yang juga mantan ketua Dewan Kesenian Sidoarjo.

Andai saja Pemkab Sidoarjo punya uang dan komitmen pariwisata-budayanya tinggi, Karno yakin banyak yang bisa dilakukan untuk menata ulang objek wisata Candi Pari dan Candi Sumur. (Candi Sumur hanya terpaut sekitar 70 meter dari Candi Pari, sama-sama terletak di Desa Candipari.) Dan, itu membutuhkan biaya sangat besar.

Kalau mau, lanjut Karno, pemkab membebaskan rumah-rumah di kompleks dua candi itu sehingga ada hamparan yang luas. Nanti ada objek wisata utama (Candi Pari dan Candi Sumur), tempat jual-beli suvenir, stan PKL, areal parkir, perpustakaan, museum dan dokumentasi sejarah, dan fasilitas lainnya.

Selama Candi Pari dan Candi Sumur dibiarkan 'apa adanya' seperti sekarang, Karno pesimistis kawasan itu bisa menjadi andalan wisata Kabupaten Sidoarjo. Kompleks candi hanya sekadar situs tua yang semakin lama semakin kehilangan pesona.

Apa boleh buat, kompleks Candi Pari tidak memberikan efek berganda di bidang ekonomi kepada warga sekitar dan Kabupaten Sidoarjo. "Itu semua tergantung visi para pemimpin, baik di eksekutif maupun legislatif," tukas Karno.

Dalam bayangan seniman senior ini, kompleks Candi Pari dan Candi Sumur bisa didesain menjadi objek wisata terpadu dengan sentra industri Tanggulangin. Sebab, jarak antara Tanggulangin (khususnya Intako) dan Candi Pari sangat dekat. "Seharusnya setelah belanja di Tanggulangin, mampir ke Candi Pari," kata Sukarno, yang juga pelukis dan pembina seni tradisi itu.


Mustain (45 tahun), juru kunci Candi Pari dan Candi Sumur di Desa Candi Pari sejak hampir satu tahun terakhir tergolek lemah di rumahnya. Pak Tain, sapaan akrabnya, lumpuh total akibat stroke.

ENTAH apa penyebab Mustain menderita penyakit yang selama ini disebut-sebut hanya monopoli orang-orang 'papan atas'. Bagaimana mungkin wong cilik, sederhana, aktif bergerak, berjemur di terik matahari, bisa stroke? Ada apa?
Begitulah pertanyaan spontan yang beredar di kalangan warga kompleks Candi Pari.

"Mungkin sudah diatur begitu oleh Yang Kuasa (Tuhan). Kita ini nggak tahu kapan kita sakit atau meninggal," ujar Maryanti, istri Tasmin, juru kunci 'cadangan' pengganti Mustain, kepada saya.

Mustain, ayah tiga anak, selama ini identik dengan Candi Pari. Informasi apa pun tentang candi bersejarah itu hanya bisa diperoleh dari dia. Mustain ibarat kamus hidup tentang Candi Pari dan Candi Sumur, kemampuan yang belum bisa dikuasai oleh tiga 'juru kunci' cadangan yang ada sekarang.

Sayang sekali, dalam kondisi stroke berat Mustain tidak bisa berbicara, apalagi harus bercerita secara runut kayak dulu. Dia hanya tidur, beristirahat, dan dilayani keluarganya. "Kasihan sekali, Mas. Moga-moga Gusti Allah bisa memberi kesembuhan karena usianya masih belum sepuh. Dulu sampeyan kan lihat sendiri orangnya sangat lincah," tambah seorang warga Desa Candipari.

Memang. Ketika Candi Pari dan Candi Sumur direnovasi oleh pemerintah pusat, Mustain ibarat 'saksi ahli' merangkap pekerja lapangan. Maklum, pengalaman selama 20 tahun lebih membuat Mustain hafal semua detail candi. Bagian mana saja yang hilang, batu yang berpindah, mana yang rusak karena lumut, dan seterusnya sangat dikuasai.

Keterangan beliau sering dipakai sebagai bahan penulisan 'sejarah' Candi Pari dan Candi Sumur. Sejarah asli dua candi itu tidak begitu jelas tercatat dalam naskah-naskah resmi. Mustain pun sangat menguasai hikayat atau cerita rakyat seputar keberadaan Candi Pari dan Candi Sumur.

Menurut Pak Tain, Candi Pari dan Candi Sumur adalah simbol kemakmuran dan kesejahteraan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. "Pari sebagai simbol padi, sementara sumur sebagai simbol air untuk memasak. Keduanya tidak bisa dipisahkan," ujar Mustain beberapa bulan lalu ketika masih segar-bugar.

Untuk menanak nasi, lanjut dia, kita perlu air. Dan, kedua bahan penting ini (padi dan sumur) bisa kita peroleh dengan mudah dari bumi. Kehadiran Candi Pari dan Candi Sumur di Sidoarjo secara tak langsung menceritakan kepada kita, di zaman sekarang, bahwa pada masa lalu Kerajaan Jenggolo (wilayah Sidoarjo sekarang) adalah lahan subur.

Bahkan, Jenggolo disebut-sebut sebagai lumbung pangan untuk Majapahit. Sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Hyang Maha Kuasa, penguasa tempo doeloe mendirikan Candi Pari yang bersebelahan dengan Candi Sumur. Akankah Kabupaten Sidoarjo tetap bertahan sebagai sentra pertanian, atau lahan pertaniannya terus dikonversi menjadi perumahan dan industri? Begitu kira-kira gugatan 'bisu' dari dua candi tersebut.

Bagi Mustain, juru kunci benda cagar budaya sekaliber Candi Pari dan Candi Sumur bukanlah profesi biasa. Ia berbeda dengan profesi-profesi lain yang bisa diraih berkat pendidikan, penataran, atau pelatihan. Juru kunci sejati, kata Pak Tain, tidak sekadar tukang buka dan tutup pintu kompleks candi. Kalau sekadar begitu sih semua orang bisa, katanya.

Dalam bahasa agak filosofis, tugas juru kunci adalah membuka segala 'pintu' yang tertutup dengan 'kunci' pengetahuan dan pengalaman yang ia miliki. Selama 20 tahun lebih Pak Tain sudah membuka 'pintu' Candi Pari dan Candi Sumur kepada begitu banyak orang.

Mudah-mudahan saja ada orang yang masih sempat mencatat penjelasan Pak Tain, syukur-syukur membukukannya. Jangan sampai kita kehilangan informasi berharga seputar Candi Pari dan Candi Sumur gara-gara Pak Tain stroke berat.
Posted by Lambertus L. Hurek at 9:47 PM 2 comments Links to this post
Labels: cagar budaya
Candi Jawi di Pasuruan

CANDI JAWI MERUPAKAN SALAH SATU PENINGGALAN SEJARAH DI JAWA TIMUR. SAYANG, CANDI YANG BERLOKASI DI JALAN RAYA STRATEGIS, KAWASAN PANDAAN INI, KURANG DIPERHATIKAN PEMERINTAH.

Sekitar 20 mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) melakukan tur studi di kompleks Candi Jawi, Desa Candiwates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. Para mahasiswa dibimbing langsung oleh dua dosen senior mereka. Berkeliling sepanjang pelataran candi, naik tangga, melihat yoni (lingga-nya hilang), diskusi kecil, foto bersama, lalu pulang.

“Mereka kan sudah punya dosen, jadi saya diam saja. Lain kalau pengunjung datang sendiri, saya yang selalu ditanya-tanya,” ujar Solikin (42 tahun), juru kunci Candi Jawi, kepada saya, belum lama ini.

Sekitar satu jam rombongan Unesa berada di kompleks candi peninggalan Kertanegara, raja terakhir Singosari, pada tahun 1300 itu. Saat hendak pulang, Solikin tak dipamiti. Hanya seorang mahasiswi berjilbab datang menjabat tangan Solikin, salam tempel.

“Buat beli rokok, Pak!” kata sang mahasiswi. Tidak jelas berapa rupiah untuk Solikin, yang juga bekerja membersihkan rumput, merawat taman, serta membersihkan Candi Jawi itu. Toh, ia tersenyum ramah. Rezeki jangan ditolak, begitu ungkapan warga Dusun Candijawi, Dusun Wates, Prigen.

Dibandingkan candi-candi lain di Jawa Timur, kondisi Candi Jawi jauh lebih terawat. Ini karena pemerintah pusat pada 1 Desember 1975 hingga 30 Juni 1980 melakukan renovasi total. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (waktu itu) Dr Daoed Joesoef kemudian meresmikan pada 17 Februari 1982. Karena itu, candi yang terletak di pinggir jalan, tak jauh dari Kota Pandaan, ini masih bisa dinikmati sebagai objek wisata.

Namun, menurut Solikin, sebetulnya candi berdimensi (panjang, leba, tinggi) 14,2 x 9,5 x 24,5 meter ini sebetulnya tidak sepenuhnya utuh. “Pemugaran itu hanya bisa menyelamatkan 80 persen dari kondisi asal,” jelas Solikin yang bekerja di Candi Jawi sejak 1985.

Sebelum dipugar, 1975, kondisi Candi Jawi sangat berantakan. Batu-batu tersebar ke mana-mana, umumnya dikoleksi penduduk serta penggemar bebatuan antik. Nah, saat hendak dipugar, warga diperintahkan untuk mengembalikan batu-batuan itu. Ternyata, tidak semua terkumpul, sehingga panitia terpaksa membuat beberapa replika (batuan palsu) untuk mendukung restorasi Candi Jawi.

“Lingga dan yoni sebagai bagian paling penting tidak utuh lagi. Lingganya sampai sekarang hilang,” tutur Solikin, yang bersama Sujino, bekerja 24 jam menjaga Candi Jawi.

Secara fisik Candi Jawi ini terlihat utuh, sedap dipandang. Namun, kalau diamati secara saksama tampak beberapa bagian yang masih berantakan. Misalnya, gapura yang kini tak lebih dari tumpukan batu bata tua. Menurut Solikin, pada masa Kerajaan Singosari dulu kompleks Candi Jawi ini sangat luas, meliputi juga kawasan permukiman penduduk. Biaya renovasi, ditambah biaya pembebasan lahan, terlalu mahal untuk ditangung pemerintah kita.

“Kalau dipugar secara total baru kelihatan bagus,” kata Solikin.

Celakanya lagi, Pemkab Pasuruan sebagai tuan rumah Candi Jawi kurang melihat potensi Candi Jawi sebagai salah satu aset pariwisata. Seperti beberapa pemkab di Jawa Timur, dana APBD Pasuruan lebih banyak digelontor untuk tim Persekabpas. Jangan heran, Candi Jawi yang lokasinya sangat strategis itu tak lebih dari sebuah bangunan masa lalu semakin kehilangan pesona.

“Pengunjungnya, ya, pelajar dan mahasiswa yang kebetulan dapat tugas dari sekolahnya. Atau, orang-orang tertentu yang memang tertarik dengan bangunan-bangunan bersejarah seperti ini,” ujar Solikin.

Toh, Solikin mengaku sangat menikmati pekerjaan merawat bangunan cagar budaya yang sarat sejarah itu. Sebab, di kompleks inilah Solikin kerap mendapat rezeki dari pengunjung seperti ‘salam tempel’ dari gadis Unesa. (*)
Posted by Lambertus L. Hurek at 9:45 PM 1 comments Links to this post
Labels: cagar budaya
OI (Orang Indonesia) Iwan Fals Fans Club

Ariyanto Ilham, ketua OI Sidoarjo.

Juru Tulis: Lambertus Hurek

Di kawasan Gelora Delta, Sidoarjo, belum lama ini, ratusan anak-anak muda berkumpul dengan seragam khas hitam-hitam. Ada gelar musik, lomba melukis untuk anak-anak, hingga donor darah. Acara-acara sosial-kemanusiaan ini berlangsung santai, jauh dari kesan formal dan kaku.

Sementara itu, lagu-lagu Iwan Fals seperti Oemar Bakri, Pesawat Tempur, Balada Orang-Orang Pedalaman… tak henti-hentinya diputar. "Beginilah kalau OI bikin acara. Santai, akrab, tapi ada misi di baliknya," ujar ARIYANTO ILHAM, ketua Badan Pengurus Kota (BPK) OI Sidoarjo, kepada saya di sela-sela acara.

Organisasi penggemar Iwan Fals alias OI ini tidak bisa dibuat sembarangan. Markas besar OI di kediaman Iwan Fals, artis legendaris yang terkenal dengan lagu-lagu kritik sosialnya, di kawasan pegunungan Jawa Barat sana. Nama-nama calon pengurus didata, kemudian diseleksi oleh mabes OI. Ini karena OI bukanlah fans club biasa, melainkan sudah disepakati menjadi organsiasi kemasyarakatan (ormas).

OI Sidoarjo sendiri sudah dinyatakan lolos verifikasi oleh Mabes OI.

"Ternyata, perkembangan OI di Kabupaten Sidoarjo ini sangat pesat. Saya sendiri kaget karena dalam waktu singkat sudah terdaftar 146 orang," tutur ARI, sapaan akrab Ariyanto Ilham, bangga.

Jam terbang Iwan Fals yang begitu panjang di belantika musik Indonesia membuat komposisi anggota OI sangatlah beragam. Ada pemuda tahun 1980-an awal (era Oemar Bakri), pemuda era 1990-an, hingga era 2000-an ketika Iwan Fals dikenal dengan album gres seperti 'Suara Hati' hingga "Manusia Setengah Dewa'. Tak heran, anggota OI Sidoarjo ini meliputi orang yang berusia di atas 50 tahun hingga anak-anak sekolah dasar.

Di sinilah kelebihan Iwan Fals, sekaligus kekuatan OI. Begitu banyak orang, dari aneka latar belakang, perlu cangkrukan bersama karena sama-sama fans Iwan Fals. "Kumpul-kumpul itu bagus. Tapi kita ingin lebih dari itu, berbuat sesuatu untuk orang Indonesia," ujar Ariyanto, jebolan Akademi Wartawan Surabaya itu.

Oleh Mabes OI, para anggota OI (di seluruh Indonesia) menjadikan SOPAN sebagai program utama mereka. SOPAN ini akronim dari SENI, OLAHRAGA, PENDIDIKAN, NIAGA. Seni bisa dilakukan lewat parade band, apresiasi musik (tak hanya lagu-lagu Iwan Fals), serta kesenian lain dalam arti luas.

Olahraga--asal tahu saja Iwan Fals sangat gila olah raga, khususnya sepakbola--pun wajib dilakoni anggota OI. Pendidikan penting untuk menjamin masa depan anggota. Jangan sampai, kata Ari, anak-anak muda Sidoarjo terlalu gandrung Iwan Fals, sehingga lupa menyelesaikan sekolah atau kuliahnya.

"Kami tidak ingin anak-anak OI putus sekolah karena malas atau nggak bisa bayar SPP," ujar Ariyanto yang tinggal di Jalan Nala 12 Sawotratap, Gedangan, Sidoarjo. Saat ini, rumah Ariyanto Ilham dijadikan markas Badan Pengurus Kota OI Sidoarjo.

Yang menarik, hubungan antara komunitas OI dan Slanker's di Sidoarjo sangat dekat. Saking dekatnya, kata Ari, dua fans club artis yang berbeda ini selalu berusaha menggelar kegiatan bersama-sama. Saat konser bersama Iwan Fals dan Slank di Stadion Jenggolo, Sidoarjo, beberapa waktu lalu, OI dan Slanker's melakukan aksi bersama kampanye antinarkoba dan seruan perdamaian.

"Slanker's dan OI selalu kompak karena di antara kami ada kesamaan visi dan misi. Kalau kami di Slanker's ada PLUR (PEACE, LOVE, UNITY, RESPECT), teman-teman di OI pun punya visi yang hampir sama," ujar ANDI WIJAYA, koordinator SFC Sidoarjo, seraya merangkul Ariyanto, bos OI Sidoarjo.

Bersatu dalam damai!

Pesan bersama OI-Slanker's ini jauh lebih positif ketimbang eker-ekeran di partai politik atau teror bom di Poso atau daerah lain.
Posted by Lambertus L. Hurek at 9:20 PM 3 comments Links to this post
Labels: musik
Penulis Lan Fang Jaga Toko Buku

Oleh: Heti Palestina Yunani,
Wartawan Radar Surabaya

MENULIS ITU MENYENANGKAN, BEGITU KATA LAN FANG. MESKI BEGITU, WANITA INI CUKUP LAMA UNTUK MERASA BAHWA MENULIS ITU BENAR-BENAR DUNIANYA. SETELAH HANYA MENJADI PENULIS, LAN FANG KINI DIPERCAYA SEBAGAI KEPALA TOKO BUKU. BUKUNYA JUGA BAKAL DIFILMKAN.

Tidak sulit mencari LAN FANG sekarang. Satu tempat jujugan yang pasti, ya Toko Buku Diskon Toga Mas di Jalan Diponegoro. Sejak toko buku itu dibuka pada 22 Februari 2007, sudah pasti Lan Fang berada di sana. Bukan untuk menandatangani buku-bukunya yang dibeli oleh para penggemar, Lan Fang yang bertanggung jawab terhadap operasional toko buku keempat di Kota Surabaya ini.

“Kebetulan aku sekarang jadi kepala tokonya,” kata penulis yang telah menghasilkan enam buku itu.

Sebenarnya kesibukan wanita kelahiran 5 Maret 1970 ini tak nyeleneh juga. Sebab, bisnis yang digelutinya juga masih seputar dunia buku. Tapi, kesibukan penulis yang tak terikat jam kerja, namun kini berbalik, tentu sedikit mempertanyakan hari-hari Lan Fang yang mirip karyawan.

Jelas, Lan Fang harus ngantor sesuai jam kerja, meski ia terlihat fleksibel mengatur jam kerja, termasuk tak harus pakai seragam. Sebagai karyawan, ia juga punya tanggung jawab pada JOHAN BUDHIE SAVA, direktur Toga Mas. Apa tak menyita waktu untuk menulis?

Lan Fang yang masih berkaus oblong dan celana selutut saat kerja itu punya alasan mengapa dia mau menjaga toko buku. “Aku ini ibaratnya ikan. Nah, sekarang aku seperti dicemplungin ke kolam. Wuih, tambah menari-nari lah aku dalam kolam,” kata Lan Fang.

Dia yakin akan lebih aktif dan produktif menulis. Selain mengetahui perkembangan dunia buku, Lan Fang bisa mendekati pembaca buku lebih dekat. “Mengamati banyak orang yang datang, termasuk kecenderungan mereka terhadap buku-buku, tentu masukan yang besar untuk bahan menulis,” kata ibu tiga anak kembar ini.

Setahun terakhir ini, Lan Fang sedang produktif-produktifnya. Pada 2006, ada tiga buku yang ia tulis, LAKI-LAKI YANG SALAH, PEREMPUAN KEMBANG JEPUN dan YANG LIU. Sebenarnya ada satu buku yang keluar pada 2006 juga, tapi ditahannya agar tak terlalu banyak bukunya keluar dalam satu tahun. Tiga bukunya yang lain adalah REINKARNASI (2003), PAI YIN (2004) dan KEMBANG GUNUNG PUREI (2005).

Melihat idenya yang deras mengalir dalam tiga tahun terakhir, Lan Fang ingat betapa ia mulanya tak yakin memilih profesi penulis, meski ia menyenanginya sejak sekolah menengah atas.

“Menulis itu kan hanya sebagai penyaluran hobi. Tapi dua tahun terakhir ini, aku berpikir menulis juga bisa dijadikan sebagai sumber pendapatan, meskipun saya belum bisa kaya dari menulis,” kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Surabaya ini.

Dari sekadar menerima honor Rp 150 ribu saat cerpennya termuat di ANITA CEMERLANG, enam bukunya yang sama-sama laris itu, menjadi keuntungan lain yang dirasakan Lan Fang berkat hobinya itu. Yang menggembirakan, novel PEREMPUAN KEMBANG JEPUN akan segera difilmkan oleh PT Elang Perkasa Film. Itu terjadi tak lama sebelum ia ditawari Johan untuk menjadi kepala toko.

“Aku sudah teken kontraknya. Rasanya hal ini membuat aku kian percaya dengan profesiku dan ingin berbagi pada banyak penulis pemula untuk lebih serius,” kata pemenang berbagai lomba menulis di majalah nasional itu.

Bagi Lan Fang, kemantapannya menjadi penulis sangat terlambat. Itu dirasakannya karena ia sendiri kurang fokus pada hobinya itu. Waktunya menulis sering kalah oleh kesibukannya kuliah, mengurus anak, atau bekerja di asuransi.

“Jadinya buku-bukuku banyak aku tulis bertahun-tahun, seperti PEREMPUAN KEMBANG JEPUN yang makan waktu empat tahun, Yang Liu sampai tiga tahun. Coba aku lebih fokus dan serius, pasti hasilnya akan lebih baik,” katanya seolah meresepkan tips menjadi penulis yang sukses.
Posted by Lambertus L. Hurek at 9:00 PM 1 comments Links to this post
Labels: bisnis
01 March 2007
Pater Goran dan Museum Bahari
Pater Goran adalah pastor pertama di kampung saya, Ile Ape, Flores Timur. Tak heran, di rumah-rumah penduduk banyak ditemui foto Pater Goran dalam berbagai pose. Dia ibarat lokomotif. Beberapa tahun kemudian, muncul beberapa pastor baru yang mengikuti jejak Pater Goran.

Berikut sebuah artikel yang saya kutip dari harian Kompas edisi 23 Januari 2007 tentang Pater Goran.


KECINTAAN LAUT PATER GORAN

Oleh: Samuel Oktora

Misteri dan keindahan tiga kawah di Gunung Kelimutu, Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, tak asing lagi. Lain lagi halnya Museum Bahari yang juga di Ende, di Jalan Mohamad Hatta, Kelurahan Kota Raja, Kecamatan Ende Selatan, mungkin tidak banyak yang tahu.

Museum ini merupakan satu-satunya di kawasan Nusa Tenggara. Sejak diresmikan tanggal 14 Agustus 1996, museum ini sudah memiliki sekitar 22.000 jenis koleksi, di antaranya 1.000 jenis kerang laut dan 300 jenis ikan.

Keberadaan Museum Bahari tak bisa dipisahkan dari figur Pater Gabriel Goran SVD. Cikal bakal museum berawal dari hobinya, yang sedikit demi sedikit akhirnya mampu mengumpulkan jenis koleksi hingga berjumlah puluhan ribu buah.

"Kenangan yang tak terlupakan adalah ketika saya menemukan siput Oliva. Warnanya amat indah. Setelah membandingkan rumah satu siput dengan yang lain, warnanya beragam. Dari situ kemudian saya senang mengoleksi sejak tahun 1981," tutur Pater Goran.

Biota laut yang menjadi daya tarik Museum Bahari adalah moluska, kerang laut, tiram, gurita, cumi-cumi, sotong, dan sebangsanya. Ada pula berbagai jenis ikan dan hewan bercangkang, seperti udang, rajungan, serta kepiting.

Selain itu, ada pula Echinodermata, kemudian teripang dan bulu babi, reptilia berupa penyu, kura-kura, naga laut, biawak, dan iguana. Ditemukan juga ganggang, rumput laut, dan tumbuhan laut lain, serta koral, terutama pecahan karang laut yang ditemukan akibat dari penangkapan ikan menggunakan bahan peledak. Koleksi itu selain temuan pribadi, sebagian berasal dari partisipasi masyarakat.

Koleksi Museum Bahari banyak yang berasal dari Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, yang merupakan tempat kelahiran Pater Goran. Ia dilahirkan di lingkungan nelayan Desa Tagawiti pada 14 April 1941, kemudian ditahbiskan menjadi imam pertama dari kawasan Ile Ape pada 31 Juli 1971. Sehari-hari Pater Gabriel Goran SVD dipanggil dengan sebutan Pater Goran. Pater sering pula diganti sebutan pastor atau romo oleh kalangan pemeluk agama Katolik.

Salah satu jenis koleksi unik di Museum Bahari adalah duyung sapi yang diperkirakan sudah punah sejak 50 tahun lalu. Warga menemukan duyung itu pada tahun 2.000 di Pulau Koa, Ende. Diperkirakan, sampai sekarang yang masih dapat dijumpai adalah duyung babi di perairan Kabupaten Flores Timur.

"Sejak menaruh perhatian besar terhadap laut, kalau tengah berekreasi bersama para frater (Latin = saudara, sebutan untuk calon pastor) saya sering mengajak ke pantai Lembata. Dengan membawa kantong plastik, tiap frater bisa mengambil bermacam-macam kerang ciptaan Tuhan yang tersebar di pantai," papar Pater Goran yang menjadi yatim saat duduk di bangku kelas empat sekolah dasar, dan yatim piatu saat duduk di kelas dua SMP.

Ide membangun museum tercetus sekitar tahun 1990 ketika jenis koleksi laki-laki tamatan Seminari Tinggi St Paulus Ledalero, Maumere, Sikka, itu sudah memenuhi kamarnya di Biara St Yosef, Ende. Di sini ia sehari-hari tinggal dan kadang-kadang mengajar di Panti Asuhan Naungan Kasih, di kota yang sama. Antara Biara St Yosef dan Museum Bahari hanya berjarak sekitar 500-an meter.

Upaya pendirian museum dibantu mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Delft Belanda asal Indonesia, Bagia Suwira. Suwira saat itu melakukan kuliah kerja nyata di Flores untuk meneliti kerusakan akibat gempa bumi 12 Desember 1992.

Melihat begitu banyaknya jenis koleksi Pater Goran, Suwira mengikutsertakan koleksi itu dalam pameran di Belanda berupa 250 gantungan kunci siput Oliva, serta 30 lembar dasi berbahan tenun khas Ende yang biasa disebut Lio. Dari pameran itu akhirnya diperoleh hasil penjualan sebesar Rp 1.650.000.

Sebagian uang itu diserahkan Pater Goran kepada organisasi di Belanda sebagai saham. Setelah rencana pendirian Museum Bahari dipromosikan organisasi tersebut, terkumpul dana Rp 26 juta.

Dengan modal itulah museum dibangun. Dewan Provinsi SVD (Societas Verbi Divini atau Serikat Sabda Allah) Ende memutuskan membangun gedung dan menanggung isi gedung, sementara Pemerintah Kabupaten Ende menyediakan lahan. Bupati Ende, Frans Gedowolo—waktu itu—meresmikan Museum Bahari tahun 1996.

MENGELOLA MUSEUM

Dari kecintaannya terhadap laut, Pater Goran bersama Kalianus Nusa Nipa menulis buku Museum Bahari dan Kekayaan Laut. Dalam beberapa catatan Pater Goran disebutkan, tujuan pendirian museum dilatarbelakangi kenyataan bahwa Provinsi NTT merupakan daerah kepulauan dan juga sebagian besar wilayah memiliki kandungan laut dengan beraneka ragam bentuk, ukuran, warna, dan jenis biota yang perlu dilestarikan secara profesional.

Di samping itu di wilayah NTT, khususnya Ende, juga belum terdapat museum bahari yang mengoleksi jenis biota laut. Museum juga dimaksudkan untuk menunjang ilmu pengetahuan serta menjadi sumber informasi dan pusat studi kelautan, terutama bagi generasi muda.

Pater Goran saat ini juga sedang mempersiapkan satu buku yang berisikan naskah drama tentang kelautan. Tokoh-tokoh dalam drama itu dipilih dari binatang laut.
"Dalam enam bulan terakhir saya tak bisa menahan keinginan kuat untuk menulis hingga sampai saat ini sudah selesai empat tulisan dalam bentuk naskah drama dan beberapa puisi. Begitu juga dua tulisan drama dari dua frater," katanya.

Dia merencanakan akan membuat buku untuk anak- anak. Menurut Pater Goran, pesan tentang laut dalam bentuk puisi, lagu, atau drama, akan lebih menarik dan mudah diterima anak-anak.
Posted by Lambertus L. Hurek at 11:45 PM 0 comments Links to this post
Labels: Flores
Candi Medalem di Sidoarjo

Oleh Lambertus L. Hurek

DIBANDINGKAN Candi Pari dan Candi Sumur di Porong, kondisi Candi Medalem ini lebih memprihatinkan. Bangunan candi berupa tumpukan batu bata merah ini sudah tak lagi berbentuk candi. Hanya sisa-sisa bata merah yang diyakini sebagai fondasi atau alas candi.

Meski begitu, jejak-jejak sejarah sebagai situs penting pada masa Majapahit (1293-1475) masih terlihat. Ada sumur tua di dekat kompleks Candi Medalem, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari situs sejarah tersebut. Andai saja pemerintah (Dinas Purbakala) mau melakukan penggalian, niscaya banyak warisan sejarah berharga masih bisa ditemukan.

Kita, generasi sekarang, bisa merekam jejak aristektur candi dan kehidupan masyarakat pada zaman Majapahit. Tapi, dari mana duit?

“Wong biaya perawatan saja nggak ada. Dulu ada bantuan sedikit untuk buat batu bata tambahan di sini,” jelas Tamaji Glendangan, penjaga alias juru kunci Candi Medalem, kepada saya.

Tamaji, lelaki asli Medalem yang berusia 44 tahun ini, bukan saja juru kunci, tapi juga orang pertama yang berhasil menemukan jejak Candi Medalem. Hasil riset atau studi pustaka kuno? Oh, sama sekali tidak. Percaya atau tidak, Tamaji mengaku mendapat petunjuk keberadaan Candi Medalem lewat mimpi. Pada 1991 lalu, malam saat tidur pulas, tiba-tiba datang seorang wanita sepuh menghampiri Tamaji.

“Nak, kamu rawat baik-baik apa yang ada di bawah pohon-pohon besar itu. Dirawat dengan baik, jangan dirusak,” ujar Tamaji menirukan pesan nenek tua dalam mimpi itu.

Asal tahu saja, lokasi Candi Medalem sekarang pada 1991 itu penuh dengan pohon-pohon besar: beringin, asam, dan kucacil. Tak pernah ada warga atau ahli sejarah yang ‘curiga’ bahwa di bawah pohon itu ada candi peninggalan Majapahit. Mereka hanya tahu ada sebuah sumur tua di bawah pepohonan rindang. Sumur itu tak pernah digunakan warga.

Tamaji kemudian menyampaikan pesan gaib itu kepada beberapa tokoh masyarakat. Ia meminta izin untuk menemukan harta karun di bawah pohon itu. “Namanya juga pesan, ya, harus saya laksanakan. Wong pesannya itu sangat jelas,” cerita Tamaji di kompleks Candi Medalem. Singkat cerita, beberapa pohon besar pun ditebang dan dicabut akar-akarnya.

Benar saja. Setelah pohon yang diduga berusia ratusan tahun itu terbantun, Tamaji dan beberapa warga menemukan sisa-sisa candi. Fondasi candi masih utuh, begitu pula batu bata yang dipakai untuk menyusun Candi Medalem. Berbeda dengan Candi Pari, yang mirip lumbung padi atau rumah-rumahan, Candi Medalem hanyalah tumpukan batu bata. Kemungkinan besar candi ini dipakai untuk pemujaan kepada Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas hidup dan rezeki yang diterima warga.

Menurut dugaan Tamaji, dan warga sekitar Candi Medalem, masyarakat tempo doeloe yang menganggap candi sebagai situs keramat sengaja membiarkan pohon-pohon tumbuh bebas di atas candi. Makin lama akar dan batang pohon menggerus bangunan candi dari batu bata (baca: tanah liat) itu. Hujan, panas, selama ratusan tahun membuat Candi Medalem dilindas habis oleh pepohonan.

Sampai suatu ketika orang tidak tahu lagi bahwa di situ ada candi bersejarah. Apalagi, harus diingat bahwa pada awal abad ke-16 Kerajaan Majapahit tenggelam dalam sejarah karena serangan bertubi-tubi Kerajaan Demak yang beragama Islam. “Saya kurang tahu sejarah. Yang penting, saya bisa menemukan dan sekarang menjaga candi,” kata Tamaji.

Kini Pak Glendang, sapaan akrab Tamaji, memperlakukan Candi Medalem bagaikan anak kandungnya sendiri. Setiap hari ia merawat, membersihkan rumput liar, sambil sekali-sekali menjawab pertanyaan tamu yang penasaran dengan Candi Medalem.

Banyak hal unik dan ‘aneh-aneh’ terjadi di kompleks Candi Medalem, Kecamatan Tulangan. Ini secara tak langsung menghambat pengembangan candi sebagai objek wisata sejarah dan budaya di Kabupaten Sidoarjo.

Seperti diceritakan, kemarin, proses penemuan kembali Candi Medalem melalui mimpi Tamaji Glendangan. Pria asli Medalem, yang menjadi juru kunci Candi Medalem sejak 1991 itu, juga mengaku menemukan beberapa hal aneh di kompleks candi. Ada-ada saja kejadiannya.

Setelah berhasil ditemukan, Tamaji Glendangan sempat membuat paseban atau tempat berteduh persis di depan candi. Bangunan permanen sudah berdiri cukup megah. Tapi apa yang terjadi? Tak lama kemudian pendopo kecil itu ambruk.

"Dua kali terjadi kasus yang sama. Bangunan sudah jadi tiba-tiba ambruk," cerita Tamaji, serius.

Melihat kejadian ini, Tamaji dan warga Desa Medalem akhirnya sepakat bahwa ada peristiwa luar biasa yang sudah terjadi di kompleks candi. Mereka tidak lagi berpikir untuk membuat bangunan di atas Candi Medalem. Tidak mencoba untuk kali ketiga? “Yah, cukup dua kalilah. Kalau nekat juga, ya, nggak akan baik,” tukas Tamaji seraya tersenyum.

Sumur tua di belakang Candi Medalem pun tak kalah unik. Dibangun dengan bahan batu bata--mirip Candi Medalem--sumur tua ini berbeda dengan sumur lain di kampung Medalem. Tak sampai satu meter airnya sudah tampak. Saking besarnya sumber air, sumur Medalem ini praktis tidak pernah kering.

Beberapa waktu lalu, cerita Tamaji, sumur itu pernah dikuras dengan pompa mesin milik Dinas Purbakala. Ternyata, air sumur Candi Medalem ini tidak pernah kering. Kenyataan ini, selain membuat warga kampung Medalem heran, juga membuat warga takut menggunakan air itu. Mereka menilai air di situ pasti mengandung kekuatan supranatural alias alam gaib. “Kalau sumur biasa pasti airnya sudah kering kalau disedot dengan mesin,” kata beberapa warga kepada saya.

Sayang sekali, lokasi sumur yang hanya berjarak 20-an meter dari Candi Medalem itu terkesan kumuh, tidak terurus. Ketika saya datang ke sana, sumur berusia ratusan tahun ini masih tertutup rapat oleh daun-daun kering. Tamaji kemudian membersihkan sumur itu agar bisa saya potret. Menurut dia, sumur itu terpaksa ditutup karena sang tuan tanah tidak ingin lahannya didatangi warga yang ingin melihat kondisi sumur pada era Kerajaan Majapahit tersebut.

Agar sumur itu bisa dinikmati, Tamaji mengusulkan agar pemerintah (Kementrian Wisata dan Kebudayaan) melakukan renovasi besar-besaran. Kompleks Candi Medalem dan sekitarnya harus diteliti kembali oleh sebuah tim ahli untuk memetakan situs warisan Majapahit itu. Setelah diteliti secara ilmiah--ditambah ritual tradisional--barulah kompleks Candi Medalem direnovasi secara total. Konsekuensinya, lahan dan rumah penduduk di sekitar candi harus dibebaskan.

“Pasti perlu dana banyak. Apa bisa? Wong untuk biaya perawatan sehari-hari saja nggak ada uangnya,” tukas Tamaji seraya tersenyum.

Seperti candi dan situs tua yang lain, Candi Medalem secara formal dikelola oleh Dinas Purbakala, bukan Pemkab Sidoarjo. Selama ini pemkab tak ingin mengeluarkan dana untuk membenahi objek wisata dan ‘ziarah’ yang masih perawan itu. Padahal, jika dikelola dengan baik, dilengkapi dengan berbagai fasilitas wisata dan budaya, Candi Medalem berpotensi menggerakkan ekonomi rakyat di kampung terpencil kawasan Tulangan itu. Multiplier effect di bidang ekonomi pasti dirasakan warga sekitar.

Untung saja, warga kampung Medalem selama ini cukup antusias menjaga warisan sejarah itu. Menurut Tamaji, ketika ia memerlukan dana untuk pembuatan pagar dan perawatan kompleks Candi Medalem, warga dengan sukarela memberikan sumbangan. Pagar yang cukup bagus di pelataran candi, misalnya, merupakan sumbangan riil warga kampung Medalem. “Kalau nggak ada bantuan warga, kompleksnya nggak kayak begini.”

Harapan Tamaji alias Pak Glendang sederhana saja. Candi yang ditemukannya pada 1991 itu harus dipelihara, dijaga, sebagai aset budaya dan sejarah bangsa. Begitu kira-kira pesan sang nenek sepuh yang datang kepadanya lewat mimpinya. “Diramut sing apik,” ujar Tamaji mengutip pesan sang nenek.

[NB: Terima kasih kepada Mas Amak Junaedi yang telah mengantar saya ke lokasi Candi Medalem, pulangnya makan sate kambing.]
Posted by Lambertus L. Hurek at 10:39 PM 1 comments Links to this post
Labels: cagar budaya
Hotel Niagara di Malang
Juru Tulis: Lambertus L. Hurek




“Buat apa menginap di situ? Kan masih ada hotel atau losmen lain? Kata orang sih di situ ada apa-apanya,” ujar beberapa warga di Pasar Lawang, hanya sekitar 50 meter dari Hotel Niagara, belum lama ini.

Kata-kata seperti ini memang sudah biasa dialamatkan pada hotel berlantai lima yang dibangun pada 1918 tersebut. Di kompleks hotel memang ada semacam prasasti beraksara Tiongkok yang menyatakan tahun pendirian hotel. Ya, ampun, berarti usia Hotel Niagara sudah 88 tahun. Arsiteknya Fritz Joseph Pinedo, pria berdarah Brasil yang hidup di Indonesia pada masa pendudukan Belanda.

Nah, saking tuanya bangunan ini, dan warga praktis tak pernah masuk ke sana, image yang berkembang kurang positif. Ada hantunya. Tempat orang bunuh diri. Kamar berdarah. Hingga tempat penimbunan senjata-senjata tradisional. Image ini makin kuat karena Hotel Niagara sempat mangkrak cukup lama. Kini pun dua lantai teratas (lantai 4 dan 5) selalu gelap karena belum dipakai.

Saya kurang percaya dengan rumor-rumor gelap macam ini. Apalagi, belum lama ini sejumlah wartawan senior Jakarta bersama Ikatan Arsitek Indonesia menggelar diklat di Hotel Niagara. “Tidak ada apa-apa. Justru hotel ini sangat indah,” kata Jay Subiyakto dari Jakarta.

WS Rendra pun pernah menginap di Niagara dan kesan penyair terkenal itu sangat positif. “Anda perlu menikmati keindahan Hotel Niagara, lalu buat sebuah tulisan,” begitu pesan istri seorang bekas diplomat asing di Surabaya suatu ketika.




Maka, saya pun mencoba menginap satu malam di Hotel Niagara. Masuk ke ruang resepsionis, suasana sepi. Hanya ada Tatik, resepsionis. “Silakan pilih kamar, tapi kami tidak bisa beri informasi apa-apa tentang hotel ini,” ujar Tatik seraya tersenyum. Ternyata, jawaban serupa pernah disampaikan kepada wartawan Jakarta Post, koran berbahasa Inggris terbitan Jakarta.

Daftar tarif yang terpampang di muka resepsionis mengagetkan saya. Terlalu murah untuk ukuran hotel yang boleh dibilang paling bersejarah di kawasan Malang Raya. Kamar ‘mewah’ cukup Rp 90 ribu dan Rp 150 ribu. Khusus di lantai 3, yang kamar mandinya di luar, tarif semalam Rp 60 ribu. Padahal, di Kota Malang tarif hotel melati berfasilitas paling minim, kamar mandi luar, minimal Rp 80 ribu.

Saya memilih lantai 3 (kamar 306), dengan pertimbangan letaknya paling tinggi, mudah ‘bermain-main’ ke puncak hotel sambil melihat pemandangan Kota Lawang dari atas.

“Aslinya semua kamar di Hotel Niagara pakai kamar mandi luar. Jadi, Anda lebih menghayati suasana asli hotel ini,” jelas Zaini, salah satu pelayan Hotel Niagara.
Dibandingkan dengan hotel-hotel modern (berbintang), standar pelayanan dan fasilitas di Hotel Niagara memang masih belum apa-apa. Namun, hotel tua ini menawarkan keindahan, sensasi, tersendiri dari bentuk konstruksinya yang eksotik dan antik.

Di Hotel Niagara kita bisa menikmati sepuas-puasnya arsitektur tempo doeloe yang sangat menekankan pendekatan seni. Sebuah kombinasi gaya Brasil, Belanda, Tiongkok, dan Victoria yang menawan.


[Menara air di atas Hotel Niaga, Lawang, Malang.]

HANYA 14 KAMAR YANG TERPAKAI

Hotel Niagara awalnya dirancang sebagai vila pribadi milik keluarga Liem Sian Joe, pengusaha Tionghoa kaya pada era Hindia Belanda. Perlu kerja keras dan biaya besar untuk renovasi total.

Menurut ONGKO BUDIHARTANTO, pengelola sekarang, gedung setinggi 35 meter ini dibangun arsitek Fritz Joseph Pinedo selama 15 tahun sejak 1918. Di masa itu Lawang dan sekitarnya memang masih merupakan daerah peristirahatan yang sejuk, nyaman, dan sepi. Jangan heran banyak vila cantik dibangun di kawasan itu.

Pada 1920, masih menurut Ongko Budihartanto, Liem Sian Joe hijrah ke Negeri Belanda sehingga vilanya dipercayakan kepada ahli waris. Namun, karena jarang dipakai, vila itu kurang terurus. Kondisi ini berlangsung hingga masa kemerdekaan.

Setelah masa revolusi, bangunan yang pernah disebut-sebut ‘paling tinggi di Jawa Timur’ ini dijadikan rumah tinggal oleh beberapa keluarga. Tak jelas nama-nama penghuni vila, berikut bagaimana prosedur mereka mendapatkan hak pakai. Bisa ditebak, beberapa bagian bangunan menjadi kurang terawat. Mirip perilaku penghuni rumah susun di Tanah Air sekarang.

Baru pada 1960 ahli waris Liem Sian Joe menjual bangunan itu kepada Ong Kie Tjay, pengusaha Tionghoa yang tinggal di Surabaya. Keluarga-keluarga yang menginap di ‘rumah susun’ itu hengkang, dan mulailah Baba Ong membenahi bangunan tua itu.

Empat tahun kemudian, 1964, fungsi bangunan bertingkat lima diubah dari vila menjadi hotel dengan nama Hotel Niagara. Ongko Budihartanto, general manager sekarang, tak lain merupakan anak sekaligus ahli waris Ong Kie Tjay.

Tak mudah mengelola hotel sekaligus bangunan cagar budaya yang dilindungi undang-undang itu. Persoalan utama, seperti diceritakan di atas, adalah citra bangunan yang sempat diberitakan negatif di masyarakat. Misalnya, tuduhan sebagai ‘rumah hantu’ hingga ajang bunuh diri. “Itu semua hanya isu dan omong kosong," tegas Ongko Budihartanto.

Selama 20 tahun lebih mengelola dan menetap di Hotel Niagara, Ongko mengaku belum pernah merasakan gangguan apa pun. Para tamu pun tak pernah mengeluhkan soal itu. Yang ada justru ungkapan-ungkapan positif tentang kehebatan serta keunikan Hotel Niagara. Kesan-kesan para tamu itu bisa terbaca di lorong-lorong hotel antara lantai satu dan dua, kemudian lantai dua dan tiga.

Saya mencatat beberapa kesan tertulis dari tetamu, khususnya orang asing. Hans (Belanda) mengatakan, “Bagus sekali.”

Begitu juga Aad Ham (Belanda): “Very unique, very beautiful… I never see like this in the world!” (Sangat unik, sangat indah. Saya tak pernah melihat seperti ini di dunia.) Jan van Schager, juga asal Belanda, mengatakan, “Imagine five storeys and elevator and elevator around 1900.”

Tak salah kalau para turis Belanda, yang datang untuk nostalgia itu, mengatakan Hotel Niagara ini unik dan antik. Sebab, menurut informasi dari beberapa sumber, keramik dinding dan bahan untuk lantai diimpor dari Belgia.

Lift kuno merek ASEA merupakan produksi Swedia tahun 1900-an. Lantai terbuat dari teraso berwarna yang dicor di tempat, bahan baku impor. Bahan kayu untuk jendela, pintu, plafon, dan sebagainya terbuat dari kayu jati kelas satu.

Persoalannya, seperti bangunan-bangunan tua lainnya, biaya perawatan tidak murah. Sementara jumlah kamar yang dioperasikan hanya 14 dari total 26 kamar alias hanya 50 persen. Bandingkan dengan hotel-hotel modern yang kamarnya berjumlah puluhan, bahkan ratusan.

Bisa dibayangkan berapa pemasukan Hotel Niagara ini setiap bulannya. Namun, sebagai hotel tempo doeloe, antik, orisinil, Hotel Niagara punya nilai lebih yang jarang dimiliki hotel-hotel lain di Tanah Air.

Ada baiknya pengelola Hotel Niagara mencamkan baik-baik pesan Henk Nos. Turis asal Belanda mengatakan, “Hotel ini monumen, harus dijaga dengan baik. Perlu renovasi dengan arsitek yang benar-benar ahli. Kalau itu dilakukan, Hotel Niagara jadi bintang seperti Hotel Raffles di Singapura.



Kota Lawang dilihat dari atas Hotel Niagara.

Anda punya komentar? Silakan tulis di bawah artikel ini. Terima kasih.
Posted by Lambertus L. Hurek at 10:26 PM 28 comments Links to this post
Labels: cagar budaya, wisata
April 2007 February 2007 Home
Subscribe to: Posts (Atom)
About Me

Lambertus L. Hurek
Surabaya, Indonesia
I was born in Lembata, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Education: SD Katolik Mawa (Lembata, Flores Timur), SMP Katolik San Pankratio (Larantuka, Flores Timur), SMA Negeri 468 Larantuka (1st year), SMA Negeri 1 Malang (2nd and 3rd year) in Jawa Timur, Universitas Jember (Agriculture Faculty). I am a reporter of Radar Surabaya. All stories by LAMBERTUS L. HUREK except where otherwise noted. All rights reserved.
View my complete profile
Arsip Naskah
▼ 2009 (113)
▼ May 2009 (23)
Serumpun Padi di Sawah, Mula Tahan
Nonton Bareng - Lilé Bal Hama-Hama
Bahasa Calon Presiden/Wakil Presiden
Yuliati Umrah dan Anak Jalanan Surabaya
Bale Nagi, Peten Lewotana
Indonesia di Mata Pelajar Singapura
Peten Kontas Gabungan
Santo Bapa Longet Palestina
Djaja Laksana dan Bendungan Bernoulli
Ridho Penerus Rhoma Irama
Dian Piesesha - Pance - JK Records
Kendi di Depan Rumah Pak Djaja
Selesma Wawe = Flu Babi
Lilik Sugiarto dan "Virus" Paduan Suara
Kebarek Gatek = PSK
Blog Lamaholot NUHA WAIBALUN
Denan Motong Lolon (Merungge)
Dr. Soe Tjen Marching
Nicky Astria Sudah Habis
Sri Gayatri Kehilangan Rp 69 Miliar
Sentil Kertas di Hong San Ko Tee
Halim, Bio Kung Kelenteng Hon An Kiong
Josephine MJ Ratna
► April 2009 (24)
Orang Tua Tionghoa dan Musik Klasik
10 Keuntungan Istri Jelek
Anak Tionghoa dan Musik Klasik Barat
Paduan Suara Lagu Pop
Prof. Fasichul Lisan, Rektor Universitas Airlangga...
Carmen Straight dan Buddha's Relic Tour
Tambak di Sidoarjo Terancam
SBY di Atas Angin
Irwan Hidayat, Bos PT Sido Muncul
Misa Malam Paskah di Katedral Surabaya
Album Batak Victor Hutabarat
Situ Gintung Njaluk Tulung
Pemilu 2009 Go Sontreng Hala
Kecanduan Internet: Facebook, Blog, Chatting
Ata Kiwang Nuha Waibalun
Noor Ibrahim dan patung Yesus
Lagu Paskah populer: Syukur Kepada-Mu Tuhan
Minggu Palma palem habis
Kampanye pemilu abaikan korban Lapindo
Yen Yen gadis Shanghai: Sulabaya panas
Pemilu di Flores Timur dan Lembata akhirnya diundu...
Teknik olah vokal (seni suara) klasik
Gesang - berkah Bengawan Solo
Cak Kartolo raja lawak dan kidungan Surabaya
► March 2009 (18)
Thomas Kwaelaga pencipta lagu Ina Maria
Is dawal ana amalake
Gereja kena virus politik
► February 2009 (20)
► January 2009 (28)
► 2008 (242)
► December 2008 (25)
► November 2008 (15)
► October 2008 (18)
► September 2008 (17)
► August 2008 (19)
► July 2008 (17)
► June 2008 (16)
► May 2008 (19)
► April 2008 (22)
► March 2008 (25)
► February 2008 (26)
► January 2008 (23)
► 2007 (397)
► December 2007 (23)
► November 2007 (22)
► October 2007 (25)
► September 2007 (20)
► August 2007 (25)
► July 2007 (29)
► June 2007 (49)
► May 2007 (54)
► April 2007 (38)
► March 2007 (45)
► February 2007 (32)
► January 2007 (35)
► 2006 (159)
► December 2006 (26)
► November 2006 (38)
► October 2006 (26)
► September 2006 (24)
► August 2006 (6)
► July 2006 (5)
► June 2006 (13)
► May 2006 (12)
► April 2006 (9)
► 2005 (17)
► December 2005 (1)
► November 2005 (1)
► October 2005 (2)
► June 2005 (8)
► May 2005 (2)
► April 2005 (3)
Topik
musik (132)
gereja (108)
sosial politik etc (105)
Flores (87)
Surabaya Raya (51)
jurnalisme (51)
paduan suara (39)
seni tradisi (39)
seni rupa (38)
musik klasik (37)
tionghoa (37)
lumpur lapindo (34)
wisata (34)
jazz (32)
bahasa (30)
bisnis (21)
agama non-kristen (20)
buku (19)
cagar budaya (18)
dahlan iskan (17)
maria eva (15)
Bahasa Lamaholot (Flores Timur) (13)
keroncong (13)
uskup surabaya (11)
madura (10)
teater-tari (10)
Blog Tetangga
Ana Lamaholot Waibalun
Andreas Harsono
Dahlan Iskan GANTI HATI
Duncan Graham
Dyah di Singapura
Goenawan Mohamad
Ignas Kleden
Judith di Swiss
Kartun Bagus
Kaset Lawas
Kristen Malaysia
Risma Hutabarat
RRI Surabaya Pro-2
Suparto Brata
Wens Gerdyman (USA)
Radar Surabaya





komentar terbaru

All stories by LAMBERTUS L. HUREK except where otherwise noted. All rights reserved.



6 komentar:

  1. JIKA ANDA BTUH AGKA GHOIB/JITU 2D.3D.4D YG DI JAMIN TEMBUS 100% DI PTARANG SGP/HKG SILAHKAN SJA ANDA TLP KY SANTANU DI NOMOR 082-317-877-775 TRIMAH KASIH

    BalasHapus
    Balasan
    1. ANGKA JITU DAN AKURAT SGP/HKG YANG ANDA BISA MENANGKAN HARI INI HUB KY PANGANDARAN DI NO <<<_0_8_5_3_1_9_4_8_6_0_5_9_>>> KARENA KEMENANGAN ANDA ADALAH TUJUAN UTAMA KAMI !!!!!!



      ANGKA JITU DAN AKURAT SGP/HKG YANG ANDA BISA MENANGKAN HARI INI HUB KY PANGANDARAN DI NO <<<_0_8_5_3_1_9_4_8_6_0_5_9_>>> KARENA KEMENANGAN ANDA ADALAH TUJUAN UTAMA KAMI !!!!!!




      ANGKA JITU DAN AKURAT SGP/HKG YANG ANDA BISA MENANGKAN HARI INI HUB KY PANGANDARAN DI NO <<<_0_8_5_3_1_9_4_8_6_0_5_9_>>> KARENA KEMENANGAN ANDA ADALAH TUJUAN UTAMA KAMI !!!!!!






































































































































      ANGKA JITU DAN AKURAT SGP/HKG YANG ANDA BISA MENANGKAN HARI INI HUB KY PANGANDARAN DI NO <<<_0_8_5_3_1_9_4_8_6_0_5_9_>>> KARENA KEMENANGAN ANDA ADALAH TUJUAN UTAMA KAMI !!!!!!

      Hapus
  2. Ass saya ibu NURLAILAH dari sumatra saya menang angka togel 4D sudah 2 kali putaran berkat bantuan AKY PANDAWA ARYA dan saya berterimah kasih banyak ke pada AKY karna klau bukan bantuan AKY PANDAWA ARYA munkin saya tidak bisa membayar utan utan saya dan saya sudah bisa membangun usaha saya lagi jadi parah pecinta togel yang mau menan dengan angka hasil ritual yang sudah di jamin tembus akurat hubungi AKY PANDAWA ARYA di nomor;0852 1697 7745 silahkan di buktikan.

    BalasHapus
  3. Saya Sangat BerTerima kasih Atas Bantuan Angka Ritual MBAH…Angka MBAH EROK PRANAL Tembus 100%…Saya udah kemana-mana mencari angka yang mantap selalu gak ada hasilnya…sampai- sampai hutang malah menumpuk…tanpa sengaja seorang teman lagi cari nomer jitu di internet…Kok ketemu NomoR MBAH EROK PRANAL..Saya coba beli Paket 4D ternyata Tembus…dan Bagai di sambar Petir..Ternyata Angka Ritual Ghoib MBAH EROK PRANAL…Yang SaYa Minta Tembus 4D…Baru kali ini saya mendapat angka ritual yang benar-benar Mantap…Bagi saudara yang ingin merubah Nasib seperti saya…Anda Bisa CALL/SMS Di Nomer MBAH EROK PRANAL 085 377 797 151.(((Buktikan Aja Sendiri Saudara-Saudari)))

    BalasHapus
  4. Puri Canary Bintaro cocok buat investasi banyak fasilitas

    BalasHapus
  5. Assalamualaikum Wr Wb



    Kami percaya pada Kepercayaan, Ketulusan dan standar hidup yang baik, setiap orang memiliki hak untuk menjadi kuat secara finansial, itulah alasan kami membantu Orang-orang dengan Pinjaman, untuk memungkinkan Anda menyelesaikan semua masalah keuangan Anda dan memiliki kehidupan yang lebih baik lagi, kami meminjamkan Anda berapa pun jumlah yang Anda inginkan dengan suku bunga yang sangat rendah, negara atau lokasi Anda tidak menjadi masalah jika Anda menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi keluarga Anda dan Anda ingin menjadi stabil secara finansial dan bebas utang.


    Hubungi kami hari ini dengan.
    Perusahaan: KELOMPOK KEUANGAN KREDIT
    E-mail: (creditfinancialgroup01@gmail.com)
    BBM INVITES: {DDA46523}

    BalasHapus